SUDUT PANDANG: Menimbang Yoseph Paul Zhang

redaksi - Selasa, 27 April 2021 22:29
SUDUT PANDANG: Menimbang Yoseph Paul ZhangPaul Yoseh Zhang (Foto: Istimewa) (sumber: null)

Oleh: Abraham Runga Mali*

DALAM satu dua pekan terakhir, nama Yoseph Paul Zhang menjadi topik berita yang beredar viral kemana-mana. Sejumlah media cetak, stasiun televisi nasional dan media sosial ramai memberitakan kemunculan nabi  ke-26 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menista agama itu.

Sebagai penikmat narasi teologi, sudah lama saya mengamati kegiatan para pengajar agama dan apoleget yang berserakan di berbagai media sosial. Terutama sejak kemunculan apoleget berkelas dunia sepeti Ustad Zakir Naik dan Christian Prince yang bisa dengan mudah diakses di berbagai media sosial.  Zakir diundang menjadi tamu kehormatan di negeri ini, dan Christian Prince pun mendapatkan pengikut yang berjubel dari Indonesia.  Mereka seakan menjadi pemicu munculnya narasi seputar agama yang diproduksi secara massif dalam negeri.

Monotheisme Abrahamik

Menarik untuk dicatat, bahwa aksi saling serang, baik dengan sentuhan argumentasi yang agak ilmiah, maupun yang telanjang  'sekadar saling hina'  paling banyak dilakukan oleh pengikut dua agama besar ini, yakni Kristen,  baik Katolik maupun Protestan, dan tentu saja Islam.  Kedua agama tersebut, bersama Yahudi, berakar dari sumber iman yang sama, yakni Abraham.

Dalam rekaan historis, tokoh yang semula bernama Abram meningalkan Ur suatu  saat sesudah 2166 SM dan berjalan ke daerah-daerah di  Semit Barat. 

Dalam tafsiran Susan Wise Bauer (2015), tokoh monoteis itu berangkat menuju Kanaan, menjauhi orang Gut yang barbar, orang Elam yang bernafsu membalas, dan orang Sumeria yang  ambisius. 

Secara spriritual , dia bergulat dengan gagasan dan pengalaman baru setelah meninggalkan pemujaan ayahnya Terah dan nenek moyangnya, yakni dewa bulan bernama Sin dan anak perempuannya bernama Inanna,  (Susan Wise Bauer, 2015). 
Hanya saja, ribuan tahun kemudian, terasa hingga sekarang, pengalaman spiritual seseorang yang telah terlembagakan dalam tiga agama itu,  lebih memperlihatkan pertarungan antar lembaga daripada memancarkan kehidupan spiritual yang menyejukkan.

Coba perhatikan, mereka yang baru migrasi keyakinannya, entah sebagai mualaf (berpimdah dari Kristen ke Islam) maupun murtadin (Islam ke Kristen), ramai-ramai memproduksi wacana dan narasi, terutama tentang alasan perpindahan keyakinan dan kelemahan agama lama yang mereka tinggalkan. 

Tentang ini, kita dengan mudah menemukan di berbagai channel Youtube. Dengan gampang ditemukan  bahwa rerata kontennya berisikan penghinaan karena diproduksi oleh mereka yang tidak pernah menekuni teologi tentang apa yang mereka bicarakan. Terutama ketika  mereka membahas agama orang lain dengan bayangan dan angan-angan agamanya sendiri.  Dengan begitu,  cukup diragukan bahwa pemelukan mereka pada salah satu agama itu merupakan buah dari kedalaman spiritual.

Namun aneh bahwa kehadiran mereka seolah-olah dibutuhkan dalam pengajaran, terutama untuk mencari pengikut-pengikut baru. Merasa dibutuhkan dalam tugas 'suci' ini membuat mereka makin percaya diri dalam ketidakpahaman dan kedangkalan .

Jarang sekali kita menemukan teolog, mungkin cuma satu dua, yang paham tentang ilmu yang dipelajarinya dengan data dan sumber referensi yang meyakinkan dalam media sosial. Demikian tidak mudah kita berjumpa dengan para tokoh spiritual yang berbicara sejuk dan penuh suka cita serta menembus batas-batas pengikutnya.  Jadi, tak heran kalau kebanyakan konten yang berserakan di berbagai media itu berisikan sampah  bernuansa penghinaan dan caci maki tentang agama lain.

Tentang penghinaan, sebenarnya bukan barang baru. Menyimak kemunculan tiga agama besar dari Semit itu, yang satu merupakan reaksi dan koreksi terhadap agama lain.
Bayangkan, kalau saja penganut Yahudi di Indonesia memilik jumlah yang lumayan banyak, mereka juga akan berkeluh kesah tentang rasa penghinaaan yang serupa.

Ketiga agama itu Yahudi, Kristen dan Islam tidak hanya berbeda, tapi kadang saling menegasikan dan mengecilkan satu sama lain. Bukan saja soal dogma-dogma teologis, tapi fakta historisnya tentang hal dan peristiwa yang sama  bisa berbeda satu dengan yang lain. Dan itu hadir sejak kelahiran agama-agama tersebut, bahkan bisa menjadi salah alasan utama kelahirannya.

Lihat saja misalnya, ketika orang Kristen merayakan kematian Yesus, di sana terungkap salah satu tuduhannya adalah pelecehan terhadap monotheisme 'keras' ala.Yahudi. 
Yesus yang tampil dan mengaku dirinya sebagai Allah yang menjadi manusia, turut mengoreksi tatanan aturan dan ibadah agama Yahudi yang dinilai rigoristis dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. 

Tak mengherankan kalau para ahli Taurat dan agamawan Yahudi getol membawa Yesus ke pengadilan dan turut memprovokasi pengadilan agar Yesus  disalibkan dan dihukum mati. Demikian juga, setelah itu, saat kedatangan Nabi Muhammad dan Islam bisa dinilai sebagai upaya membongkar dan mengoreksi paham monotheisme kristiani yang hadir melalui ajaran utamanya tentang Trinitas.

Bahkan, tidak hanya soal paham teologis, fakta historis yang tertulis dalam Kitab Suci agama yang lahir di Mekkah itu juga bertentangan dengan fakta historis dalam Kitab Suci orang Kristen.

Salah satu yang paling sering menyeruak ke permukaan misalnya soal penyaliban Yesus yang dalam keyakinan Islam, Yesus tak pernah disalibkan, tapi orang yang diserupakan.
Maka muncul pertanyaan di kalangan Kristen,  bagaimana mungkin, Muhmamad yang muncul 600 tahun kemudian dan berjarak ratusan kilometer dari tempat kejadian, ikut nimbrung berbicara  tentang fakta hostoris yang disaksikan dan ditulis oleh para murid Yesus dan orang-orang lain yang menyaksikan  dari dekat dengan peristiwa tersebut? Lalu, dari mana sumbernya Muhammad mengatakan hal demikian?

Kebenaran Ilahi
Apa pun keyakinan tentang dogma dan fakta historis seputar agama, semuanya  tertulis pada masing-masing Kitab Suci dan Kebenaran yang diyakini sebagai Sabda Tuhan.

Apakah keyakinan ini akan runtuh dengan penajaman perbedaan perspektif teologis dan fakta historis? Atau akankan Sabda Tuhan itu akan diroreksi dan ditulis ulang?

Pasti tidak! Terbukti agama-agama itu sudah hidup ribuan tahun dengan jumlah pengikut masing-masing hingga miliaran orang. Mereka semua telah menerima konsep tentang Tuhan berikut fakta historis sebagai kebenaran ilahi yang datang dari “langit suci”.

Jadi soal kalau saja masih ada para pengajar agama saat ini berpikir bahwa salah satu cara menyebarkan agama dan menebalkan iman para pengikutnya dengan mengangkat lagi perbedaan-perbedaan itu.  Tanpa berkoar-koarpun, sebenarmya dalam era keterbukaan sekarang ini, pengetahuan tentang perbedaan itu gampang diakses.

Kendati mesti diakui, metodologi yang ditempuh itu sah-sah saja kalau disampaikan dalam pengajaran internal umatnya.  

Menjadi masalah, bagi sebagian besar orang tentunya,  dalam era keterbukaan yang ditopang kecanggihan teknologi, pengajaran  internal itu,  entah sengaja atau tidak, bocor keluar mimbar disertai bumbu-bumbu berupa pelecehan dan penghinaan.

Kemunculan Joseph Paul Zhang mesti dipahami dalam konteks pertarungan wacana yang demikian.

Lalu, apakah kemudian agama-agama itu mendapatkan pengikut baru yang berbondong-bondong karena kecanggihan konsep teologis dan keakuratan fakta historis?

Sampai saat ini tidak, entahlah di masa mendatang.  Ekspansi agama lebih kuat didorong oleh teladan hidup bersamaan dengan migrasi dan mobilitas manusia, dominasi ekonomi dan kekuatan politik. 

Renungkan sejenak dan bayangkan, bagaimana perkembangan agama Kristen tanpa dukungan imprerium Roma dan kerajaan-kerajaan Eropa, atau Islam tanpa imperium Arab dengan khalifah-khalifahnya.

Lalu, apakah Joseph Paul Zhang harus dipersalahkan dalam konteks Indonesia yang beragam dengan tingkat literasi relijius yang masih rendah? Mestinya iya,  dengan catatan bahwa Rizieg Shihab, Yahya Waloni, Abdul Somad dan yang lain-lain misalnya juga   divonis dengan kesalahan yang serupa. 

Menuduhkan Joseph Paul Zhang seorang diri menghina agama dan membiarkan Waloni dkk tetap berkoar-koar, adalah ketidakadilan yang menjadi pesan di balik tindakan nekat Paul Zhang setelah bersembunyi di tempat yang dia rasakan aman.

Bagaimama selanjutnya? Secara pribadi, saya cenderung membiarkan mereka untuk tetap berulah dengan cara mereka seperti sekarang,  berbicara apa saja, termasuk dengan nada melecehkan. Bagi saya, ini juga bisa menjadi kesempatan pembelajaran  dan latihan  untuk peneguhan iman.

Namun, mencemati kegalauan kebanyakan orang di negeri ini karena penghinaan dan pelecehan agama, saya juga tidak berkeberatan bila dibuat pembatasan melalui aturan yang jelas dan penegakkannya secara adil.

Lalu, muncul pertanyaan, apakah pengikut agama Kristen dan Islam yang dalam ajarannya mewajibkan pewartaan dan penyebaran agamanya ke seantero dunia secara terbuka, bisa menerima arutan semaca ini? Silahkan dirundingkan!

Sambil berunding berbagai kemungkinan cara yang elok bagaimana pengajaran agama di tengah keberagaman,  saya mengusulkan sebuah upaya dialog dan mempertemukan agama secara serius  dalam level  praksis (orthopraxy), bukan dalam ranah pertarungan dogma yang teologis dan teoritis (orthodoxy). Misalnya, didialogkan bagaimana nilai-nilai dan kebenaran dari agama-agama tersebut saling topang dalam menjawab persoalan yang digeluti manusia seperti ketidakdilan, kebodohan, kemiskinan, dekadensi moral, korupsi, dan kerusakan alam yang kian mengerilan.

Bukankah agama-agama itu lahir pertama-tama untuk peradaban manusia, termasuk manusia yang mengenal dan berelasi dengan Tuhan yang serba misteri dan melampui akal budi?  Maka hindari ocehan yang berlebihan tentang  Tuhan seakan-akan kita pernah melihat, mendengar dan berjabat tangan dengan Dia, atau pernah duduk bersila di  surga dan mereguk kenikmatan di sana.

Sekali lagi, agama itu untuk keluhuran martabat manusia yang masih mengembara di tengah  dunia yang dalam kefanaannya selalu rindu pada surga. Tuhan yang berada entah di mana, tak sedikit pun terpengaruh  kebesaranNya oleh pikiran, ocehan dan jungkir balik ritual yang dibuat manusia.  

Makanya saya sering curiga, mereka  yang tak bisa 'hening' di hadapan Tuhan dan tak bisa ‘diam’ berbicara tentang Dia adalah mereka yang sering mentransaksikan tema ini  untuk meraih sesuap nasi, mendapatkan sejengkal kekuasaan dan  secuil   kenikmatan intelektual serta mereguk setitik penghiburan dalam ketakberdayaan menghadapi kesia-siaan hidupnya. 

Lalu, masa sih kita masih saja tidak lebih baik  dari orang-orang  Gut yang barbar, dan orang Elam yang suka bernafsu membalas dendam ketika  hidup 4000 tahun silam? (*)

*Abraham Runga, seorang jurnalis dan pemerhati masalah sosial budaya.

RELATED NEWS