Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 1)

redaksi - Rabu, 01 September 2021 11:41
Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 1)Samudra Raksa, Perahu Replika dari Candi Borobudur. (sumber: Bona Beding)

(Postscriptum Webinar Kisah Para Pengarung Lautan)

Oleh: JB Kleden*

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kej.1:1)… 

Dan sejak mula dari segala awal itu, laut punya cerita. Tidak hanya tentang makhluk hidup yang berkeriapan di dalamnya. Laut pun menuturkan kisah tentang para pengarung samudra yang terus berlayar dalam debar di batas senja-senja…

“Tali kapal itu dilepaskan dari pangkalan…Kami berlayar mendapatkan dunia abad keduapuluh kembali, yang masih jauh, jauh sekali dari kami letaknya…” (paragraf kahir cerita mengenai ekspedisi Kon-Tiki)

Dan di atas semua itu laut mengisahkan kehidupan bumi dari sebermulanya.

Pesona Kisah Para Pengarung

Selasa, 24 Agustus 2021, Bona Beding, mengirim undangan webinar yang diselenggarkan Maritim Muda Indonesia, bekerjasama dengan Negeri Rempah Foundation dan International Maritime Virtual Roundtables (IMRV) pada Kamis (26/8). Sebenarnya saya ada jadwal lain. Namun judul dan identitas para penutur membuat saya mengambil keputusan menghadiri webinar ini.

Ternyata keputusan mengikuti webinar ini tidak sia-sia. “Kisah Para Pangarung Lautan yang dituturkan Pelaut Perahu Padewakang, Mandar (Muhammad Ridwan Alimudin), Nahkoda Kapal Samudra Raksa (I Gusti Putu Ngurah Sedana) dan Putera Lamafa (Bona Beding) menjadi sebuah bleesing in disguise yang membawa saya ke masa setengah abad silam saat masih kanak-kanak di kampung kelahiran. Waibalun.

Muhammad Ridwan berbicara mengenai Perahu Padewakang Mandar, I Gusti Putu Ngurah Sedana bercerita mengenai Kapal Samudra Raksa dan Bona Beding menuturkan tradisi berburu ikan paus di Lamalera. Ada kesan kuat para penutur tidak sekadar berkisah tetapi juga menuangkan semacam kerinduan azali dari pengembaraan setiap manusia untuk menemukan yang asli…keluhuran dan kearifan tradisi bahari nenek moyang yang pelan tapi pasti berangsur “pergi” tergerus derasnya perubahan. 

Salah satu ciri khas tradisi atau sejarah lokal adalah lingkup geografisnya yang relatif terbatas dan justeru karena keterbatasan itu ia menjadi sangat intim dengan orang-orang yang mengalaminya secara langsung. Dalam tradisi lokal, hampir semua orang yang mengalaminya dapat dengan lugas mengisahkannya -apa adanya- tanpa batas penyekat. Bahkan karena demikian dekatnya sejarah atau tradisi lokal yang dituturkan bagi yang mendengarnya, terasa sebagai kisah bersama. 

Meski kisah mereka spesifik -Perahu Padekawang Mandar, Kapal Layar Samudra Raksa dan Lamafa –  ada kerinduan universal yang sama di antara mereka untuk mencari akar. Betapapun demikian, para penutur ini sepertinya sadar betul bahwa masa lalu tidak bisa diproyeksikan untuk dihadirkan kembali secara utuh di masa depan. Masa lalu hanya sebagai titik tolak dan sumber inspirasi, maka tampak sekali tidak ada niat para penutur untuk membawa peserta ke tanah Mandar di Sulawesi Barat, ke tempat-tempat persinggahan Samudra Raksa atau ke barisan Najê (rumah perahu) yang berjejer di sepanjang pantai Lamalera. Peserta justeru dibuat sedang berlayar menikmati kedalaman masa lalunya secara universal dalam sebuah kesatuan. 

Maka tanpa idealisme ilmiah yang berlebihan, juga tanpa merasa rendah diri karena keterbatasan sumber (khususnya mengenai Perahu Mandar dan Samudra Raksa, sehingga porsi untuk Lamafa lebih dominan) artikel ini sekadar sebagai sebuah memorabilia yang tidak memerlukan suatu janji muluk-muluk tentang sumbangsihnya yang besar bagi Maritim Muda Indonesia. Karena ia sekadar bercerita tentang segala rasa yang tak ada ujung pangkalnya. (BERSAMBUNG)

*JB Kleden, PNS Kementerian Agama Kota Kupang

Editor: Redaksi

RELATED NEWS