‘Beban Sosial’ di Balik ‘Kemegahan’ Destinasi Wisata Super Prioritas Labuan Bajo

redaksi - Kamis, 08 Agustus 2024 18:09
‘Beban Sosial’ di Balik ‘Kemegahan’ Destinasi Wisata Super Prioritas Labuan BajoWaterfron Marina, Labuan Bajo (sumber: Istimewa)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

DALAM satu dekade terakhir Labuan Bajo bertransformasi dari ‘kampung besar’ yang biasa-biasa saja, menjadi ‘sebuah kota kecil’ modern yang ‘megah’ dan menebar aneka pesona. 

Ya, belakangan ini Labuan Bajo telah menjadi kota wisata super prioritas, salah satu ikon pariwisata Indonesia.

Transformasi Labuan Bajo ditandai oleh penerapan tata kota dan pembangunan sejumlah infrastruktur yang bernuansa modern di sebagian wilayah kota. 

Wilayah pesisir pantai barat kota yang sebelumnya ‘kumuh’ telah disulap menjadi area terbuka yang lega. 

Sejumlah ruas jalan raya di kawasan wisata telah dibikin  mulus dilengkapi trotoar lebar di kedua sisinya. 

Pohon-pohon pelindung yang ditanam di sisi kiri dan kanan jalan ikut menciptakan suasana sejuk dan rasa nyaman bagi para pejalan kami. 

Labuan Bajo terkesan kian megah karena punya Bandar Udara Komodo yang berstandar internasional. Juga karena punya sederet hotel berbintang, dan sejumlah fasilitas publik dengan standar tinggi. 

Makanya, ketika  hadir di acara puncak KTT Asean di Labuan Bajo pada Oktober 2022 lalu, para pemimpin Asean, berdecak kagum. 

‘Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong serta istrinya, Ho Ching. mengatakan bahwa Labuan Bajo memiliki atmosfer yang tenang. 

"Saya belum pernah ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya melihat di foto tetapi berada di sini lebih baik," ujarnya dalam akun Instagram resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) @jokowi.

Hal senada disampaikan Presiden Filipina Ferdinand 'Bongbong' Marcos . "Sangat bagus untuk menyegarkan pikiran,” ujarnya.  “Dan, sangat romantis,” istrinya, Louise Marcos menimpali. 

Para pemirsa televisi yang menyaksikan kesemarakan acara tersebut pun ikut berbangga. Batang hidung mereka kembang kempis akibat emosi haru, gembira dan bangga. 

Olee, bumi Congka Sae, sudah maju e’, nyeletuk Adrianus Rusmin, seorang sahabat asal Lembor, saat ‘nobar’ siaran langsung  KTT X Asean, di sebuah Lapo Tuak di kawasan Jakarta Pusat.

Waterfront Marina

Salah satu ikon kemegahan kota wisata super prioritas Labuan Bajo adalah Waterfront Maria Labuan Bajo.

Kawasan ini dibagi dalam lima zona. Zona 1 untuk zona pejalan kaki atau promenade di Bukit Pramuka, Zona 2 untuk pembangunan promenade di Kampung Air, dan Zona 3 untuk pembangunan plaza dan ruang publik. Berikutnya, ada Zona 4 untuk pembangunan promenade yang juga merupakan bagian dari plaza hotel, serta Zona 5 untuk pembangunan promenade (jalur pedestrian) dengan struktur kantilever.

Taman yang terletak di pesisir pantai Labun Bajo ini disebut ‘titik nol’ dan menjadi ruang publik yang dapat digunakan  untuk beragam aktivitas. 

Di sini, banyak event besar telah digelar, mulai dari skala lokal, nasional maupun internasional. 

Individu, kelompok ataupun komunitas bisa menggunakan tempat ini selama mendapat izin dari pihak pengelola, dan berkomitmen menjaga kebersihan, dan menjaga keselamatan fasilitas yang tersedia. 

Puncak Waringin

‘Kemegahan dan pesona’ Kota Labuan Bajo semakin menjadi lengkap  oleh kehadiran rumah gendang yang menjulang tinggi di  Puncak Waringin. 

Puncak Waringin ditandai oleh bangunan rumah gendang, rumah tradisional orang Manggarai, yang tinggi menjulang.

Daya tarik utama lainnya adalah view-nya yang nyaris sempurna. 

Dari teras rumah gendang ini siapa pun dapat berswa-foto sambil mengagumi keindahan Pantai Labuan Bajo secara utuh, nyaris tanpa cela.

Lokasi ini sangat strategis karena mudah diakses dari berabgai wilayah kota, termasuk dari berbagai hotel tempat para wisatawan menginap.

Lagi pula, lokasi ini hanya 2 km jaraknya dari Bandara Komodo. Butuh waktu kurang dari 10 menit berkendara dari bandara untuk mencapai tempat ini. 

Puncak Waringin pun  buka 24 jam dengan harga tiket masuk hanya Rp 10.000 per orang.

Menurut para petugas jaga, biasanya Puncak Waringin menjadi  ramai  pada senja hari, ketika warga atau para wisatawan ingin menikmati keindahan matahari terbenam di Selat Sape.

Memang, dari titik ini sunset menjadi pemandangan yang menghipnotis. Pasalnya, cahaya kemilau mentari yang memantul ke hamparan laut yang bertabur gugusan puluhan pulau, perahu nelayan dan puluhan kapal pinisi. 

Memendam beban sosial yang berat

Namun di balik keindahan dan kemegahan itu, Labuhan Bajo ternyata memiliki sejumlah beban persoalan yang tidak enteng untuk dipikul, dan tidak mudah pula untuk diselesaikan.

Beban masalah yang dihadapi Labuan Bajo setidaknya dapat dibagi dalam dua kategori: masalah yang kasat mata, tetapi ada juga yang masalah yang samar-samar atau tidak mudah dilihat, bahkan tidak banyak disadari.

Banyak sampah 

Salah satu masalah yang sangat  kasat mata adalah sampah. 

Ini memang isu baru. Sudah sering media lokal menyorotinya. Namun, hingga sekarang, persoalan ini tidak juga tuntas.

Terkait ini, Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF) misalnya sudah memfasilitasi penyediaan kotak/bak sampah di sejumlah titik di sepanjang semua ruas jalan utama.  

Namun, manajemen pengelolaan sampah sepertinya belum berfungsi baik.

Terbukti, saat penulis menelusuri kota ini pada Selasa (10/7) di sejumlah titik terlihat banyak  bak sampah yang  meluap. 

Bahkan, di sekitar bak-bak sampah itu tampak sampah plastik, kemasan makanan dan minuman berikut sisa-sisa makan beraroma tak sedap berserakan di trotoar karena diobrak-abrik oleh kucing, anjing dan tikus 

Tidak hanya di ruas-ruas jalan. Masalah kebersihan juga menyeruak ke area publik,  Pasar Ikan. 

Saat memasuki  pasar yang berada di Kampung Ujung itu penulis menemukan area parkiran yang becek dengan sampah plastik yang bertebaran. 

Angin pantai yang menyeruak area  pasar yang terbuka itu tak mampu menghalau  aroma tak sedap ‘nano-nano’ yang dihasilkan  oleh bau amis ikan Cara, ikan basa yang tak segar lagi, dan bau busuk selokan air yang tak mengalir lantaran  disumbat  oleh limbah pasar. 

Selain masalah kebersihan, pasar ini ditandai dengan kesemrawutan pengelolaan parkir. 

Makanya, sebagai ‘orang baru’ yang hendak menggunakan jasa ojek, penulis kagok, tak bisa membedakan mana yang tukang ojek dan mana yang bukan tukang ojek. 

Rupanya, walau sudah ada Masyarakat Peduli Transportasi Wisata Labuan Bajo (Mlitan), para tukang ojek di Kota Labuan Bajo belum juga teroganisir supaya mengenakan rompi penanda idetintas profesi. 

Grab merebut piring nasi

Sejak beberapa bulan lalu, ojek online Grab telah  hadir di Labuan Bajo. Namun kehadirannya tidak disambut baik oleh Masyarakat Peduli Transportasi Wisata Labuan Bajo (Mlitan), termasuk tukang ojek konvensional.

Militan secara tegas menolak kehadiran moda transportasi berbasisteknologi digital itu karena  dapat berpotensi menimbulkan citra buruk bagi  pariwisata Labuan Bajo.  

Moda transportasi online  dapat memicu lonjakan  jumlah kendaraan sehingga dapat menimbulkan kemacetan di Kota Labuan Bajo.  Kemacetan akan mengganggu kenyamanan wisatawan dan warga lokal. 

Selain itu, peningkatan jumlah kendaraan dapat memicu  polusi udara yang membahayakan kesehatan warga dan merusakkan lingkungan hidup. 

Namun, di balik alasan mulia itu, rupanya ada alasan yang lebih riil. Apakah itu? Rezeki! 

Betapa tidak, izin operasional modal transporatasi online Grabsudah  membuka peluang bagi hadirnya kendaraan dan pengemudi yang datang dari luar Labuan Bajo.

Tak bisa dipungkiri hal tersebut dapat mengacam kesempatan kerja dan pendapatan para sopir angkutan lokal dan para tukang ojek konvesional. 

Ketika mengobrol soal kesehariannya sebagai tukang ojek, Johny, tukang ojek yang mengantarkan penulis berkeliling kota, bercerita banyak soal suka duka bekerja sebagai tukang ojek di kota wisata baru ini.

Di ujung kisahnya dia berujar, “Penghasilan saya tidak menentu pak. Kadang-kadang  bisa capai Rp 200 ribu. Itua kalau ada tamu yang mau kasih tips. Tapi lebih sering di bawah Rp 50.000. Penghasilan saya merosot tajam sejak hadirnya ojek online, Grab. Jadi, bagi saya, ojek online itu datang untuk merampas piring nasi saya dan teman-teman di sini.” 

Keluhan ini barangkali dianggap remeh temeh, bentuk ekpresi kekesalan sesaat. Namun, kalau rasa kesal itu bisa saja sudah meluas ke para  tukang oje lain. 

Nah, kalau demikian jadinya,  maka pada skala tertentul rasa kesal itu akan berkobar menjadi api kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik horisontal. 

Pemda Manggara Barat dan para tokoh mamsyarakat serta kaum agamawan semestinya peka dan mulai peduli dengan isu ini. 

Sebab, sejarah konflik horisontal berdarah-darah di berbagai wilayah Indonesia hampir semuanya bermula dari ekspresi kekesalan yang bersifat individual. Kerusuhan sosial pecah ketika kaum yang tersingkirkan memilih ‘melawan’ atas situasi sosial yang buntu. 

Label halal yang tidak pada tempatnya

Isu yang juga menjadi beban sosial lain bagi Labuahn Bajo adalah label halal.

Isu ini sempat muncul pada tahun 2018. Pasalnya, Dirut BPOLF Shana Fatinah kala itu, mewacanakan penerapan konsep wisata halal di Labuan Bajo. 

Secara konseptual, wisata halal adalah sebuah model atau paket layanan tambahan atau extended services amenitas yang ditunjukkan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman dan keinginan wisatawan muslim. 

Dalam mewujudkan wisata halal ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh destinasi wisata. Misalnya, penyediaan makanan halal, fasilitas pendukung untuk beribadah: mushola dan tempat wudhu, hingga pelayanan ramah muslim lainnya. 

Jadi, komponen dari wisata halal tak hanya terkait makanan, tetapi juga beberapa komponen lainnya sepert tempata penginapan/hotel, logistik,paket tur dan sistem keuangan yang halal. Tujuannya adalah untuk memikat segmen pasar khusus yaitu wisatawan Muslim.

Namun, dalam konteks Labuhan Bajo yang plural, bahkan didominasi warga Katolik, label haram menjadi sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Ironisnya, ada pihak tertentu yang terus berjuang  menerapkan wisata halal di Labuan Bajo. Bahkan, beberapa bulan lalu ada pula yang  mengklaim bahwa Pemda Manggarai Barat merestuinya. 

SuaraIslam.com edisi Kamis  9 Mei 2024 secara gamblang menulis “Pemda Manggara Barat, NTT menyatakan dukungannya atas kegiatan Festival Syawal 1445 H yang diselenggarakan LPPOM MUI, sebagai upaya menarik wisatawan dari kalangan muslim.”

Bukti dukungan itu, tulis media itu pula, Sekretaris Daerah Manggarai Barat, Fransiskus Sales Sodo, yang sekaligus mewakili Bupati Manggarai Barat hadir dalam acara Festival Syawal LPPOM 1445 H pada Rabu, 08 Mei 2024 itu.

Tanpa perlu mengkaji, berita itu seperti ingin memprovakasi sekaligus mengadudomba Pemda Mangarai Barat dan kalangan warga yang menolak kehadiran wisata halal di Labuan Bajo. 

Dan, sepertinya, dalam konteks dan tujuan itu pula spanduk Wista Halal dipajang di Kampung Ujung, Labuan Bajo pada Mei 2024 lalu.

‘Spanduk Wisata Halal di Kampung Ujung sepertinya sengaja dibuat untuk kembali menghembuskan konsep wisata halal yang telah ditolak. Upaya seperti itu harus dilawan, karena merusak citra Labuan Bajo dan Manggarai,” ujar   Pater Marsel saat berbincang-bincang dengan penulis, Selasa, 10 Juli lalu di halaman tengah Hotel Grand Prundi.

Pater Marsel menambahkan, “saya dan teman-teman tegas menolak  wisata halal untuk Labuan Bajo sejak wacana itu dihembuskan tahun 2018.”

Sikap penolakan itu, kata Pater Marsel, akan terus kami sampaikan, tidak saja  melaui aksi unjuk rasa, tetapi juga melalui berbagai forum resmi.  

Dua bulan sebelum festival di Kampung Ujung itu digelar, Pater Marsel dan para rekannya memang telah mewanti-wanti. 

Dalam diskusi bersama Plt. Direktur BPOLBF Frans Teguh dan sejumlah pelaku wisata, Rabu 7 Februari 2024 petang, Pater Marsel mengatakan: "Jangan coba-coba untuk hidupkan wisata halal di Labuan Bajo. Tolong, ya!. Karena sesudah penolakan pada tahun 2018,  masih saja ada usaha dari pihak-pihak tertentu, termasuk dari Kementerian Agama untuk  menghidupkan kembali (wisata halal).”

Menurut pendiri Hotel Grand Prundi itu, penerapan wisata halal tidak selaras dengan konteks sosial budaya Labuan Bajo, Manggarai dan NTT pada umumnya. Sebab masyarakatnya sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku dan agama. Apalagi, sebagian besar  warga masyarakat  tidak mengenal konsep halal dan haram.

Menurut dia, pengembangan pariwisata harus dilandaskan pada pengakuan akan keberagaman dan keunikan  budaya loka, bukan pada selera dan ajaran agama kelompok tertentu.

Salah satu ciri khas budaya masyarakat Manggarai atau NTT pada umumnya adalah hewan peliharaan seperti babi sangat melekat dalam tradisi dan kebudayaan.

Dalam budaya Manggarai, babi misalnya binatang haram. Babi tidak sekedar sebagai penghasil daging, tetapi juga sebagai hewan kurban dalam ritus adat. 

Setiap upacara adat, masyarakat Manggarai sering kali menggunakan babi sebagai bahan untuk menghasilkan daging yang akan disajikan dalam acara tersebut. Bahkan, tanpa ada menu daging babi, menu pada acara tersebut tidaklah lengkap. 

Jadi, Pater Marsel menegaskan, upaya untuk menenerapkan wisata halal di Labuan Bajo adalah suatu bentuk pelecehan atau sikap tidak menghargai kekhasan  budaya lokal,  budaya orang Manggarai.

“Kalau itu terus dipaksakan tentu akan mengancam keharmonisan hidup bersama dalam masyarakat Labuan Bajo yang sudah terjalin baik selama ini,” kata Pater Marsel, mengingatkan. 

Wabah sosial prostitusi

Masalah serius lainnya yang membebani Labuhan Bajo adalah wabah sosial ‘prostitusi’. 

Isu ini sempat disentil  oleh Ketua Dewan Pembina Lembaga Dan HAM PADMA Indonesia, Martinus Gabriel Goa.

Gabriel mengaku mengetahui adanya aktivitas wisata seks di Labuan Bajo. Dan, transaksi seks itu melibatkan perempuan, baik dari Indonesia maupun dari berbagai negara.

“Aktivitas prostitusi ini sangat tertutup di wisata Labuan Bajo sebagai wisata premium. Pekerja seks komersial (PSK) di sana mulai dari warga lokal, wanita dari Amerika Latin, Maroko, Kazakhstan dan ada juga dari China,” ujar Gabriel.

Entah mengapa, isu ini tidak mendapat  perhatian serius dari BPOLBF, Pemda Manggarai, pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan pariwisata  Labuan Bajo lainnya.

Padahal, berbagai hasil studi ilmiah dari tahun 1980-2023 selalu menunjukkan bahwa pariwisata dikampanyekan sebagai jalan untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, studi juga membenarkan bahwa sejarah dan pertumbuhan industri pariwisata di Asia seperti Thailand, Filipina,  Bali (Indonesia), Korea Selatan, Jepang  bertautan erat dengan sindikat  perdagangan anak dan wanita, praktik prostitusi dan penyakit seksual menular (bdk. Chriss Cooper, 1993: 177) 

Secara kasat mata, boleh jadi  prostitusi belum merupakan masalah’gawat darurat’. Namun, bahayanya tetap perlu  diwaspadai.

Sebab, menurut ‘Indonesia 2018 Trafficking in Persons Report", adalah negara berkategori ‘Tier 2’ (negara tingkat 2 yang  tidak memenuhi standar minimum pencegahan dan penanggulangan perdagangan anak dan waita, tetapi melakukan upaya signifikan untuk memenuhinya.

 Lapran itu juga menyebutkan, bahwa seluruh provinsi di Indonesia adalah pemasok perdagangan anak dan wanita.

Pembangunan yang belum merata

Beban lain yang juga diusung oleh Labuan Bajo adalah pembangunan yang tidak merasa dan belum berpihak pada masyarakat kecil.

Sekilas Labuhan Bajo itu tampak maju luar biasa. Namun, jika ditelisik lebih jauh kemajuan itu hanya terjadi kawasan yang berkaitan langsung dengan aktivitas berwisata. 

Wilayah lain dari ibukota dan wilayah Kabupaten Manggarai Barat, tampak masih banyak berubah dari kondisi belasan tahun silam  karena, belum mendapat sentuhan pembangunan secara memadai.

‘Yang maju itu Labuan Bajo area pantai atau area pariwisata. Yang menikmati kemajuan itu umumnya bukan masyarakat lokal, tapi pendatang baru dari luar. Lihat saja siapa saja yang bekerja atau menjadi tamu atau pengunjung di hotel, restoran, kafe, ‘travel agent’ toko  suvenir. Hampir sembilan puluh persen itu orang dari luar, bukan orang lokal. Orang lokal sekarang jadi penonton, paling jadi tukang ojek,” ujar Lukas, seorang pemuda asal Kaper, yang berprofesi sebagai tukang ojek.

Yos (bukan nama sebenarnya), seorang pegawai di Bandara Komodo membenarkan hal ini.

 “Pembangunan di Labuan Bajo dan Manggarai Barat ini memang belum merata. Yang maju pesat hanya sebagian dari Kota Labuan Bajo yang pembangunannya ditangani langsung pemerintah pusat. Sedangkan di wilayah yang penjadi tanggung jawab Pemda, hampir tidak terjadi apa-apa. Jalan-jalan ‘ancor’ semua. Kalau jalan-jalan ke kampung-kampung, sering kali kami harus pakai truk jungkit atau dump truck, karena mobil jenis lain, apalagi sepeda motor tak akan bisa melintas, ” ujarnya.

Infrastruktur jalan yang jelas, tentu saja menyulitkan para petani untuk mendistribusikan hasil pertaniannya ke Labuan Bajo. 

“Makanya, jangan heran, kalau suplai bahan makanan seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan ke hotel-hotel di Kota Labuan Bajo, bukan juga para petani di Manggarai Barat, tetapi dari Sumbawa, Lombok, Jawa  dan Sulawesi Selatan. Miris ‘kan?” pungkasnya.*

*Pemimpin redaksi Floresku.com. *** 

Editor: redaksi

RELATED NEWS