Tambang Mineral Batuan di Wolosabi–Sipi Diduga Beroperasi Tanpa Izin, DLH Nagekeo: 'Sudah Berulang Kali Kami Hentikan'
redaksi - Kamis, 04 Desember 2025 08:04
Kondisi lokasipertambangan di Wolosabi-Sipi, Nagekeo, yang rentan terjadi bencana longsor. (sumber: Silvia)NAGEKEO (Floresku.com) - Aktivitas tambang mineral batuan di kawasan Wolosabi–Sipi, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo kembali menjadi sorotan setelah diketahui bahwa lokasi tersebut hingga kini belum mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP).
Padahal, izin tersebut merupakan syarat wajib untuk mengeluarkan atau menjual material batuan. Tak hanya di Ulupulu, sejumlah titik tambang mineral batuan lain di Kabupaten Nagekeo juga dilaporkan masih beroperasi tanpa izin lengkap.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nagekeo, Remi Jago, ketika dihubungi media menjelaskan bahwa persoalan perizinan tambang mineral batuan merupakan kewenangan DLHK Provinsi NTT.
Meski demikian, pengawasan di lapangan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Ia menegaskan bahwa pihaknya sudah berulang kali melakukan tindakan penghentian kegiatan di lokasi tambang Wolosabi–Sipi bersama tim terpadu.
“Terkait tambang mineral batuan itu kewenangan DLHK Provinsi. Tetapi untuk pengawasan, kami sudah beberapa kali melakukan penghentian kegiatan bersama Tim Terpadu dari Kabupaten. Sampai saat ini kami belum menerima informasi adanya izin dari Provinsi, terutama IUP OP. Jika ada aktivitas lagi, itu merupakan pelanggaran,” tegas Remi.
Menurutnya, tambang mineral batuan di Wolosabi sudah beroperasi puluhan tahun tanpa izin.
Selama beberapa bulan terakhir, DLH bersama Satuan Polisi Pamong Praja dan instansi terkait telah memasang tanda larangan dan menghentikan aktivitas tambang tersebut.
Baca juga:
- WORALOGI: Mengapa Orang Menghina?
- Pesan Inspiratif: Yesus Mengajak Para MuridNya Membangun Rumah Di Atas Wadas
- Pesan Inspiratif Yesus Mengutus Para MuridNya Untuk Mewartakan Injil
“Itu bukan pembiaran. Oknumnya saja yang tidak mematuhi aturan. Kami sudah pasang tanda larangan dan turun bersama tim gabungan untuk menghentikan kegiatan,” ujarnya.
Remi menjelaskan bahwa pemerintah daerah membutuhkan dasar hukum yang kuat agar dapat menindak tegas para pelaku tambang ilegal.
Saat ini, Pemkab Nagekeo sedang memproses PERDA RPPLH yang akan dipertegas melalui PERBUP, sebagai payung hukum daerah dalam penegakan aturan lingkungan hidup.
Peraturan ini merujuk pada PP RPPLH No. 26 Tahun 2025 yang mewajibkan pemerintah daerah memiliki perda sebagai dasar pelaksanaan di wilayah masing-masing.
“Saat ini DLH hanya bisa melakukan edukasi, peringatan, dan larangan. Untuk tindakan langsung sesuai kewenangan Satpol PP, harus berdasarkan Perda tersebut,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa tuduhan adanya pembiaran tidak tepat, sebab persoalan ini sudah ada sejak jauh sebelum Nagekeo berdiri sebagai kabupaten otonom.
Sejak tahun 2022, DLH telah melakukan edukasi dan sosialisasi kepada seluruh pelaku tambang mineral batuan serta menerbitkan sejumlah surat larangan penghentian kegiatan.
Selain Wolosabi–Sipi, beberapa lokasi tambang lain di Nagekeo juga diketahui belum mengantongi IUP OP.
Salah satunya adalah Galian C di wilayah Ndora, yang baru memiliki WIUP dan IUP Eksplorasi, tetapi belum memiliki IUP OP sebagai syarat untuk mengeluarkan atau menjual material tambang.
Ketika ditanya mengenai berapa jumlah tambang mineral batuan di Nagekeo yang belum memiliki izin, Remi meminta agar data tersebut dikonfirmasi ke dinas terkait, yakni Dinas PTSP dan Bagian Ekonomi.
Melalui pesan WhatsApp, Kepala Dinas PTSP Jein Seke mengatakan bahwa data terkait jumlah dan lokasi tambang batuan ada di Dinas PUPR, karena instansi tersebut yang mengeluarkan KKPR sebagai dasar administrasi awal.
Sementara itu, Kepala Bagian Ekonomi Setda Nagekeo, Osto Wawo, menyatakan masih akan mengecek data tersebut melalui staf teknis.
Kepala Dinas PUPR Nagekeo, Syarif Ibrahim, ketika dimintai konfirmasi menjelaskan bahwa terdapat 34 lokasi tambang mineral batuan di wilayah Nagekeo.
Namun, terkait legalitas atau status perizinannya, ia menegaskan bahwa pihak yang berwenang memberikan kepastian adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Untuk informasi perizinan, legal atau tidak legal, silakan cek ke provinsi. Kami hanya memiliki data jumlah lokasi tambang,” katanya.
Dengan masih maraknya aktivitas tambang tanpa izin di Nagekeo, masyarakat pun kembali mempertanyakan komitmen penegakan hukum di sektor pertambangan daerah.
Pemerintah kabupaten berharap proses penyusunan PERDA RPPLH dapat segera rampung, sehingga penindakan terhadap pelaku tambang ilegal dapat dilakukan secara lebih tegas dan berbasis regulasi yang jelas.
Sebagai informasi, berdasarkan data yang diperoleh dari DLHK Provinsi NTT, hingga tahun 2021 Kepala Bidang Penataan Pengkajian dan Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup, DLH Provinsi NTT, Johny Umbu Reda Anabuni S.T, mendata ada 12 perusahaan di NTT yang melakukan proses pengajuan izin/persetujuan lingunggan hidup (Lihat Tabel).
Johny Umbu Reda Anabuni, S.T. saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (DLHK Provinsi NTT).

PT Anugrah Indah Bestari yang beroperasi di area pertambangan batuan (pasir dan batu) seluas 4,17 ha di Wolosabi-Sipi, Ndora, Nagekeo, tercatat masih dalam proses penerbitan persetujuan DPLH.
Operasi pertambangan tanpa izin sepertinya menjadi persoalan serius bagi NTT. Terbukti, pada akhir September lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tujuh perusahaan tambang di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai penerima sanksi pembekuan sementara karena belum memenuhi kewajiban jaminan reklamasi pascatambang. Daftar perusahaan tersebut meliputi: CV Kasih Mulia, Koperasi Pah Meto Berdikari, PT Batavia Cyclindo Industry, PT Istindo Mitra Perdana, PT Kuringgi Jaya Mining, PT Putra Timor Mining, danPT Royal Bumi Utama.
Ketujuh entitas ini tercantum dalam Surat Ditjen Minerba Nomor T-1533/MB.07/DJB.T/2025, yang menjadi dasar penghentian sementara aktivitas operasional mereka.
Meskipun IUP telah dibekukan, seluruh perusahaan tetap diwajibkan melaksanakan pengelolaan lingkungan tambang, termasuk perawatan dan pemantauan area operasi, sampai jaminan reklamasi dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa aktivitas pertambangan di NTT berlangsung secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, sekaligus mendorong setiap pemegang IUP agar menyelesaikan kewajiban lingkungan sebelum melanjutkan kegiatan eksploitasi. (Silvia). ***

