Tak Ada Pater Cornelisen SVD, Tak Ada Pula Seminari Todabelu, Mataloko

redaksi - Selasa, 14 September 2021 22:20
Tak Ada Pater  Cornelisen SVD, Tak Ada  Pula Seminari Todabelu, MatalokoPater Fransikus Cornelisen SVD (sumber: Istimewa)

SEMINARI Menengah Santo Johanes Berkmans Todabelu, Mataloko yang genap berusia 92 tahun hari ini, tak mungkin terpisahkan dari figur Pater Fransiskus Cornelisen, SVD. Betapa tidak, Pater Cornelisen (begitu Pater Fransiskus Cornelisen SVD, biasa disapa) adalah tokoh kunci yang merintis dan mendirikan Seminari tersebut.

Cornelisen adalah anak tunggal dari sebuah keluarga petani kaya di Belanda. Semenjak muda ia sudah bercita-cita menjadi imam Katolik. Setelah menempuh pendidikan di Seminari, Cornelisen muda  ditahbiskan sebagai imam praja dari Keuskupan Den Bosch. Peristiwa itu terjadi pada 29 Mei 1920. 

Meski menjadi imam diosesan, Cornelisen  memendam semangat yang berkobar untuk menjadi misionaris. Setelah dua tahun menjadi imam, dia mengikuti kursus guru bantu dan kursus kepala sekolah. Ijazah kursus itu ternyata menjadi bekal berharga ketika ia benar-benar menjadi misionaris di Flores beberapa tahun kemudian.

Setelah bergabung dengan Serikat Sabda Allah (SVD), pada tahun 1925 ia ditugaskan untuk menjalani karya misi SVD di Flores. Setelah tiba di Ende dan melaporkan diri kepada Mgr. Vestraelen, SVD,ia pun ditugaskan untuk menjadi pastor kepala di Sikka. Selain itu, ia pun ditugaskan untuk memulai Seminari, Lembaga pendidikan calon imam Katolik.

Inisiatif membuka Seminari di Sikka muncul sebagai tanggapan para misionaris SVD atas ensiklik Paus Benediktus XV (1914-1922) yang sangat terkenal yaitu Maximum illud (1919).  Ensiklik itu menyerukan kepada para misionaris untuk menyelenggarakan pendidikan imam pribumi yang berkualitas. Inilah ensiklik yang mendorong pembukaan seminari-seminari di berbagai tanah misi, termasuk di Sikka, Sunda Kecil.

Memang, Pater Cornelisen sendiri tak pernah membayangkan bagaimana memulai pendidikan calon imam. Apalagi SVD sendiri tak punya persiapan yang matang baik menyangkut kurikulum pendidikan, maupun sarana dan prasarana pendidikan. Namun, berbekal ijazah kursus guru yang dikantonginya, Cornelisen memberanikan diri untuk memulai pendirian Seminar. 

Lokasi yang di pilihnya, adalah di Kampung Sikka yang menjadi pusat paroki yang dipimpinnya. 

Meski berada di daerah pesisir, Sikka adalah sebuah kampung  terpencil, Lagi pula sebagaian besar orang Flores masih kafir. 

Namun Pater Cornelisen adalah pribadi bertekad baja, tekun, peke

rja keras dan pemberani. Ia tahu pendidikan calon imam itu penting bagi karya misioner betapa pun penuh tantangan dan kesulitan. Ia tahu bahwa tugas yang sedemikian berat ini dipercayakan Bapak Uskup ke atas pundaknya.

Maka berbekalkan kepercayaan yang diberikan atasnya, serta tekad baja, ketekunan, kerja keras dan keberanian besar yang dimilikinya, Pater Cornelisen memulai karya yang besar ini pada  2 Februari 1926 di Sikka. Waktu itu Pater Cornelissen ditemani seorang misionaris lain, yakni Pater Heerkens, SVD

Awalnya hanya tujuh seminaris angkatan pertama. Pendop pastorannya ia jadikan ruang belajar. Sementara asrama adalah bevak darurat, terbuat dari bambu, dan beratapkan ilalang. 

Perihal kurikulum Pater Cornelisen mencoba merujuk ke kurikulum yang diterapkan  oleh seminari, tempat ia belajar ketika masih remaja di Belanda. 

Oleh karena para siswa kesulitan memahami bahasa Belanda, Pater Cornelisen memutuskan untuk belajar sendiri bahasa Melayu dari para siswanya. 

Berkat kegigihannya, Seminari itu bertumbuh subur. Tahun 1928, jumlah seminaris telah bertambah menjadi 26 orang.

Jumlah ini terlalu besar untuk ukuran pastoran Sikka yang kecil. Maka diputuskan untuk berpindah ke Mataloko. Pada bulan Agustus 1929, Pater Cornelisen, Pater Heerkens bersama para siswa bertolak ke Mataloko dan memulai proses pendidikan di tempat yang baru. 

 

Pada 15 september 1929, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu- Mataloko resmi dibuka. 

Ketika Seminari di Maraloko sudah berjalan 15 tahun, dan mulai stabil, datanglah musibah besar, Perang Dunia II (1943-1945). Pasukan Jepang yang mengalahkan Belanda pada Februari 1942, menaruh curiga pada para misionaris berkebangsaan Belanda dan Jepang.

Ketika menguasai Flores, Jepang yang adalah sekutu Jerman,  menawan dan kemudian mengasingkan banyak misionaris Belanda ke Pare-Pare Sulawesi. Banyak paroki ketiadaan gembala tanpa kepastian kapan para gembala itu akan kembali. Yang diizinkan tinggal di Flores hanya Mgr. Henricus Leven dan sekretarisnya, P. Johanes van der Heyden, P. Frans Cornelissen untuk seminari Mataloko, P. Jacobus Koemeester untuk Ledalero, ditambah dengan Br. Gallus dan Br. Vitalis Vermeule yang sudah tua dan sedang sakit. 

Tiga pastor Jerman yang sudah lanjut usia juga diizinkan tinggal yakni P. Mertens, P. Lambert dan P. Suntrup. Tenaga-tenaga pastoral ini diperkuat dengan beberapa imam pribumi yang baru saja ditahbiskan yakni P. Gabriel Manek, P. Karolus Kale Bale, P. Yan Bala Letor, dan P. Rofinus Pedrico. Beberapa misionaris yang berasal dari negara yang tidak bermusuhan dengan Jepang juga diizinkan tinggal. Mereka adalah Br. Viktor (Austria), Br. Adjutor (Swiss), Br. Sebastian (Slowakia). Selain yang disebutkan di atas, semuanya mesti diasingkan ke Sulawesi (77 imam dan 20 bruder)

Beruntung, Pater Cornelisen tidak ikut ditahan. Selama masa krisis ini, Pater Cornelisen pun terus berusaha meneguhkan dan menghibur  para seminaris, sembari melayani pula beberapa paroki seperti Paroki Mataloko, Mangulewa dan Bajawa.

Pada akhir masa krisis, tahun 1946, Pater Cornelisen menyerahkan tongkat kepemimpinan seminari kepada P. Mathias Van Stiphout, SVD. Ia kemudian menjalani tugas baru sebagai penilik sekolah. 

Sebagai siswa kelas I SMP Seminari, penulis masih ingat bagaimana Pater Cornelisen beberapa kali berkunjung dan memimpin misa di Kapela Agung. Bahkan, ia juga ikut dalam prosesi para imam konselebran sambi  diapit oleh dua imam muda di sisi kiri dan kanannya, ketika Seminari yang dirintisnya mencapai usia Emas, 50 tahun pada 15 September 1979.

Pada tahun 1979 itu pula ia dengan tekun menulis dan merampungkan sebuah buku yang merekam sejarah pendidikan imam di Flores, Timor dan Bali. Judul buku tersebut: “50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali”. 

Pada 13 Februari 1983, Pater Cornelisen menghembuskan nafas terakhir di Biara Santo Yosef,  Ende. 

Pada HUT ke-92 ini, seluruh anggota keluarga besar Bermawan, semestinya mengenang dan mendokaan Pater Cornelisen. Sebab, tak ada Pater Cornelisen, SVD, tak ada pula Seminari Todabelu, Mataloko yang kita cintai! (Maxi A.P) 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS