Hermien Kleden dan Jurnalisme ‘Tutu Koda’
redaksi - Kamis, 02 Oktober 2025 11:51
Oleh: Steph Tupeng Witin
HERMIEN Yosephine Kleden selalu tersenyum. Penulis menyapanya “Tata”. Itu sapaan yang akrab, penuh persaudaraan suku Lamaholot. Ada nuansa kedekatan yang hangat.
Wajah penuh senyum itu mengingatkan pertemuan pertama tahun 2009. Kala itu pimpinan menugaskan saya mengambil studi jurnalistik. Kami bertemu di kantor majalah Tempo lama di Jalan Proklamasi.
Kebetulan saat itu Goenawan Mohamad sedang berada di kantor. Maka terjadi pertemuan yang tidak terduga. Kami mengobrol cukup lama.
Goenawan Mohamad menyebut bahwa Pater Leo selalu datang ke kantor Tempo. GM memberi saya buku “Catatan Pinggir 2” (Cet. IV, 2006) lengkap dengan tanda tangannya. Penulis kata pengantar adalah Ignas Kleden, kakak kandung Hermien Y. Kleden. Judul kata pengantar: Eksperimen Seorang Penyair.
Pertemuan perdana itu sungguh membahagiakan. Redaktur senior Tempo begitu sederhana. Tata Hermien sangat hangat dan akrab. Dia memanggil saya “adik” hingga akhir hidupnya. Sapaan yang menarasikan kedekatan, kehangatan, bukan jarak.
Layar di samping peti jenazah rumah duka Carolus Jakarta tetap menampilkan wajah yang tersenyum. Ia telah pergi “merantau” ke dunia terakhir dengan tenang pada Senin 29 September 2025 di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu Jakarta.
Pater Leo Kleden SVD, kakak kandung Tata Hermien, menulis, “Saya tiba dari Flores di RS tepat pukul 22.00 WIB. Langsung bicara dengan Hermien dan memberkati dia. Lalu dengan tenang sekali dia menutup mata.”
Sebuah akhir ziarah hidup yang penuh pengharapan. Tata Hermien selalu meminta berkat ketika menelepon atau mengirim pesan singkat. Dia selalu meminta doa agar tetap sehat dan mendarmabaktikan diri dan hidupnya melalui jurnalisme kepada lebih banyak orang.
Rupanya Tuhan melihat dia sudah lelah memberi habis energi dirinya. Kepulangannya ke Rumah Bapa adalah kabar gembira..Terbaca di layar itu aliran ungkapan duka dari kelurga, jurnalis, penulis, sahabat, para murid jurnalisme, kenalan dan rekan kerja di Tempo.
Orang-orang ini mengenal dan merasakan sentuhan kasihnya. Senyum itu menarasikan jurnalisme sebagai dunia yang hangat, penuh kasih dan persaudaraan. Jurnalisme menjadi salah satu titian untuk membangun kehangatan dan persaudaraan.
Persahabatan dan persaudaraan dalam dunia jurnalisme tidak selalu identik dengan keselarasan dan kesepahaman. Jurnalisme adalah ruang yang demokratis karena memuliakan perbedaan dan argumentasi.
Ketika dia menerima penghargaan SK Trimurti atas kontribusinya kepada dunia jurnalisme Indonesia, Tata Hermirn tersenyum lebar. Buah dari ketekunan dan ketelatenan karya jurnalisme. Dan Tata Hermien menikmati dunia jurnalisme itu dengan senyum hingga tapal batas hidupnya.
Tata Hermien Kleden telah berkarir sebagai jurnalis dalam rentang waktu puluhan tahun. Catatan dari buku Jejak Jurnalis Perempuan (2012) yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hermien merintis karir sejak tahun 1987 dengan bekerja sebagai kontributor sebuah majalah internasional dari Perancis.
Dia pernah menjadi Wakil Redaktur Eksekutif Majalah Tempo dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo English, Dewan Eksekutif Tempo Media Group, Redaktur Pelaksana Koran Tempo.
Deretan jabatan itu tidak pernah dia singgung selama hidupnya. Dia hanya menjalankan tanggung jawab kenabian: menulis sebagai jalan penyadaran rasionalitas publik. Baginya, jurnalisme investigasi itu ia lukiskan sebagai divisi paling kejam. Tidak mudah membongkar kejahatan elite politik dan pejabat publik.
Bagi Hermien, tanggung jawab kemanusiaan jurnalis adalah membagikan fakta yang ada di lapangan kepada publik. Banyak sekali laporan investigatif yang ditulis Tempo, Kompas, dan media lain tapi kasus korupsi, kejahatan lingkungan, mafia proyek pembangunan dan kejahatan publik lain tidak pernah surut, apalagi berhenti.
Tentu semua kejahatan publik itu akan lebih membandang ketika jurnalis tidak melakukan investigasi dan hanya menulis seremoni pejabat berdasarkan press release humas yang mendewakan atasannya.
Jurnalis bertanggung jawab kepada publik untuk mengetahui semua kotoran yang ada di bawah karpet merah. Namun jurnalis bukan malaikat, karena hanya pembawa informasi kepada publik.
Saya ingat satu ungkapan dari Tata Hermien yang sangat membekas. “write like you talk.” Ungkapan ini di satu sisi, sangat berbahaya bagi orang Flores yang dikenal omong banyak, kadang minim substansi. Orang Lio bilang wora yang artinya buih, busa. Omong sampai mulut berbih dan berbusa.
Ada orang memang punya kemampuan seperti itu. Tapi sesungguhnya menulis itu titian untuk mendisiplinkan pikiran yang akan memelihara kesegaran otak, menjauhkan manusia dari demensia, dan membuat manusia tetap produktif sampai usia lanjut.
Menulis dapat mempertemukan semua orang dari berbagai latar belakang dan meruntuhkan tembok pemisah antara penulis dan pembaca.
- BRI Perkuat Akses Keuangan Masyarakat Lewat Jaringan 1 Juta AgenBRILink
- UMKM Sikka Hadir di Pameran Inacraft 2025, Buka Empat Booth di JCC
- Pesan Inspiratif: Peran Para Malaikat Dalam Hidup Manusia
Menulis itu sama dengan berceritera, berkisah, bernarasi dan bertutur secara lisan. Dalam dunia jurnalisme modern, ada tradisi yang kini kembali dikembangkan secara luas oleh media massa. Itulah jurnalisme story telling atau jurnalisme tutu koda dalam bahasa Lamaholot, Flores Timur-Lembata.
Generasi kami yang masih tumbuh dalam tradisi lisan sesungguhnya sangat beruntung karena masih dapat mengenyam proses tumbuh-kembang bersama tradisi tutu koda yang dipandu orang tua, kakek dan nenek.
Sekarang ini setelah industri gadget telepon seluler pintar melibas dunia, tradisi tutu koda itu perlahan punah. Mungkin suatu waktu akan tinggal kenangan tanpa makna.
Tata Hermien mengabdikan seluruh diri dan hidupnya dalam dunia jurnalisme. Kepulangannya ke rumah Tuhan tidak menghilangkan jejak persembahan dirinya yang tulus. Hermien mendapat bilik istimewa dalam kenangan semua orang yang mengenal dan mengalami kasih Tuhan melalui kehadirannya.
Wahyu Dhyatmika adalah jurnalis Tempo yang bersaksi tentang kiprah Hermien di ruang redaksi einvestigasi majalah Tempo. Dia melukiskan Hermien Kleden sebagai sosok “Sangat teliti, sangat cerewet namun sekaligus sangat perhatian pada reporter.
Dia selalu memanggil kami dengan sapaan “adik”. Dia menempatkan dirinya sebagai senior yang selalu siap mendidik kami, berbagi ilmu dan pengetahuan.
Dia sangat cermat dalam menulis, piawai menggunakan kata, lincah memindahkan peristiwa menjadi teks berita. Dia tidak pernah pelit bercerita, tak pernah lelah menjadi mentor, tak pernah berhenti menjadi guru.”
Wahyu menulis, di kalangan jurnalis Tempo, Tata Hermien sangat percaya diri dan mengajarkan para yunior untuk menghargai diri mereka sendiri. Dengan kepribadiannya yang hangat, dengan wawasan yang sangat luas, dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, dengan pikirannya yang terbuka, dengan keingintahuannya yang tak pernah habis, dia sesungguhnya mengajarkan bagaimana menjadi sosok jurnalis yang baik.
Jurnalis harus memberi suara pada mereka yang tak bisa bersuara. Suara itu mesti berkualitas. Maka jurnalis mesti selalu haus akan pengetahuan dan cekatan menambah amunisi suaranya.
Bagi seorang jurnalis, buku adalah sahabat hingga akhir. Membaca buku berarti belajar untuk menulis lebih baik, kaya perspektif, mengasah kepekaan dan mendisiplinkan gerak pikiran.
- Maumere Heboh: Video Nasi Berulat di SMK Yos Tiba-tiba 'Hilang' Setelah Kepala SPPG Turun Tangan
- MBG Berulat: Skandal atau Bukan Skandal?
- Pesan Inspiratif: Misteri Salib Kristus
Sewaktu masa studi di Jakarta, Tata Hermien kadang mengajak diskusi yang biasanya sambil makan malam. Sopirnya yang sangat setia selalu menjemput saya di depan stasiun kereta api Menteng, Jakarta pusat.
Mobilnya dirancang sekian sehingga menjadi perpustakaan. Banyak buku bertebaran. Tempat duduknya dipasangi lampu sehingga ia bisa membaca naskah liputan, buku terbaru ataupun bahan seminar. Segala waktu dimaknai dengan membaca dan menulis.
Tulisan-tulisan itu abadi. Apalagi di era digital saat ini dengan kecepatan dan pendokumentasian yang rapi.
Tata Hermien…Terima kasih untuk semua teladan. Kesetiaan dalam kerja dan ketekunan dalam membangun pikiran.
Buku-buku yang Tata kirim tersimpan di rak Oring Literasi Siloam Lembata. Anak-anak dan orang muda akan melahapnya. Semoga buku-buku itu menularkan kreativitas membaca dan ketekunan mengembangkan diri agar sekali waktu anak-anak ini mampu menulis hidup.
Melalui menulis, anak-anak dapat bercerita tentang diri, hidup dan pengalamannya. Selamat beristirahat dengan tenang dalam keabadian-Nya. Doakan kami… *
*Jurnalis, Penulis Buku dan Pendiri Oring Literasi Siloam Lembata.
Catatan: Artikel ini sudah ditayangkan di FloresPost.net, Kamis, 2 Oktober 2025 - 11:45 WITA.