Wow, Kelompok Tenun Ikat Nepsol, Insana-TTU Masuk Pasar Internasional

redaksi - Sabtu, 31 Juli 2021 17:05
Wow, Kelompok Tenun Ikat Nepsol, Insana-TTU Masuk Pasar InternasionalKetua Kelompok Tenun Ikat Nepsol bersama dosen peneliti dari Universitas Timor (sumber: Defri Sae)

KEFAMENANU (Floresku.com) - Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) adalah salah satu daerah yang ikut menyumbangkan karya seni, di tingkat propinsi, nasional, dan internasional seperti setiap tahun diadakan pameran budaya di taman mini Indonesia, kabupaten TTU selalu hadir dengan menampilkan kain adat hasil kerajinan tangan. Dari berbagai karya seni yang dimiliki di daerah ini, satu darinya adalah seni hias. 

Seni hias yang dimaksud adalah kerajinan tenun. Kerajinan tenun TTU berupa kain bete dan tais, dari proses pembuatan yang panjang. Proses menenun merupakan karya seni dan budaya yang diwarisi secara turun-temurun, oleh para leluhur di daerah TTU, secara tradisional yakni menggunakan tangan, dengan bantuan peralatan lainnya yang diperoleh dari alam sekitarnya, termasuk bahan baku seperti kapas.

Bagi masyarakat TTU ( suku dawan ), menenun tidak saja mewarisi seni dan budaya yang sudah berakar dalam jiwa dan raga, namun juga adalah bentuk menjaga serta meneladani nilai moral yang terkandung dalam setiap corak dan motif pada kain. Untuk memperoleh corak dan motif yang menarik, seorang penenun berdialektika dalam dirinya, dengan penuh imajinasi yang tinggi. 

Motif yang kerap digunakan dalam membuat kain, biasanya tidak jauh dari kehidupan manusia dan alam. Contohnya menggunakan gambar manusia, yang menunjukan peradaban dan interaksi sosial, atau hakikat manusia itu sendiri. 

Ada juga yang bergambar burung, sebagai penjelmaan manusia yang sudah meninggal dunia. Orang dawan mempercayai hal ini, bahwa mereka yang telah meninggal akan menjelma menjadi burung.

Kain Tenun TTU dalam sebuah festival kain tenun ikat (Foto: istimewa)
Motf Kain Tenun TTU (Foto: Istimewa)
Salah satu motif kain tenun ikat Insana, TTU (Foto: Shoppe.co.id)

Kelompok Tenun Ikat Nepsol

Kelompok Tenun Ikat Nepsol yang bertempat di Desa Manunaen A, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) telah berkembang dalam industri kecil kerajinan kecil tenun ikat dengan mengembangkan pewarnaan alam (pasta indigon) dengan bahan asli dari Pulau Timor dan sukses dipasarkan di dalam luar negeri. 

Hal ini disampaikan oleh Ketua kelompok tenun ikat Elisabeth Naisali kepada Defri Sae dari deteksi.online belum lama ini.

Lebih lanjut  Elisabeth mengatakan bahwa benang dibeli di pasar lalu dikerjakan dalam kelompok, dan proses menghasilkan sebuah kain dengan warna asli kurang lebih tiga bulan.

Menurut Elisabeth  aktivitas dalam kelompok dilakukan setiap hari Selasa khususnya untuk melakukan rapat dan pewarnaan dan mengerjakan pemesanan, selebihnya tiap-tiap anggota menenun dari rumah dan dikontrol oleh Ketua kelompok dalam satuan waktu tertentu.

"Setelah dunia dilanda covid-19, aktivitas kumpul-kumpul di rumah kelompok dikurangi, masing-masing mengerjakan di rumah, kalau selesai bari diantarkan ke kelompok," pungkas Elisabeth.

Proses pewarnaan tersebut selain belajar dari para tetua desa, kelompok tenun ikat Nepsol telah mengikuti pelatihan pewarnaan di Denpasar, Bali yang diselenggarakan oleh orang luar negeri pada tahun lalu. Lanjutnya bahwa pewarnaan alami dari Kabupaten TTU termasuk yang paling bagus alias tidak luntur dan bertahan paling lama.

Dari hasil racikan hingga proses tenunnya selesai maka nilai jualnya tinggi sesuai dengan kualitasnya, lanjutnya bahwa nilai jual tak selamanya terletak pada motif kain tapi bentuknya, yaitu dari warna dasarnya yakni pewarnaan kimia atau alami.

"Kalau selendang kecil berukuran 20×150cm itu harganya satu juta kalau pakai pewarnaan alami," pungkasnya.

Dari hasil tenunan maka kelompok tenun ikat Nepsol dijual secara online, dijelaskan bahwa para pembeli berasal dari luar negeri yang secara langsung mendatangi lokasi industri, tidak sebatas itu, adapun kegiatan budaya yang dihadiri oleh para turis mancanegara.

"Kalau ada kegiatan kebudayaan mereka (orang bule) itu datang, namanya budaya jadi ada tari-tarian, lalu mereka membeli juga hasil tenunan, makanan yang dihidangkan pun makanan lokal dan semuanya dibayar," jujur Elisabeth.

Hasil jual dari produk tersebut digunakan untuk membiayai anak-anak, membeli kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.

Para pegiat yang bergabung berjumlah 20 orang dengan hobi dan bakat yang berbeda, ada yang menenun, menjahit, menanam tanaman hortikultura, dan lain-lain.

"'Kan ada anggota yang dari Jawa, Flores, Alor, dan paling banyak orang lokal sini, masing-masing dengan hobinya, jadi kerja sesuai porsi itu," tutur Elisabeth.

Hasil tenunan tidak selama dijual secara utuh tapi dimodifikasi sesuai permintaan pasar.

"Ada yang kita buat dompet, tas, jas, dan aksesoris lainnya," lanjutnya.

Elisabeth pun berharap agar aktivitas dan kualitas internal kelompok tenun ikat terus ditingkatkan, baik secara kualitas hingga strategi pemasarannya agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok. (MLA)

Editor: Redaksi

RELATED NEWS