Tolak Geothermal, Lawan Kebohongan (Catatan Sekenanya atas Laporan Tim Satgas Geothermal Flores-Lembata)

redaksi - Kamis, 04 September 2025 10:00
Tolak Geothermal, Lawan Kebohongan (Catatan Sekenanya atas Laporan Tim Satgas Geothermal Flores-Lembata)Pater Steph Tupeng Witin SVD (sumber: Dokpri)

Oleh: Steph Tupeng Witin

MARK Twain merupakan nama samaran dari Samuel Langhorne Clemens (1835-1910). Dia diakui sebagai salah satu penulis Amerika paling penting. Ia memulai karier menulis saat mencari emas di wilayah Nevada (1861).

Pengalaman mencari emas itu ia rangkai dalam buku berjudul “Roughing It” yang edisi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia diterbitkan Gramedia dengan judul “Blusukan Mark Twain” (2017).

Mark Twain mengatakan bahwa tambang adalah lubang yang digali oleh para pembohong. Lubang itu memang menjadi jalan paling instan untuk mendapatkan uang sekaligus jembatan paling jahat untuk membunuh keberlanjutan hidup.

Mental instan ini yang paling digemari oleh pengusaha hitam yang patut diduga sekelas penjahat lingkungan. Investor tambang ini paling getol membayar ongkos dalam proses politik dan demokrasi dari politisi murahan yang angkuh.

Maka masuk akal kalau setelah memenangkan kontestasi, penguasa politik lebih kerap memberi porsi waktu kampanye geothermal dan tambang lainnya. Semua event selalu diisi obralan geothermal dengan balutan klaim usang dan basi: energi terbarukan.”

Padahal geothermal yang diklaim “energi terbarukan” itu memiliki daya rusak dan energi penghancur kehidupan paling sadis. Pemimpin-pemimpin kita sebenarnya tahu dampak buruk penghancuran lingkungan itu.

Orang-orang ini lebih pantas kita sebut pemimpin geothermal dan penguasa lubang tambang. Mengapa? Karena mereka sedang menggali kuburan karier politiknya di lubang geothermal dan tambang lainnya.

Kita menduga, Tim Satgas Geothermal Flores-Lembata memang dibentuk untuk mengampanyekan mega proyek PLN yang berdaya penghancur tubuh bumi paling mematikan.

Tim ini katanya terdiri dari para professional yang pasti dibayar mahal untuk memberi rekomendasi yang menyenangkan pembayarnya.

PLN sangat bernafsu tinggi hampir tak tertahankan untuk menghancurkan keutuhan lingkungan dan menghentikan keberlanjutan hidup. Omong kosong “energi terbarukan” model dari belahan dunia mana?

Kita patut menduga Tim Satgas hanya menginventarisasi argumen penolakan kelompok kritis (Gereja, aktivis) dan rakyat pemilih kedaulatan atas tanah agar mereduksinya menjadi sebuah lapangan kerja baru bagi Satgas.

Laporan Satgas bahwa mayoritas rakyat mendukung geothermal itu omong kosong besar. Rakyat menolak geothermal itu harga mati. Tidak bisa dikalkulasi seenaknya oleh Satgas dalam laporan dengan sebutan “mayoritas dan minoritas.”

Ketika sebuah program pembangunan ditolak warga seorang pun, pembangunan itu mesti dihentikan, bukan dikalkulasi atas nama “mayoritas dan minoritas.” Hidup seorang warga pun mesti dimuliakan.

Satgas yang diisi para akademisi memberi generalisasi prematur tapi pasti professional di mata kekuasaan. Rakyat di lokasi proyek sudah menolak sejak awal. Di Watuwawer dan Waiwejak, Atadei, Lembata, mayoritas rakyat menolak karena PLN merekayasa banyak fakta.

Di Waiwejak, PLN gembar-gembor sana-sini bahwa rakyat menerima geothermal tapi ketika diselidiki lebih jauh ternyata orang asal Waiwejak yang lama hidup dari uap panas bumi di Bandung dan aparat ASN asal Wawejak yang bersekutu membohongi rakyat dengan informasi yang sepihak.

Geothermal itu seperti “surga” yang keluar dari mulut PLN dan antek-anteknya. Banyak fakta di Lembata: PLN lebih banyak berbohong ketimbang berkata jujur dengan realitas penolakan warga.

Geothermal dan tambang memang lubang yang sedang digali oleh PLN dan antek-anteknya, termasuk Tim Satgas, untuk berbohong kepada semesta.

Fakta lain yang ditemukan di Ende, Mataloko, Poco Leok dan Lembata adalah akses warga yang menolak geothermal sangat dibatasi oleh Tim Satgas.

Kelakuan yang sama dilakukan oleh PLN di seluruh Flores dan Lembata. Rakyat dipecah-belah dengan politik “devide et impera” zaman kolonial antara menerima dan menolak. Obat penenang: uang dan proyek-proyek CSR “dadakan.” Kalau PLN tidak incar proyek geothermal, tidak mungkin ada proyek “dadakan.”

Rakyat di mata PLN sama dengan anak PAUD yang ditutup mulutnya dengan proyek “dadakan.” Sebuah penghinaan ala PLN yang sadis.

Keutuhan hidup rakyat dicabik-cabik oleh kepentingan perusakan alam. Bahkan dukungan itu dikalkulasi juga dari warga wilayah lain di luar lokasi yang ditolak keras.

Selalu ada upaya untuk membangun opini bohong dengan argumen prematur hanya untuk menyelamatkan wajah kekuasaan yang pongah.

Laporan Tim Satgas malah menghina rakyat lokal dengan opini murahan bahwa penolakan itu karena “kurangnya pengetahuan.” Tim Satgas itu lebih pengetahuan apa?

Kelebihan Tim Satgas adalah maju tak gentar membela yang membayar. Penghinaan bahwa rakyat “kurang pengetahuan” itu meniadakan proses dialog yang akan membuka kearifan pengetahuan warga lokal yang konsisten menolak geothermal sejak awal. 

Warga sesederhana apa pun punya pengetahuan, sekurang-kurangnya tentang realitas yang dihidupi turun temurun.

Tuntutan politik warga yang menolak dicegah sedini mungkin agar kebijakan publik yang hendak merusak keutuhan alam dimenangkan. Perilaku primitif yang jahat. Padahal warga tahu risiko kehancuran hidup yang bakal diterima ketika tuntutan penolakannya diabaikan.

Rakyat tidak sebodoh klaim Satgas yang hanya menjadi perpanjangan kekuasaan untuk menunjukkan kepada investor bahwa “yang dulu kamu bayar itu” sudah berupaya maksimal.

Maka kita ingatkan pemerintah terlebih dulu bahwa penolakan warga itu sinyal awal dari tindakan “ikutan” yang lebih besar lagi. Jangan coba-coba memperdaya rakyat kecil dengan memakai baju Satgas sekalipun!

Tim Satgas mungkin saja belajar untuk menghancurkan alam di luar negeri, mungkin ada yang belajar di luar angkasa, tapi jangan pernah menganggap sepele rakyat kecil di kampung-kampung.

Selama ini warga lingkar tambang dan geothermal memiliki jejaring tersendiri untuk saling berbagi ilmu, pengetahuan dan pengalaman konkret untuk saling meneguhkan. Banyak aktivis lingkungan, pejuang kemanusiaan dan institusi agama yang setia berjuang bersama rakyat kecil.

Kasus Mataloko misalnya, rakyat kecil menolak masif meski pemerintah Ngada secara struktural mengklaim itu sebagai kelompok minoritas. Urusan kemanusiaan itu tidak ada diksi mayoritas dan minoritas.

Saat hadir dalam aksi tolak geothermal di Kemah Tabor Mataloko beberapa waktu lalu, Pater Felix Baghi SVD dan warga Mataloko korban kebodohan PLN menyatakan ketegaran sikapnya menolak geothermal. Suasana sangat mencekam kala itu.

Aparat pemerintah Ngada dari level desa sampai kabupaten semua berdiri memegang kamera HP untuk membuat video. Sayang sekali, pemerintah Ngada abai dengan suara rakyatnya yang gelisah di hadapan realitas alam terancam rusak dan kehidupan yang dipaksa “berhenti.” Solusi instannya: relokasi dan ganti rugi.

Di otak pemerintah, manusia itu sama dengan sebongkah batu yang bisa digeser kapan pun dan barang rombengan di pasar senggol yang bisa dibayar murah.

Marka Twain benar bahwa tambang, termasuk geothermal adalah lubang yang digali oleh para pembohong. Seluruh proses sosialisasi yang diklaim PLN sebagai arena pencerahan justru menjadi ruang pembodohan yang masif. Di banyak tempat, daftar hadir malah menjadi bukti dukungan.

Di negeri ini, omongan elite politik, termasuk Tim Satgas tidak dapat dipercaya. Laporan Tim Satgas Geothermal Flores Lembata diduga penuh rekayasa, kaya klaim bodong, sarat kebohongan dan penuh argumen prematur.

Kita mendesak pemerintah agar segera membentuk Tim Satgas Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kelautan untuk meneliti dan mengembangkan potensi di NTT yang sangat kaya dan menjanjikan.

Saatnya rakyat kuburkan Tim Satgas Geothermal Flores-Lembata dengan konsistensi sikap menjaga keutuhan alam dan keberlanjutan lingkungan. Mari kita tolak geothermal dengan nurani terjaga untuk melawan bandang kebohongan para bandit. *

Penulis, Jurnalis, Pendiri Oring Literasi Lembata. ***

RELATED NEWS