Bagi Orang Nagekeo, 'Kembang Goyang Kue Sakral' karena Mewariskan Nilai Tradisi dan Mengobarkan Semangat Kekeluargaan

redaksi - Sabtu, 02 Agustus 2025 10:30
Bagi Orang Nagekeo, 'Kembang Goyang Kue  Sakral'  karena Mewariskan Nilai Tradisi dan  Mengobarkan Semangat Kekeluargaan  Kembang Goyang (sumber: Istimewa)

DI BALIK aroma harum minyak panas dan adonan yang meliuk-liuk di ujung cetakan besi, lahirlah satu keajaiban kuliner warisan leluhur yang masih dicintai hingga kini—kue kembang goyang (rocking flower cake).

Di Nagekeo, Flores, kue ini bukan sekadar sajian ringan. Ia adalah bagian dari upacara adat, dari momen-momen sakral pertunangan hingga perayaan pernikahan, yang selalu hadir di hadapan anggota keluarga besar bersama simbol-simbol budaya lainnya.

Nama “kembang goyang” sendiri lahir dari bentuknya yang menyerupai bunga dan cara pembuatannya yang unik—yakni menggoyangkan cetakan khusus di dalam minyak panas agar adonan terlepas dan membentuk motif yang cantik. 

Tapi lebih dari sekadar bentuk, kue ini menyimpan kekuatan rasa dan tradisi yang tak lekang oleh waktu.

Warisan yang Mengakar dalam Tradisi

Meski banyak daerah di Indonesia mengenal kue ini, setiap wilayah punya sentuhan khasnya sendiri. 

Bagi masyarakat Nagekeo, kue kembang goyang bukan hanya untuk disantap, tetapi juga dikisahkan. 

Dalam berbagai acara adat seperti penyerahan belis, pertunangan, dan hajatan keluarga, kue ini selalu memenuhi piring (wati: pring dari anyaman daun lontar) berdampingan dengan panganan khas lainnya, terutama fidu (kue cucur), dan pisang berangan. 

Kembang Goyang dan Fidu (Kue Cucur) yang disajikan dalam acara adat di sebuah keluarga di Aekana, Nangaroro, Nagekeo, pada 30 Juli 2025 ini. (FB: RSW). 

Uniknya, piring yang penuh dengan kue-kue tradisional itu disediakan dengan porsi yang untuk semua anggota keluarga, termasuk anak balita. Bahkan, dalam banyak kasus, anggota keluarga yang tidak hadir atau diperantauan mendapat bagiannya juga.

Hal ini membuktikan bahwa ‘kue kembang goyang’ adalah bagian dari simbol keramahan, ikatan keluarga, dan rasa syukur—di mana setiap goyangan cetakan seakan menjadi doa agar  semangat kekeluargaan terus berkobar, kerukunan hidup selalu terjaga, dan kebahagiaan dan keberuntungan terus mengalir.

Di Nagekeo, proses pembuatannya kerap melibatkan kebersamaan para ibu di dapur rumah adat, sambil bertukar cerita dan canda. Proses ini menjadikan kembang goyang lebih dari sekadar makanan—ia menjadi pengikat generasi.

Asal Usul yang Terinspirasi Tradisi

Tidak ada catatan sejarah tertulis yang secara khusus mencatat asal-usul “kue kembang goyang (rocking flower cake). Meski demikian seni membuat kue berbentuk bunga ini diyakini berakar dari tradisi panjang menghias makanan dengan unsur alam, terutama bunga. 

Dalam sejarah kuliner global, kue-kue berbentuk bunga atau dihias dengan motif floral telah hadir sejak zaman Romawi, di mana gandum dan madu dipakai sebagai bahan utama kue perayaan pernikahan.

Tren penggunaan bunga dalam kue makin berkembang pada era Victoria di Inggris, ketika Queen Victoria mempopulerkan kue pengantin berlapis-lapis dan penuh ornamen gula berbentuk bunga. 

Tradisi ini kemudian menyebar, dan dalam berbagai budaya termasuk di Indonesia, bentuk kue seperti bunga menjadi simbol keindahan, kesuburan, dan perayaan.

Sebagian sejarawahn menduga, kue ini masuk dari Eropa dan menyebar di berbagai pelosok Nusantara, termasuk ke Nagekeo, melalui para penjelajah Portugis pada sejak abad 16M, dan kemudian oleh para penjelajah Inggris dan Belanda 

Namun, ada pula yang meyakini bahwa para saudagar dan migran Cina ikut berperan ‘memopulerkan’ kembang goyang. Pertemuan budaya itulah yang membuat  ‘kue kembang goyang’ juga diklaim sebagai kue tradisional Betawi dan Bali.

Rasa Renyah yang Mengundang Selera

Yang membuat kembang goyang tetap dicintai lintas generasi tentu saja adalah rasanya. Dengan perpaduan antara tepung beras, tepung terigu, santan, gula, dan wijen, kue ini menghadirkan sensasi renyah yang gurih sekaligus manis. 

Teksturnya ringan, nyaris meleleh di mulut, dan aromanya khas. Tak heran jika ia selalu laris sebagai camilan di kala santai, maupun sajian kehormatan bagi tamu istimewa.

Bahkan kini, variasi rasa pun mulai bermunculan. Beberapa pengrajin kue tradisional mulai bereksperimen dengan rasa pandan, keju, atau cokelat, menyesuaikan lidah generasi muda tanpa meninggalkan akarnya.

Resep Tradisional yang Bisa Dicoba

Membuat kembang goyang sendiri di rumah tidak sesulit yang dibayangkan. Berikut resep tradisionalnya yang bisa dicoba:

Bahan-bahan:

  • 200 gram tepung beras
  • 50 gram tepung terigu
  • 2 butir telur
  • 100 gram gula pasir
  • 300 ml santan kental
  • ¼ sendok teh garam
  • 1 sendok makan wijen (opsional)
  • Minyak goreng secukupnya
  • Cetakan kembang goyang

Cara Membuat:

  1. Campur dan Aduk Adonan:
    Dalam satu wadah, campur tepung beras, tepung terigu, gula, dan garam. Tambahkan telur dan santan sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga adonan halus dan tidak menggumpal. Tambahkan wijen jika diinginkan.
  2. Panaskan Cetakan:
    Panaskan minyak dalam wajan dengan api sedang. Celupkan cetakan ke dalam minyak hingga panas, agar adonan tidak lengket saat dicetak.
  3. Mencetak Kue:
    Celupkan cetakan panas ke dalam adonan, tapi jangan sampai penuh. Lalu, langsung masukkan ke minyak panas dan goyang-goyangkan cetakan hingga adonan terlepas.
  4. Menggoreng:
    Goreng adonan hingga berubah warna menjadi kuning keemasan. Angkat dan tiriskan.
  5. Penyimpanan:
    Setelah dingin, simpan dalam toples kedap udara agar tetap renyah dan tahan lama.

Menjaga Warisan Melalui Rasa

Kembang goyang tak hanya membawa rasa gurih ke lidah, tapi juga rasa rindu di hati. Rindu akan dapur nenek, aroma santan yang mendidih, dan suasana keluarga yang hangat. Ia adalah bentuk lain dari arsip budaya yang bisa dimakan. Maka, saat kita menggigit sepotong kembang goyang, kita sedang menyantap sepotong sejarah.

Membuat dan melestarikan kue ini di era modern adalah bentuk perlawanan terhadap arus serbacepat dan instan. Kembang goyang mengajarkan kita untuk sabar, teliti, dan menikmati proses. Dari goyangan cetakan hingga letupan renyah di lidah, semuanya adalah puisi kuliner yang hidup.

Dan di Nagekeo—di mana adat dan rasa berjalan berdampingan—kembang goyang tetap berdiri kokoh sebagai simbol kehangatan, keindahan, dan cinta pada warisan. Kue ini bukan sekadar camilan, tapi perwujudan dari nilai-nilai yang menggoyang jiwa, bukan hanya lidah.  (map).***

Editor: redaksi

RELATED NEWS