Refleksi Akhir 2025: Keberanian Menjadi Diri Sendiri

redaksi - Rabu, 31 Desember 2025 10:43
Refleksi Akhir 2025: Keberanian Menjadi Diri Sendiri Mayteree Bhagat, kolomnis Medium.com (sumber: Medium.com)

Oleh: Mayteree Bhagat

Menjelang jam-jam  terakhir sebelum awal yang baru, saya merasa perlu berhenti sejenak. Menoleh ke belakang. Mengucap syukur—dengan hati penuh—atas perubahan-perubahan yang diam-diam membentuk ulang cara saya memandang hidup, dan melahirkan kembali versi diri yang sejak lama ingin saya peluk.

Yang paling mengherankan, tahun ini menghadirkan banyak hal yang tak pernah saya rencanakan. Bahkan tak berani saya bayangkan. Namun hidup, dengan caranya sendiri, tetap menghadiahkannya.

Saya belajar seperti apa rasanya ketika hati benar-benar damai. Bukan damai yang riuh dan bersemangat, melainkan damai yang tenang, dalam, dan utuh. Damai yang tidak perlu dipamerkan, cukup dirasakan.

Tahun ini juga membawa saya kembali pada tempat dan orang-orang yang pernah membentuk saya—yang dengan lembut menuntun saya pulang pada diri sendiri. Pada versi diri yang sempat hilang, tergerus oleh kompleksitas hidup dan perjuangan sunyi yang panjang.

Dulu, setiap kali mencoba mengurai satu simpul masalah, saya justru terjerat simpul lain. Sampai akhirnya saya berhenti memaksa. Saya memilih mendengar suara batin, membiarkannya memimpin, bahkan ketika ia memilih jalan memutar. Aneh tapi nyata, justru di sanalah hidup mulai memantulkan kembali hal-hal yang selama ini saya rindukan.

Ada hari-hari ketika hidup penuh warna. Namun ada pula hari-hari ketika segalanya terasa kelabu. Pada hari-hari itulah saya melarikan diri ke alam—ke sunyi, ke hutan, ke langkah-langkah kecil yang menyembuhkan. Berjalan setiap hari menenangkan pikiran, memberi ruang bagi pikiran untuk muncul tanpa dihakimi, dan mengingatkan betapa terapeutiknya sekadar hadir dalam pelukan alam.

Baca juga:

Saya juga belajar arti penting ditopang oleh orang-orang terdekat, terutama saat paling rapuh. Dengan tangan di dada, saya bisa berkata: merasa dipegang oleh mereka yang mencintai kita adalah salah satu emosi paling memuaskan yang pernah ada.

Dan dari semua itu, lahirlah kejernihan. Tentang hidup yang saya inginkan. Bagaimana saya ingin menjalaninya. Sejauh apa. Dengan cara apa. Sebuah kejernihan yang menggugah sesuatu di dalam—sesuatu yang selama ini menunggu untuk disadari.

Selama kita masih mampu melihat warna-warna yang ditawarkan hidup, itu berarti kita sudah melangkah cukup jauh. Dan itu saja, sudah layak dirayakan—dengan syukur, dengan hening, dan dengan harapan yang jujur. (Disadur oleh Sandra dari Medium.com). ***

RELATED NEWS