HOMILI, Pater Gregor Nule SVD, Minggu Prapaskah IV, 19 Maret 2023
redaksi - Sabtu, 18 Maret 2023 17:18MELIHAT DENGAN KACAMATA TUHAN
(Minggu Prapaskah IVA: 1Sam 16:1b.6-7.1013a; Ef5:8-14; Yoh 9:1-41)
Kita mengenal pepatah, “Dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa tahu”. Hanya Allah saja yang tahu.
Bacaan-bacaan hari itu membuktikan kebenaran pepatah di atas. Manusia umumnya hanya mampu menangkap dan menduga hal yang kelihatan. Dan dugaan itu bisa benar dan bisa saja keliru.
Sebaliknya, Allah mampu melihat dan menyelami jauh lebih dalam melampaui yang kelihatan. Allah melihat sampai ke kedalaman hati. Maka pandangan dan ketetapan Allah itu selalu benar.
Kitab pertama Samuel melukiskan tentang penetapan Daud sebagai pengganti raja Saul, yang justeru tidak diperhitungkan oleh Samuel dan Isai, sang ayah sendiri. Samuel dan Isai menyangka bahwa Eliablah orang yang telah ditetapkan Tuhan dan siap diurapi menjadi raja Israel, karena ia adalah anak sulung dan perawakannya sangat mengagumkan.
Tetapi, firman Allah mengingatkan Samuel agar tidak menilai berdasarkan parasnya, atau perawakan atau hanya melihat penampilannya saja. Apa yang dilihat manusia belum tentu cocok dengan apa yang dilihat Allah. Sebab, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Allah melihat hati”, (1Sam 16:9).
Karena itu, ketika melihat Daud, si bungu dari anak-anak Isai, yang kulitnya kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok, Tuhan memerintahkan Samuel agar mengambil tabung tanduk yang berisi minyak dan mengurapinya di tengah-tengah saudara-saudaranya, (bdk 1Sam 16:12-13).
Cara pandang yang berbeda dan bahkan bertentangan antara Allah dan manusia kita temukan juga pada peristiwa penyembuhan orang buta sejak lahir, sebagaimana diceritakan Injil hari ini.
Ketika melihat si buta, yang tentu sungguh menderita karena selalu mengemis di halaman Bait Allah Yerusalem, para murid langsung bertanya tentang siapa yang bertanggungjawab atas kemalangan itu.
Mereka berpikir tentang dosa siapa yang menjadi cikal-bakal kebutaan itu, entah si buta sendiri atau orang tuanya. Mereka mulai berpikir tentang siapa yang mesti disalahkan. Mulai muncul pula prasangka buruk dan pikiran negatif terhadap orang lain.
Tetapi, pandangan Yesus sungguh berbeda, bahkan bertolak belaksang. Yesus tidak berpikir tentang kebutaan sebagai hukuman Allah dan akibat dosa manusia. Yesus juga tidak mau mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, atau siapa yang bertanggungjawab.
Maka Yesus menjawab pertanyaan para murid dengan berkata,“Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia”, (Yoh 9:3).
Bagi Yesus penderitaan si buta punya tujuan yang luhur dan ilahi, yakni untuk menyatakan karya-karya Allah. Dengan kata lain, Allah ingin menunjukkan kebaikan dan menyatakan karya kasih-Nya justeru melalui kesengsaraan dan penderitaan manusia.
Karena itu, Yesus tidak membiarkan orang buta itu terus menderita. Ia bukan hanya sekedar melihat orang itu, mengungkapkan rasa kasihan dan turut bersedih, lalu berjalan terus. Yesus melakukan sesuatu yang nyata untuk menyembuhkan dan menyelamatkannya.
Inilah yang dilakukan Yesus bagi orang buta itu. “Yesus meludah ke tanah, dan membuat lumpur dengan ludah itu, dan mengoleskannya pada mata orang buta tadi, dan berkata kepadanya, ‘Pergilah dan basulah dirimu di kolam Siloam,….orang itu pergi membasuh dirinya, lalu kembali dan dapat melihat lagi”, (Yoh 9:6-7). Orang buta itu sungguh menjadi sembuh oleh karena karya belaskasihan Yesus dan taat pada perintah Yesus.
Orang buta yang telah sembuh kini menjadi manusia baru. Ia diperkaya dengan perasaan, pikiran dan hati yang baru. Maka kini ia hanya punya satu pilihan yakni percaya dan menyembah Yesus sebagai Tuhan, serta menjadi saksi kebenaran tentang Yesus di hadapan orang lain, khususnya para lawan-Nya, yakni orang-orang Farisi dan para ahli Taurat.
Bagi si buta yang telah sembuh Yesus adalah Anak Allah dan Terang Dunia, yang menghalau kegelapan yang menakutkan, sehingga, “sekalipun berjalan di lembah yang kelam, ia tidak takut akan bahaya, sebab sang cahaya selalu bersamanya, “ (bdk Mzm 23:4).
Si buta juga berani membela Yesus di hadapan tuduhan palsu para musuh-Nya, yang menganggap Yesus sebagai orang berdosa. Mereka berpendapat bahwa Yesus tidak datang dari Allah, dan Ia telah melanggar aturan-aturan hukum Taurat, karena bekerja pada hari Sabat,, yakni mengaduk tanah, membuat lumpur, mengoleskan lumpur pada mata orang buta dan memelekkannya.
Si buta menyatakan pembelaannya, katanya, “Kita tahu bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendakNya.
Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa”, (Yoh 9:31-33).
Bagaimana dengan kita, para pengikut Kristus? Kita pun sering berpikir dan bertindak seperti orang buta dan tuli. Kita punya telinga tetapi tidak bisa mendengar dengan baik. Kita punya mata tetapi tidak bisa melihat dengan jelas. Sering kita salah menilai orang lain. Kita menghakimi orang secara tidak adil dan membuat tuduhan-tuduhan palsu.
Maka kita perlu bertobat. Mata dan hati kita mesti disembuhkan oleh Yesus sehingga mampu melihat sesama dengan kaca mata baru, yakni kaca mata Tuhan sendiri. Kita membiarkan Kristus, Terang Dunia, menyinari kita sehingga kita mampu hidup sebagai anak-anak terang.
Sebagaimana si buta yang telah menjadi sembuh dan tampil sebagai saksi Kristus, panggilan kita bukan hanya menjadi terang bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Tugas perutusan kita bukan saja supaya kita sendiri selamat, tetapi juga menyelamatkan, sehingga banyak orang pun selamat dan hidup bahagia. Amen.
Kewapante, Minggu, 19 Maret 2023,
P. Gregorius Nule, SVD. ***