Syndrome Kuasa: Antara Pre dan Post
redaksi - Sabtu, 27 Mei 2023 09:57Oleh P. Kons Beo, SVD
“Pada akhirnya, inilah tujuan Pemilihan Umum: Apakah kita berpartisipasi dalam politik sinisme atau kah harapan?” (Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke 44 (2009 -2017)
Langit Negeri Tengah Berawan-Kabut
Langit biru sepertinya tak terlihat cerah selamanya. Itu yang terjadi belakangan ini. Awan gemawan, kabut, asap lagi berdesak-desakan. Langit kekuasaan lagi berguncangan. Mungkin kah yang lagi berkuasa lagi tak nyaman? “Setelah ini semua berlalu dalam waktu yang seharusnya, apakah mimpi negeri tercinta akan berlanjut menuju cita-cita seperti itu? Atau apakah ia menjadi tidak berarah dan bahkan khaos?
Andai itu disebut kegelisahan, itu ketaknyamanan yang positif. Pada tempatnya. Yang lagi di akhir kekuasaan dinilai penuh cemas. Dituduh lagi konsen di papan catur politik. Ini dinilai untuk langgengkan aura kekuasaan. Agar yang tak layak untuk lanjutkan estafet kepemimpinan mesti dijauhkan dari lingkaran dan inti kekuasaan.
Bolehlah digaungkan alam demokrasi. Itulah yang harus menentukan semuanya. Namun sepertinya nampak samar tapi jelas tegas adanya pijaran api meritokrasi. Artinya? Di situ ‘citra kepemimpinan yang unggul itulah yang mesti ditampilkan.’ Bangsa dan negara, atau rakyat pada umumnya tak boleh terjembab pada perangkap kualitas kepemimpinan oportunis, yang lahir hanya karena banyaknya suara yang dijaring atau dijerat dengan segala kepiawaian.
Publik Yang Cerdas
Barangkali itulah yang lagi sungguh dicemaskan. Karenanya, rakyat sepantasnya tak lagi menjadi sasaran atau obyek yang dicari. Apalagi bila diperdayai dengan segala intrik dan siasat. Justru sebaliknya, rakyat sendirilah yang mesti menjadi subyek aktif yang ‘melihat, menakar, menentukan’ ideal kepemimpinan yang seharusnya.
Demokrasi adalah pesta rakyat yang ‘diselenggarakan’ oleh elit politik, yang dibiayai oleh ‘nilai atau harga suara rakyat’ yang nantinya entah sampai kapan harus dibayar hingga lunas tuntas? Inilah yang menjadi pekerjaan penuh tanya.
Maka, apa pun terjadi, mencari kualitas pemimpin yang visioner demi rakyat, yang orientatif demi bonum commune (kesejahteraan umum), yang bergerak dan menggerakkan bangsa menuju cita-cita luhur, itulah yang lagi ditakar, disimak, dan lalu diputuskan dengan penuh teliti dan hati-hati.
Tapi sayangnya, tidak hati-hati memilih sering berdampak pada akibat buruknya. Kita terpukau pada sekian banyak kertas undangan pesta demokrasi. Khalayak terkesima pada indahnya tim kampanye atau para calon yang bermain kata, suara dan seruan.
Suara Itu Mahal Bro!
Sejatinya, setiap rakyat-individu pemilih sudah miliki pikiran (konsep) dan hati kokoh tentang seperti apakah MARWAH negeri, bangsa serta negara ini? Seperti apa jatidiri dan sendi-sendi bangsa? Tak berhenti di situ. Masih ada hal yang terpenting. Di balik suara mesti ada “ad intentionem dantis.” Artinya, pemberi suara tahu sejelasnya maksud dan bobot suaranya. Dan karena itulah ia semesttinya paham dan sadar kepada siapa kah suaranya itu harus diberikan.
Suara demi kedaulatan Indonesia yang bermarwah, maju, adil dan sejahtera, pasti tidak ditujukan pada calon pemimpin yang ‘berpotensi mandek, mangkrak, fragmentaris (keterpecahan bangsa) dan khaos nasional.’
Maka sesungguhnya bobot suara pemilih tandaskan tanggung jawab moral dan politik demi kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara. Suara itu sepantasnya tak boleh di ‘digadai atau dijual’ dengan harga murah meriah. Indonesia lagi jelang ‘membangun Piramide Kepemimpinan Nasional.’ Suara-suara rakyat itu ibarat batu-batu yang siap tersusun demi legitimasi piramide kepemimpinan itu.
Identifikasi Diri
Setiap kandidat pemimpin kini masuk dalam dinamika identifikasi diri. Kiranya proses itu bersinergi dengan visi dan misi demi kelanjutan hidup bangsa dan negara. Sebab hal itu amatlah lumrah jika yang digadang-gadang bakal jadi pemimpin ‘mulai rajin tampil dan gemar bicara.’ Di situlah personifikasi diri dipanggungkan, dan lalu ditawarkan.
Tak ada yang salah dari bersafari-ria ke sana ke mari. Toh, itulah hak politik siapapun selagi dijamin oleh undang-undang. Bagaimana pun mari telisik dalam khazanah psikologi. Kuasa dan jabatan adalah entitas yang goncangkan alam jiwa dan batin siapapun, terlebih bagi yang sungguh memburunya.
Demi nafsu akan kuasa, perilaku deviatif dan degradatif bisa dimunculkan. Jalan menuju kekuasaan bisa dihalalkan dengan cara sehat yang berbaur dengan intrik-intrik jelantah nan tengik sekaligus. Tidak kah satu sandiwara penuh ironia ketika demi menuju bonum commune justru bonum commune itu sendiri sudah digilasterjang? Bukan kah tindak koruptif telah membuktikannya sekian jelas?
Dan kini, terdengar jelas dari yang lagi ‘di jalan menuju kekuasaan’ adalah narasi-narasi dagelan. ‘Maen seruduk sana-sini,’ kasar tak berarah. Memang tak mudah untuk membuktikan bahwa Tanah Air kini sungguh lagi di titik getir tak karuan, dan “dan akulah sang salvator, penyelamat penuh harapan.”
Tetapi, marilah berhati-hati pada identifikasi diri calon pemimpin yang suram dan mengecohkan
Kuasa di Alam Kejiwaan
Maka Pre Power Syndrome, melahirkan anomali kejiwaan ‘tak sabaran’ untuk segera pastikan diri sendiri sebagai ‘titik harapan dan kerinduan pasti dari segenap tumpah darah, bangsa dan negara.’ Demi gerah dan penuh amarah (benci) dengan situasi kini, rakyat diseret ke masa lalu yang, katanya, ‘sejahtera dan penuh dengan rekam jejak yang elok.’
Tak berhenti di situ, demi kembali pada ‘alam jaya dan lebih baik’ seperti saat itu, maka kuasa kini mesti ditumbangkan dari segala ingatan dan kenangan. Pun dari segala pengaruh massifnya. Tapi, ini pasti sungguh kuraskan energi yang tak sedikit. Maka, sebagusnya, energi suram diubah jadi energi positif untuk rumuskan masa depan bangsa selanjutnya.
Bagaimana pun yang lagi ditonjol-tonjolkan sebagai bakal pemimpin tentu lagi merenung modal personal yang dimiliki. Apakah, misalnya, Ganjar Pranowo yakin akan karakter diri yang membekas nyata di Jawa Tengah dalam kepemimpinannya? Atau kah ada banyak keganjilan yang sudah dijaring oleh para pesaing atau lawannya nanti? Apakah AHY (Ketum Partai Demokrat) cukup bermodal suara lantang akan kerinduan massif pada Era SBY, ayahnya? Dan bersuara ‘kenabian’ terhadap dark side dari pemerintahan Jokowi kini?
Apakah Anis Baswedan yakin bahwa rekam jejaknya di DKI dengan ‘JIS, naturalisasi sungai, Rumah DP 0%, patung bambu, sumur resapan, dan tenarnya Formula E adalah modal telak dan harapan yang cukup untuk menuju istana? Dan apakah dengan “Saya lebih TNI dari TNI” sudah cukup bagi Prabowo sebagai modal untuk dapatkan simpati dan pengakuan publik?
Tetap Punya Akal Sehat
Bagaimana pun, bisa saja segala cara dapat dipakai sebagai strategi ‘memenangkan calon.’ Karenanya, akal sehat dan nurani publik mesti ditajamkan untuk ‘melihat dengan cermat dan bijak’ mengenai kepemimpinan selanjutnya. Dan agar tidak menjadi sasaran yang diakali demi ambisi kekuasaan yang tak diharapkan bagi nusa dan bangsa.
Tapi jangan dilupa, langit Tanah Air juga kini juga bergemuruh oleh guntur suara para pasien post power syndrome. Masih adakah dendam politik? Tetap adakahrasa sakit hati karena kepentingan, cita-cita dan ambisi terganggu? Tetap dipeliharakah rasa iri dan benci yang tak terkontrol itu?
Yang jelas suara hempasan nyinyir selalu saja terdengar tempias sana-sini. Terdengar berisik dan pasti hanya bikin gaduh dalam kebersamaan. Sulit rasanya untuk ‘diam yang kreatif atau hening yang produktif bahwa my time – game is over.’ Ada hal lain yang lebih bernilai untuk dikerjakan selanjutnya dari pada sekedar menggerutu yang tercecer.
‘Berkuasa: Walau Hanya Dalam Mimpi
Kata psikologi, ini hanyalah ‘bayangan yang tak disadari bahwa seolah-olah masih berkuasa.’ Atau ekspresi ketidaknyamanan karena kuasa kini ‘lebih ceriah ketimbang sebelumnya.’ Dan nyinyir dan menggerutu itu hanyalah cara memangkas pengaruh dan citra kepemimpinan kini dari publik.
Tidakkah terbaca harapan publik, “Sudahlah! Jadilah bagian dari alam yang sejuk, sehat dan damai dalam kebersamaan nasional, atau dalam kebersamaan apa saja, dan demi kepentingan yang lebih luas.”
Kenyataan di mana-mana, dan dalam rana sosial apa saja selalu terbaca bahwa di jelang menuju kuasa (kepemimpinan) atau sesudahnya, bersitegang dan ribut-ribut selalu saja jadi tamu dan aura wajib di dalam batin yang lalu terhembus keluar. Ini semua, katanya, karena yang mau dilanggengkan dan dirawat sejadinya hanyalah kepentingan sendiri yang picik serta kepentingan kelompok yang tamak. Itu saja…… Entah sampai kapan? “Pak Jokowi. Di titik ini, revolusi mental kita belum baik-baik saja.”
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma