Ziarah Panggilan Frater Leonardus Regi Maran: Dari Kota Dingin Ruteng, Flores, Hingga ke Kota Suci Roma ,Italia

redaksi - Sabtu, 19 Februari 2022 22:09
Ziarah Panggilan Frater Leonardus Regi Maran: Dari Kota Dingin Ruteng, Flores, Hingga ke Kota Suci Roma ,ItaliaFrater Leonardus R. Maran, di Roma, Italia. (sumber: Dokpri)

BORONG (Floresku.com) - Setiap orang memiliki panggilan hidup masing-masing.  Ada yang terpanggil untuk hidup berkeluarga, dan ada pula yang terpanggil untuk  hidup membiara. 

Setiap jalan panggilan pun  unik, ada yang lurus dan mulus, tapi ada yang penuh batu dan bekelok, bahkan adapula yang terjal. Singkat kata, ziarah panggilan seorang anak manusia penuh misteri.

Jumat, 18 Januari 2022,  Frater Leonardus R. Maran yang saat ini sedang belajar di Kota Roma, Italia berbagi kisah melalui aplikasi WhatsApp mengenai perjalanan atau ziarah panggilan hidupnya kepada media ini.  

Frater leonardus R. Maran mengaku keinginan untuk meniti ziarah hidup membiara muncul sejak dirinya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Waktu itu saya tertarik untuk bergabung bersama di Kongregasi Scalabrinian. Di Kongregasi inilah saya memulai mengenal artinya hidup membiara. Saya menjalani masa formasi selama satu tahun di kota dingin Ruteng, Manggarai," ungkap Leonardus yang biasa disapa Roges itu.

Menurut Roges, di Kongregasi Scalabrinian ia mengenal banyak teman dari berbagai latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Di tempat itu ia pun belajar mengenal arti persaudaraan, merasakan konsekuensi ketika kehilangan sahabat karena beda jalan hidup dan berbagai tatangan sehingga berpencar.

“Saya mendapat banyak hal, memiliki banyak teman dari berbagai latar belakang sosial dan budaya. Saya  juga mengenal artinya persaudaran, termasuk kehilangan sahabat dan lain sebagainya,” jelasnya. 

Setelah dari Ruteng ia melanjutkan masa formasi di Maumere, Sikka bersama teman lain.

Roges pun mendapat kesempatan menempuh pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores NTT. 

Saat itu ia merasa kurang percaya diri. Ia bahkan meragukan dirinya sendiri saat berada dalam kelas, apalagi  berada di tengah teman-teman sekelas yang jauh lebih hebat dari dirinya secara intelektual. 

Keraguannya itu terbukti saat melihat IPK semester awal yang tidak memenuhi standar Seminari Scalabrinian. Karena tidak  dapat memenuhi sesuai standar akdemik  yang ditetapkan pihak Seminari, maka ia pun dikeluarkan.

"Pada hari pertama kuliah, saya mulai bertanya dalam diri saya sendiri, apakah saya mampu menyelesaikan pendidikan saya di lembaga ini? karena sepengetahuan saya lembaga pendidikan ini telah banyak menghasilkan orang-orang hebat dan di lembaga ini memiliki mahasiswa/i yang berintelektual bagus. Ketakutan saya pun mejadi kenyataan  ketika saya memperoleh IPK rendah di semester awal dan saya pun dikeluarkan dari Kongregasi Scalabrinian," kisahnya.

Roges menerima kenyataan itu dengan hati yang terbuka. Pengalaman itu sempat menimbulkan rasa benci terhadap hidup membiara. Ejekan dari orang sekitar termasuk di kampung halam mengganggu gendang telinganya.

Namun pengalaman itu justru mendorong dirinya untuk melihat potensi dalam diri . Ia pun ‘bangkit’ untuk membuktikan kepada orang-orang sekitar bahwa dirinya tidak seperti yang orang lihat.

Setelah dikeluarkan dari Seminari, ia memulai hidup di luar, dan tinggal di kos bersama teman-temannya.  Tetapi,  di luar Seminari ia tidak menemukan kebahagiaan hakiki bagi dirinya.

"Kehidupan di luar tidak membawa  kebahagian yang hakiki bagi diri saya. Saya pun terus bertanya  kepada diri sendiri dan  kepada teman-teman, kemana saya harus melanjutakan ziarah hidup ini. Suatu ketika saya mendengar salah seorang ibu yang mengatakan bahwa, 'nak, kamu cocoknya hidup membiara.'  Pernyataan itu selalu ia  lontarkan ketika bertemu dengan saya," ungkap Roges.

Awalnya, Roger mengisahkan,  pernyataan  ibu itu ia tanggapi hanya sebatas humor. Namun perlahan-lahan, seiring denan perjalanan waktu  ia mulai berpikir serius untuk kembali menapaki panggilan hidup membiara.

Ia juga sempat bingung karena belum tahu kongregasi mana yang harus dipilih, apalagi banyak kongregasi yang menerima dirinya untuk bergabung. 

Setelah membawakannya dalam doa,  Roger akhirnya memilih Kongregasi Barnabite. Ia merasa  yakin bahwa spiritualitas dari kongregasi Bernabite sesuai dengan karakternya.

Ketika resmi bergabung dengan konggretasi tersebut Roger pun berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk dirinya sendiri, keluarga, teman-teman, dan, orang-orang yang telah mendukung dia.

Berkat upaya yang dilakuan secara secara serius dan penuh disilpin Roger kemudian dianggap layak untuk  melanjutkan tahap pembentukan selalnjutnya dengan masuk Novisiat  di Filipina. Setelah menjalani masa Novisiat  pada 15 Januari 2021 ia dikirim untuk mengenyam pendidikan Teologi di Roma-Italia.

"Saya direkomendasikan untuk melanjutkan masa Postulan satu tahun di Maumere sambil menghabiskan studi Program Filsafat saya di Ledalero. Pada tanggal 03 Juni 2019, saya berangkat dari Maumere menuju ke Filipina untuk melanjutkan masa formasi Novitiate. Kemudian, pada 15 Januari 2021, saya direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan Teologi di Roma-Italia," jelasnya.

Begitulah ziarah panggilan yang ditempuh Roger.  Dari pengalamnnya itu Roger merasakan sendiri bahwa panggilan hidup membiara  adalah sebuah misteri. 

Dan, ibarat kata pepatah  "banyak jalan menuju ke Roma,"  Roger sendiri membuktikan bahwa berkat  campur tangan Tuhan dan ketekunan berusaha,  apa yang ia cita-citakan mulai terwujud.  

Mengakhiri sharingnya, Roger berpesan kepada rekan-rekan muda:  “Jangan takut berbuat salah dan gagal, karena dari kegagalan seseorang  berpeluang untuk  bangkit dan merasih kesukesan. Yang penting berjuang secara berdisiplin dan tetap mengandalkan  campur tangan Tuhan sendiri.” (Filmon Hasrin).***

RELATED NEWS