“Vaksin Pastoral” dan Realitas Gereja Keuskupan Agung Ende di Tengah Pandemi Covid-19 (Bagian 2)

redaksi - Selasa, 10 Agustus 2021 22:11
“Vaksin Pastoral” dan Realitas Gereja Keuskupan Agung Ende di Tengah Pandemi Covid-19 (Bagian 2)RD. Denold Nuwa Imam Keuskupan Agung Ende, Mahasiswa Universitas Pontifical Urbaniana, Roma. (sumber: Dokpri)

(Catatan seputar Zoom meeting SLoki-KAE, Vol. 2)

Oleh: RD. Denold Nuwa*

Jatuh Bangun "Pastoral Sak Semen” Paroki Langa di Tengah Pandemi Covid-19

TIBA pada pembicara kedua saya merasa seperti pulang ke kampung halaman lantaran mendengar gaya bicara Romo Joys dengan dialek khas Ende Lio yang tak lekang oleh waktu, meskipun durasi tinggal di Langa terbilang sudah cukup lama. Namun yang terpenting adalah isi pembicaraannya yang menggugah saya tentang perjuangan seorang pastor paroki yang mendedikasikan diri dalam totalitas pelayanan pastoralnya. 

Dalam sharing dan refleksi dari Jopu Boys (Joys) ini, saya menemukan semangat dan optimisme yang luar biasa dari seorang pastor paroki muda yang jatuh bangun mendirikan “Bait Allah” bersama umat paroki Langa. Mekskipun pandemi berdampak pada pembangunan fisik gereja, tapi dia tidak pernah meruntuhkan semangat dan niat baik yang telah berurat akar di hati Romo Joys dan umat Paroki Langa.

Romo Joys berkisah tentang bagaimana umat paroki Langa berjuang mengumpulkan sedikit demi sedikit dari apa yang mereka miliki untuk bisa mulai membangun tempat kudus ini. Perlahan tapi pasti pundi-pundi itu mulai terkumpul. Selain itu, bantuan demi bantuan pun berdatangan, baik dari Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Ngada dan Pemerintah desa-desa yang menjadi bagian dari paroki Langa, maupun dari para donatur lain yang turut mengambil bagian dari pembangunan gereja baru ini. 

Saat ini Romo Joys dan umat paroki Langa sedang “on the way” memiliki Gereja paroki yang megah dan indah. Yang patut digarisbawahi adalah bahwa ini semua menjadi bukti keterbukaan dan kerja sama yang dibangun seorang pastor bersama umatnya dengan berbagai pihak demi kebutuhan dan kepentingan bersama.

Bagi saya, Romo Joys telah menunjukkan sikap seorang pemimpin yang terbuka, komunikatif, pandai membaca peluang dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Sayangnya, pandemi Covid-19, menurut Romo Joys, telah memberi dampak besar bagi proses pembangunan Gereja paroki yang menelan biaya miliaran rupiah ini. Pengerjaan pembangunan pun harus berhenti karena adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh Pemda Kabupaten Ngada. Aliran dana pun menjadi tersendat lantaran pandemi telah memukul mundur kehidupan ekonomi umat sebagai aktor-aktor utama pembangunan ini. 

Romo Joys dan umat paroki Langa ditantang untuk menyelesaikan apa yang telah mereka mulai bersama. Sebagai Pastor paroki, dia berusaha menumbuhkan keyakinan dalam dirinya dan dalam hati umat gembalaannya bahwa pembangunan harus terus berjalan meskipun tertatih-tatih.

Kita patut bersyukur bahwa di masa sulit ini pun kita masih menemukan semangat juang umat yang banting tulang demi membangun Gerejanya. Ini bukti bahwa umat kita masih sangat teguh dalam iman, masih mencintai Gerejanya, mencintai pastornya dan memiliki kepedulian bagi karya pastoral di parokinya meskipun mereka sendiri hidup susah. 

Maka menjadi sangat memalukan jika ada imam yang melukai hati tulus umatnya dengan menyalahgunakan uang umat untuk kepetingannya sendiri atau memanfaatkan bantuan donatur untuk masuk ke saku pribadinya. Sangat disesalkan kalau yang demikian masih terjadi di Keuskupan kita, apalagi pada masa-masa sulit seperti sekarang ini. Umat tentu berharap para pastornya hadir menemani mereka dan berjalan bersama mereka dalam kesulitan ini sekaligus memberi keyakinan bahwa Tuhan turut membantu kita untuk bertahan di tengah situasi yang sulit ini.

Seminari Diaspora dan Geliat Para Penjaga Api Pendidikan di Lembah Sasa

Pandemi Covid-19 telah merangsek masuk ke setiap sisi kehidupan manusia dan memberi tantangan berat bagi bumi dan segala isinya. Dunia pendidikan pun tak luput mengalami dampak besar dari virus yang telah merenggut nyawa banyak orang ini. Kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah berubah wajah. Aktivitas belajar mengajar tatap muka di kelas pun macet total. Para pengambil kebijakan harus “putar otak” mencari solusi agar proses pendidikan dapat terus berjalan di tengah masa pandemi ini. Hal yang sama pula terjadi di Seminari Menengah Todabelu-Mataloko, tempat persemaian bibit panggilan untuk menjadi imam yang menjadi kebanggaan Keuskupan Agung Ende.

Romo Dino Amawawa, seorang guru muda yang juga wakil kepala sekolah SMP Seminari, dalam kesempatan diskusi ini, mengisahkan bagaimana tiupan badai pandemi Covid-19 telah mengancam nyala api pendidikan di seminari menengah yang telah melahirkan banyak uskup, imam dan awam-awam luar biasa yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Dalam pemaparannya Romo Dino menyinggung dua momentum besar yang menandai krisis bagi Seminari yang berpelindungkan St. Yohanes Berkhmans ini. Momen pertama adalah perang dunia II. Kala itu, semua seminaris ada dan tetap tinggal di dalam seminari, sementara pembina yang tersisa hanya satu. 

Sebaliknya, pada moment crisis yg kedua, momen pandemi covid -19 ini, semua pembina ada dan tinggal di seminari, sedangkan siswa seminari cuma satu yang tersisa, yakni seorang siswa asal Papua yang tak pulang seperti rekan-rekannya yang kini menjalani proses BDR (Belajar Dari Rumah). Inilah kenyataan yang terjadi dalam sejarah panjang Seminari tua yang hampir menginjak usia satu abad.

Romo Dino menceritakan pula pengalamannya sebagai guru yang mulai mengakrabi proses pembelajaran yang baru dan “asing” ini. Para pendidik, tua-muda, para romo, frater dan guru-guru awam berjibaku dengan media pembelajaran online yang tentu saja rumit apalagi bagi para pendidik yang usianya tidak muda lagi. Pekerjaan menjadi lebih berat. Waktu dan energi banyak terkuras. Namun demi api pendidikan yang harus terus bernyala mereka harus melakukannya meskipun rela berjam-jam menatap layar laptop atau komputer. Menurut IDI (Ikatan Dokter Indonesia), waktu untuk berada di depan layar laptop atau komputer sebaiknya tidak lebih dari dua jam, kata romo Dino dalam paparannya.

Hal yang paling menarik dari presentasi ini adalah ide tentang Seminari Diaspora. Selama masa pandemi, pihak seminari memang tidak bisa menerima para seminaris untuk ada dan mengalami proses pendidikan di Seminari sebagaimana biasanya. Karena itu dimunculkan ide Seminari Diaspora di mana para pedamping dan guru di seminari bekerja sama dengan para pastor paroki di mana seminaris itu berasal serta tentu saja orang tua dari para seminaris. Seminari Diaspora melahirkan seminari-seminari kecil di paroki-paroki. Seminari tidak lagi hanya ada di Todabelu-Mataloko tapi kini seminari bermunculan di paroki-paroki. Di parokinya, para siswa seminari dibimbing untuk mengalami pengalaman hidup sebagaimana dialaminya di lembah Sasa dan di rumah pastoran mereka menjalankan proses pendidikan dalam tuntunan pastor parokinya. Tentu saja bantuan internet dan aplikasi Google Class Room turut memungkinkan mereka untuk tetap bisa menimba ilmu meski harus LDR (Long Distance Relationship) dengan para gurunya.

Harus diakui pula bahwa pembelajaran jarak jauh untuk konteks seminari bukan hal yang gampang. Terkadang perjuangan dan kerja keras para pendidik dalam menyiapkan pembelajaran online tidak sebanding dengan respon dan partisipasi para siswa seminari. 

Kita patut menyadari bahwa HP android di tangan para seminaris selalu mengandung tawaran lain yang menggiurkan. Media sosial dan Game online sudah bukan barang baru untuk anak seumuran mereka. Mereka bahkan lebih lincah dan pakar di bidang yang satu ini. Tidak heran kalau tawaran ini lebih mengasyikkan daripada bahan pembelajaran dan tugas-tugas yang diberikan gurunya. Apabila “pergerakan” para seminaris ini tidak diawasi baik oleh pastor paroki maupun oleh orang tuanya maka sia-sialah ide brilian ini.

Sehubungan dengan itu, seminari sebagai sebuah lembaga pendidikan tentu tidak bisa bekerja sendiri. Seminari membutuhkan kerja sama para pastor paroki dan orang tua serta tentu saja para seminaris itu sendiri agar sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), scientia (pengetahuan), sapientia (kebijaksanaan) dan socialitas (kemasyarakatan) tetap menjadi pilar pendidikan yang memberi karakter khusus pada pendidikan calon imam.

Terlebih di masa ini seminari ditantang untuk tidak sekedar menjadi tempat untuk menimba ilmu pengetahuan tapi juga tempat membentuk karakter para calon imam dan tentu saja awam yang berkualitas bagi mereka yang “terlepas dari jala” panggilan khusus ini. Karena itu, para pastor paroki dan orang tua siswa juga mesti menjadi penyangga utama yang menopang Seminari sebagai lembaga pendidikan kebanggaan kita semua.

Hemat saya, kalau pun pandemi ini akan berlalu, kerja sama yang terbangun melalui ide seminari diaspora ini harus terus berjalan karena pendidikan para calon imam bukan hanya tanggung jawab Seminari tapi juga tanggung jawab semua pihak.

Kreativitas untuk Menemukan “Vaksin Pastoral”

Kita telah menyadari bahwa pandemi membuat rutinitas pastoral kita terganggu. Dalam banyak hal kita mengalami kesulitan dan beban terasa semakin berat. Karenanya, kita tidak bisa tinggal diam dan membiarkan tekanan pandemi yang tak pasti kapan akan berakhir ini terus menghimpit kita. Karena itu diskusi para imam milenial Keuskupan Agung Ende ini adalah hal yang patut diapresiasi.

Tema tentang “vaksin pastoral” bagi saya akan selalu hangat untuk terus diperbincangkan. Realitas pastoral yang sedang diganggu oleh ancaman pandemi ini membutuhkan “vaksin” yang pas dengan dosis yang tepat agar setiap persoalan pastoral mendapat solusi terbaik. Uji klinis adalah cara untuk mencari dan menemukan solusi terbaik terutama di tengah situasi yang kian menyesakan dada.

Satu kata yang muncul di benak saya setelah melewati diskusi ini adalah kreativitas. Kita membutuhkan kreativitas untuk bisa menemukan “vaksin” bagi setiap persoalan yang kita hadapi dalam karya pastoral kita saat ini. Semakin kita ditantang semakin kita mesti kreatif untuk menemukan solusi. Semakin kita ditekan semakin kita dituntut untuk menemukan jalan keluarnya.

Di samping itu, kreativitas hanya dapat bertumbuh sejalan dengan dibangunnya semangat kerja sama, solidaritas dan pemanfaatan kemampuan yang ada. Bakat atau talenta yang dimiliki harus bisa menjadi “bahan baku” ramuan untuk menciptakan “vaksin” terbaik di tengah tantangan pastoral di masa pandemi ini.

Tentu saja saya tidak akan mengabaikan begitu banyak karya nyata para pastor di Keuskupan Agung Ende yang secara kreatif telah memunculkan berbagai tawaran solusi pastoral di masa pandemi ini. Ada rupa-rupa aktivitas dan upaya kreatif mulai dari kebun, pasar, jalanan hingga sarana-sarana online telah menjadi tempat di mana “vaksin” pastoral itu diciptakan dan digunakan untuk kepentingan umat dan Gereja Keuskupan Agung Ende.

Saya pikir upaya baik itu harus terus digalakkan karena justru di masa-masa sulit ini kita bisa menghasilkan banyak hal bermanfaat untuk menolong diri kita dan umat yang kita layani. Bukankah para pemikir dan para ahli hebat abad ke-20 lahir di masa suram akibat perang dunia yang juga mengancam kehidupan banyak orang? Justru di masa yang berat itu karya-karya besar yang luar biasa dihasilkan dan berguna bagi kemanusiaan hingga saat ini. Meskipun kita tidak sedang berupaya untuk menjadi hebat seperti mereka, tapi paling kurang kita menjadi berguna untuk banyak orang.

Mengakhiri tulisan sederhana ini, saya ingin katakan bahwa “Sloki” itu harus terus bergulir dan menghangatkan kebersamaan ini. Inspirasi mungkin akan muncul kemudian, tetapi kebersamaan itu harus dijaga seperti nyala api pendidikan yang tak boleh padam, karena di sinilah kita bisa belajar bersama. (*)

*RD. Denold Nuwa adalah imam Keuskupan Agung Ende, mahasiswa Universitas Pontifical Urbaniana, Roma.

RELATED NEWS