Rrefleksi di Hari Pariwisata Sedunia: Saatnya NTT Bukan Hanya Jadi Latar Foto Selfie Turis

redaksi - Sabtu, 27 September 2025 11:25
Rrefleksi di Hari Pariwisata Sedunia:  Saatnya NTT Bukan Hanya Jadi Latar Foto Selfie TurisTuris asing foto selfie di puncak Pulau Padar, Manggarai Barat (sumber: cummingsandgoings-net)

Oleh: Maxi Ali Perajaka

SETIAP tanggal 27 September, dunia berhenti sejenak untuk merayakan Hari Pariwisata Sedunia. 

Sejak ditetapkan oleh UNWTO pada 1980, peringatan ini bukan sekadar seremoni internasional, melainkan ajakan refleksi: sejauh mana pariwisata benar-benar memberi manfaat bagi manusia, lingkungan, dan budaya lokal.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), refleksi ini menemukan relevansinya yang paling tajam..

Flores dan kepulauan di sekitarnya sering digambarkan sebagai “museum hidup” — sebuah istilah yang diperkenalkan anthropolog kawakan, Paul Arndt SVD untuk menggambarkan kekayaan adat, ritus, dan arsitektur tradisional yang masih lestari (Arndt, 1961).

Namun, di balik pesona itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah pariwisata NTT sudah sungguh menjadi kekuatan yang mengangkat martabat masyarakat lokal, atau masih sebatas menjual eksotisme untuk dunia luar?

Lanskap yang Tak Pernah Habis Diceritakan

Bumi Flobamora adalah lanskap pariwisata yang tak pernah habis diceritakan. 

Di Manggarai Barat , ujung paling barat Flores, siapa pun akan tertegun menyaksikan hamparan sawah jaring laba-laba, rumah beberapa kampung tradisional dan kampung di atas awan Wae Rebo, serta tarian Caci yang penuh simbol persaudaraan dan keberanian. 

Sementara it,  di Kabupaten Manggarai, tak jauh dari Kota Ruteng, ada gua Liang Bua yang tersohor seantero dunia karena menyimpan misteri manusia purba Homo floresiensis.

Bergeser sedikit ke arah timur, di Kabupaten Ngada, orang akan terpesona dengan gunung kerucut Ine Rie, panorama alam bukit Manu Lalu dan Wolobobo,  pesona 17 pulau Riung, hingga kampung tua Bena berdiri sebagai saksi peradaban megalitik. Selama berada di Ngada, ketika ada acara pesta,  wisatawan bisa masuk dalam barisan  Ja’i, tarian etnik yang sedang mendunia. 

Di Ngada, juga di Nagekeo, wisatawan bisa menyaksikan pertarungan tinju adat (sagi, etu) yang menegangkan.  Bahkan, di wilayah Keo,  wisawatan bisa menyaksikan ritual adat yang mistik dan permainan sepak bola api yang dramatis.

Bergeserk ke Kabupaten  Ende, wisatawan dipastikan  akan termenung saat menyaksikan keajaiban alam Danau Kelimutu dengan tiga warna yang terus berubah. 

Mereka pun akan terkesima menyaksikan para wanita Lio yang piawai merajut kain tenun beraneka motif. 

Hal serupa juga mereka rasakan ketika  menyambangi Kabupaten Sikka yang terkenal dengan kain tenun ikat berwarna alami.

Ketika berada di Kabupaten Flores Timur dan Lembata, wisatwan akan menikmati  atraksi wisata sejarah dan budaya yang uni, termasuk  proses Semana Santa di Larantuka dan Adonasa dan  tradisi berburu ikan paus yang menegangkan di perairan Lembata.

Tak hanya Flores, pulau-pulau lain di NTT pun menyimpan daya tariknya sendiri. 

Sumba misalnya memikat karena lanskap padang sabana luas, kampung adat Prai Ijing, dan pantai eksotis Walakiri dan Mandorak serta keindahan kain tenun yang tak ada bandingnya.

Timor menawarkan banyak pantai dan perbukitan yang tak kalah memukau. Di sana terdapat pantai padang pasir Oetune yang eksotis. 

Selain itu, Timor dikenal dengan lagu-lagu tradisional yang berirama unik, dan tarian likurai yang menawan. 

Alor terkenal dengan cemilan kacang kenari, tradisi menyelam bersama hiu jinak dan kain tenun ikat sarat simbol kosmologi. 

Sementara Rote, pulau paling selatan Indonesia, memesona karena musik Sasando dan ombak Nembrala, surga peselancar kelas dunia.

Semua potensi ini tentu saja tak kalah menarik dari Pulau Bali,  atau destinasi wisata terkenal lainnya di dunia.

Namun, ayunan langka pelaku dan penikmat pariwisata di NTT sering kali terasa berat. Seorang pegiat pariwisata di Manggarai Timur pernah menyamakan kondisi itu dengan “kuda pacu yang kuat, yang berlari di atas arena pacuan berulan dan penuh batu besar”. 

Sebuah metafora getir untuk menyebut betapa besar kekuatan pariwisata, tetapi lemah dalam penopang infrastruktur: jalan masih rusak, jaringan internet tak merata, air bersih dan sanitasi minim.

‘Serpihan surga’ yang Menyembunyikan Relitas ‘Neraka’?

Bumi Flobamora memang sering pula dijuluki  “serpihan surga  tersembunyi”. 

Namun, julukan yang  terdengar indah itu, dalam kenyataannya menutup realitas kehidupan keras bak ‘neraka’ karena sebagian besar warga masyarakat lokal masih terpasung kemiskinan. 

Badn Pusat Statistik (BPS) 2025 menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 adalah sekitar 1,09 juta jiwa atau sekitar 18,6 persen dari total 5.65 juta jiwa (BPS, 2024).

Antropolog asal Nagekeo, Philip Tule SVD, menegaskan bahwa “pariwisata di Flores harus ditempatkan dalam kerangka yang menghargai martabat masyarakat lokal, bukan sekadar menjual eksotisme” (Tule, 2004).

Banyak warga kampung adat merasakan identitas mereka hanya dijadikan tontonan. 

Tarian yang sakral ditampilkan demi jadwal kunjungan wisatawan, rumah adat difoto tanpa penghormatan pada simbol dan ritusnya, sementara manfaat ekonomi sering kali jatuh pada pihak luar.

Kontras paling nyata terlihat di Labuan Bajo. Pembangunan infrastruktur besar-besaran telah mengangkat kota itu menjadi pintu gerbang wisata dunia. Namun, desa-desa wisata lain di Flores berjalan seadanya. 

Seorang pegiat komunitas perempuan di Bajawa menyebut: “Ketika hotel mewah berdiri di Labuan Bajo, desa-desa lain masih mengandalkan homestay sederhana. Padahal wisatawan asing justru mencari pengalaman otentik di kampung.”

Ketangguhan Lokal yang Terus Bertumbuh

Di tengah keterbatasan, masyarakat lokal menunjukkan ketangguhannya. Kelompok pemuda mulai merintis tur berbasis komunitas, mengelola homestay, hingga melatih diri sebagai pemandu dengan bahasa asing. 

Di Manggarai Timur, program birdwatching di Danau Rana Mese dan Bukit Poco Ndeki muncul dari inisiatif komunitas yang ingin menjadikan ekowisata sebagai sumber ekonomi alternatif (Perajaka, M.A, Jurnal APTI, 2025).

Contoh lain datang dari Desa Wisata Wae Lolos, Manggarai Barat, yang mencatat 5.774 kunjungan hanya dalam enam bulan pertama 2025. 

Ketua Pokdarwis, Robert Perkasa, menegaskan: “Ketertarikan wisatawan muncul karena keaslian alam dan budaya terawat melalui sistem pengelolaan berbasis masyarakat” (ANTARA News, 2025).

Data Dinas Pariwisata NTT juga menunjukkan optimisme: ada 1.637 destinasi wisata tersebar di 22 kabupaten/kota (nttprov.go.id). Sepanjang 2024, lebih dari 1,5 juta wisatawan nusantara dan mancanegara mengunjungi NTT (ppidutama.nttprov.go.id). 

Data di atas menandai NTT mulai diperhitungkan di peta pariwisata nasional.

Dilema Keberlanjutan

Namun, angka kunjungan bukan jawaban tunggal. Pengamat pariwisata Richard Butler (2019) mengingatkan bahwa destinasi baru yang berkembang cepat tanpa regulasi memadai berisiko terjebak dalam over-tourism sekaligus degradasi budaya.

NTT menghadapi dilema yang sama: bagaimana mendorong pertumbuhan wisata tanpa kehilangan akar budaya dan merusak alam.

Seorang tetua adat Wae Rebo, Benediktus Dawa, pernah mengingatkan: “Kami tidak ingin rumah adat kami hanya menjadi latar belakang foto turis. Kami ingin pariwisata menjadi jalan menghidupi anak cucu, menjaga hutan, dan melestarikan roh leluhur.” 

Suara itu seharusnya menjadi pegangan arah kebijakan penataan pariwista di bumi Flobamora.

Hari Pariwisata Sedunia: Dari Retorika ke Aksi Nyata

Momentum Hari Pariwisata Sedunia seharusnya menjadi cermin untuk NTT. 

Pertanyaan yang perlu dijawab: apakah pariwisata benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa? Apakah budaya dijaga atau dijual? Apakah alam dirawat atau dikonsumsi?

Jawaban atas pertanyaan itu menuntut pergeseran dari retorika menuju aksi nyata. 

Suara lokal — pemandu desa, ibu penenun, pemuda kampung — harus berada di pusat narasi. Jika desa wisata diperkuat dengan akses jalan yang baik, listrik dan air dijamin, pelatihan diberikan, dan keuntungan adil dibagi, maka pariwisata tidak sekadar menjadi tontonan dunia, melainkan sumber kehidupan yang bermartabat.

Menjadi Cahaya dari Timur

Tema global Hari Pariwisata Sedunia beberapa tahun terakhir menyoroti keberlanjutan, inklusivitas, dan dampak perubahan iklim. NTT, dengan geografi kepulauannya, menghadapi tantangan besar sekaligus peluang emas. Jika dikelola bijak, 

NTT bisa tampil sebagai model pariwisata berkeadilan: wisata yang menyeimbangkan antara alam, budaya, dan kesejahteraan.

Ketika 27 September tiba, NTT bisa memilih: sekadar mengucapkan “Selamat Hari Pariwisata” atau menjadikannya pintu transformasi. 

Jika suara masyarakat lokal benar-benar didengar, jika desa-desa adat mendapat dukungan nyata, maka Hari Pariwisata Sedunia akan hidup dalam praktik, bukan hanya peringatan.

Dan ketika dunia menoleh ke timur,  NTT tidak tampak sebagai ‘museum hidup’ atau ‘serpihan surga yang tersembunyi’ semata, melainkan sebagai ‘bumi yang makmur nan sejahtera’  — tempat di mana industri pariwisata menyuguhkan manfaat ekonomis yang nyata bagi seluruh warga, sembari menjaga martabat manusia, warisan budaya, dan lingkungan alam secara berkelanjutan.***.

Editor: redaksi

RELATED NEWS