HOMILI, Minggu, 30 Maret 2025: Belaskasihan Allah Mengatasi Kelemahan Manusia

redaksi - Sabtu, 29 Maret 2025 17:08
HOMILI, Minggu, 30 Maret 2025: Belaskasihan Allah Mengatasi Kelemahan ManusiaSang ayah menyambut anaknya yang hilang, tetapi sudah kembali ke rumah. (sumber: Istimewa)

BELASKASIHAN ALLAH MENGATASI KELEMAHAN MANUSIA
(Minggu Prapaskah IV: Yos 5:9a.10-12; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3.11-31)

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung menjauhkan diri dari Allah dan memilih jalan hidupnya. Ia ingin mengurus diri sendiri tanpa campur yang lain, termasuk Tuhan.

Tetapi, Allah tidak pernah tinggal diam. Allah mencari Adam setelah ia tidak setia pada perintah Tuhan karena makan buah terlarang. Allah juga mengutus para nabi dan utusan-Nya untuk mengingatkan bangsa Israel agar tetap setia pada hukum dan perintah Allah.

Dan, akhirnya Allah mengutus Yesus, Putera-Nya, sebagai Juruselamat dunia. Yesus datang untuk mengalahkan dosa dan maut, memulihkan kembali hubungan antara manusia dengan Allah, serta membawa manusia untuk kembali bersatu dengan Allah.

Injil hari ini mengajak kita untuk menyelami cinta Allah yang maharahim, terbuka terhadap semua orang, serta mengampuni dan merangkul semua orang. Yesus  menerima orang-orang berdosa dan para pemungut cukai. Ia mengajar mereka dan makan bersama dengan mereka. 

Bercermin pada kisah Anak Hilang kita dapat tegaskan bahwa Allah mengampuni tanpa batas dan tanpa syarat, atau tanpa jika…Pengampunan Allah itu tulus. Ia mengampuni tanpa ingat kembali kesalahan dan dosa yang telah dilakukan, serta tanpa menghitung kerugian sebagai akibat dosa sebelumnya. 

Karena itu, orang yang telah jatuh ke dalam dosa, dan jauh dari  Bapa mesti insyaf akan dosanya, bertobat dan mau kembali ke Rumah Bapa. Sebab Allah selalu menanti kembalinya anak yang hilang. 

Bahkan AIlah bergembira dan berpesta merayakan kembalinya seorang anak yang telah hilang dan putuskan untuk kembali. Sebab keluar dari rumah Bapa berarti hilang dan mati, sebaliknya kembali ke rumah Bapa berarti pulihkan status sebagai anak dan hidup. 

Dan, orang yang hilang tetap dianggap sebagai anak karena kendatipun ia telah keluar dari rumah Bapa dan terlepas dari ikatan Bapa, status sebagai anak tetap melekat kuat dan tidak pernah hilang.

Penginjil Lukas juga mengajak kita untuk coba mamahami  dinamika dan motivasi hubungan manusia dengan Allah yang ditunjukkan di dalam figur dua orang kakak beradik.

Anak bungsu tampil sebagai sosok yang mau bebas, terlepas dari ikatan dan pengawasan Bapa. Ia tidak mau bergantung pada Bapa. Maka ia memutuskan untuk tinggalkan rumah Bapa dan urus diri sendiri.

Secara sepintas kita bisa nilai bahwa ia adalah anak yang tidak tahu diri, nakal dan kurang ajar. Tetapi,   bapa menghargai kebebasan anaknya, memberikan apa yang dia minta. 

Dan, ketika berada di luar rumah bapa, ia buat apa saja dengan harta kekayaan bapanya  termasuk buat hal-hal yang tidak baik atau jahat. Akibatnya kekayaan dan warisan bapa habis dan ia jatuh miskin, dan bahkan melarat. 

Dalam keadaan ini, dia ingat kembali akan pengalaman hidup bersama di rumah bapa. Ada ketenangan, keamanan, dan kedamaian. Para pekerja hidup nyaman dan terjamin. Mereka hidup dalam kelimpahan, sebaliknya, ia sungguh menderita. Semua itu  mendorong si bungsu untuk memulai langkah hidup baru dan kembali ke rumah bapa.

Dan, satu hal lain yang ditonjolkan oleh anak ini adalah jujur mengaku bersalah. Ia berkata, “Bapa, aku telah berdosa melawan surga dan melawan Bapa, aku tidak layak disebut lagi anak, dan jadikan aku sebagai salah seorang hamba”, (Luk 15:21).  

Ia jujur mengaku dosanya dan terbuka menerima risiko atau konsekuensi dari perbuatannya itu, yakni tidak pantas jadi anak lagi, ia pasrah diperlakukan sebagai hamba atau pekerja.  

Pengalaman anak bungsu yang hidup jauh dari Bapa memberikan pelajaran berharga  bagi kita. Anak bungsu tinggal di luar rumah, jauh dari bapanya, tetapi ternyata ia merasa  sangat dekat dengan  bapaknya. Hatinya selalu ada bersama  bapaknya. Ia  selalu ingat akan bapanya maka ia mau kembali. 

Inilah syarat utama bagi setiap manusia  yang telah berdosa dan jauh dari Allah merasa termotivasi untuk kembali ke Rumah Bapa, yaitu selalu merasa satu dan dekat dengan Allah dan umat Allah lain.

Di pihak lain, anak sulung selalu tinggal bersama bapa di rumah, dan setia melaksanakan perintah bapaknya tanpa langgar apa pun. Di mata bapa ia adalah anak yang baik, sopan dan setia. 

Namun, ternyata ia menyembunyikan suatu rahasia yang memisahkannya dari bapanya. Ia justeru merasa jauh dari bapanya kendatipun setiap hari ada bersama  di rumah yang sama. 

Ia menganggap bapaknya bersikap tidak adil terhadap dirinya dan pilih muka dalam perlakuan terhadapnya. 

Akibatnya, dia marah, memberontak dan tidak mau masuk rumah. Dia juga membenci adiknya dan tidak mau kenal lagi sebagai saudara (adik), melainkan sebagai “orang asing”, yang tidak pernah dikenalnya. 

Ia juga berpikir negatif terhadap adiknya dan menganggapnya sebagai orang jahat. Ia barkata, “Anakmu itu yang telah memboroskan kekayaanmu dengan pelacur-pelacur kini telah kembali dan engkau merayakan pesta untuk menyambut kedatangannya kembali”, (Luk 15:30). 

Anak sulung menjadi contoh dari orang-orang yang selalu merasa diri benar, suci dan jujur, lebih dari yang lain lalu sebaliknya menganggap remeh orang lain dan menganggap yang lain jahat. Dia berlaku seperti hakim yang mengadili dan memberi hukuman kepada orang lain. 

Ketertupan diri dan hati membuatnya menjadi musuh dari semua orang: bapaknya dan juga adiknya. Ia tidak mau masuk rumah karena ia tidak tahan melihat wajah-wajah yang ia benci. Ia cemburu terhadap adiknya. Sikap seperti ini tidak dibenarkan di hadapan Allah.

Mari kita belajar dari pengalaman iman dan watak anak bungsu. Mungkin kita adalah anak bungsu yang telah jauh dari Rumah Bapa. Sekarang adalah saatnya untuk kembali. Atau kita adalah anak sulung yang mudah marah dan memberontak. Kita cenderung menghakimi dan menghukum orang lain.

Semoga Tuhan Yesus memberkati kita!

Kewapante, Minggu, 30 Maret 2025. ***
 

Tags rumahbapaAllahBagikan

RELATED NEWS