Ketika THL Belum Jadi 'Cermin Bening' Bagi ASN di Nagekeo
redaksi - Senin, 12 September 2022 22:29Oleh Silvia S dan Maria Leonora
DALAM dua bulan terakhir, suara sumbang mengenai isu THL di Kabupaten Nagekeo terus membahana.
Pemicuanya adalah Surat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/1511/M.SM.01.00/2022 Tanggal 22 Juli 2022, perihal: Pendataan Tenaga Non-ASN di Lingkungan Instansi Pemerintah yang ditujukan kepada Para Pejabat Pembina Kepegawaian di Instansi Pusat dan Daerah.
Mengacu ke surat tersebut, pimpinan DPRD Kabupaten Nagekeo mengundang Bupati Kabupaten Nagekeo melakukan Rapat Kerja Komisi I pada 24 Agustus 2022.
- Tarsan Talus Sponsori 'Liga Friendly Match Wae Mokel' di Mukun, Matim
- SENDAL SERIBU, Senin, 12 September 2022: Hidup dari Iman
Namun, melalui suratnya tertanggal 25 Agustus, Bupati menyampaikan permohonan maaf tidak dapat hadir sebagaimana mestinya. Namun terkait pendataan tenaga non-ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Bupati Nagekeo, dr Johanes Don Bosco Do menyampaikan penjelasan teknis secara lengkap.
Sejatinya, isu yang diangkat adalah sebuah isu lama. Kejadiannya sudah 3,5 tahun silam.
Pada masa lalu, kontrak THL selalu diperpanjang tanpa lewat penilaian kinerja.
Mereka bekerja tanpa job description (jobdesc) atau deskripsi tugas yang jelas dan tanpa key performance indicator (KPI) atau indikator kinerja yang jelas yang bisa dipertanggung jawabkan.
Kilas balik
Kehadiran THL di Kabupaten dilatarbelakangi olehPeraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS melalui jalur database, maka sejak saat itu PPK baik di pusat maupun daerah dilarang mengangkat tenaga honorer.
Ketika Kabupaten Nagekeo dibentuk menjadi salah satu daerah otonom di Provinsi NTT pada tahun 2007, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) ketika itu, tidak bisa mengangkat tenaga honorer karena dilarang oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, walaupun saat itu Kabupaten Nagekeo sangat membutuhkan tenaga untuk bisa membantu pekerjaan PNS yang jumlahnya sangat terbatas.
Sebagai solusinya, Pemerintah Kabupaten Nagekeo saat itu, berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan berhasil merekrut 334 orang THL dengan mekanisme kontrak dengan masa kerja Bulan Januari s/d Desember pada tahun berjalan (selama 1 tahun);
Kala itu THL tidak disebut sebagai Tenaga Honorer karena jika disebut sebagai tenaga honorer justru dilarang oleh PP Nomor 48 Tahun 2005 yang juga dipertegas dengan Surat EdaranMenteri Dalam Negeri Tanggal 10 Januari 2013.
Meski demikian, THL biasanya dievaluasi kinerjanya oleh setiap Pimpinan Perangkat Daerah pada setiap akhir tahun (Bulan Desember). f. Jika kinerjanya baik dan masih dibutuhkan, maka THL yang bersangkutan dapat diusulkan kembali kepada Bupati (PPK) untuk diperpanjang masa kontraknya ditahun berikutnya (mengangkat kembali menjadi THL);
Dalam perkembangan sampai tahun 2018, jumlah THL di Kabupaten Nagekeo menggelembung menjadi 1046 orang yang masa kontraknya berakhir pada tanggal 31 Desember 2018.
Secara kebetulan, pada tahun yang sama, ditetapkan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), maka PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.
Ketika dr Johanes Don Bosco dan Marianus Waja mulai bertugas usai dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Nagekeo, 24 Desember 2018, salah satu langkah awal yang diambil adalah mereformasi birokrasi.
Langkah reformasi birokrasi dimulai dari penilaian beban tugas aparatur sipil negara (ASN) atau PNS.
Setelah melihat beban tugas ASN, Pemda menata ulang ASN Nagekeo lengkap dengan jobdesc dan KPI. Ini dilakukan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Jadi, yang terjadi sesungguhnya di Kabupaten Nagekeo bukanlah pemberhentian THL, melainkan habisnya masa kontrak 1.046 THL per Desember 2018.
Dan, guna memenuhi tata kelola yang benar, THL tidak diberikan kontrak baru. Apalagi, per Desember 2018, jumlah ASN Nagekeo sekitar 800 orang (di luar guru dan tenaga medis).
Setelah THL tidak lagi dipekerjakan, pelayanan ASN berjalan baik. Saat ada kebutuhan tenaga kerja terbatas, yang bukan ASN, Pemda melakukan kontrak sesuai dengan peraturan yang ada.
Pada masa lalu, saat ada THL, ASN Nagekeo umumnya tidak bekerja penuh. Karena sebagian tugas mereka dikerjakan THL.
Tentu saja, kondisi ini merugikan keuangan negara dan rakyat Nagekeo. Total gaji mereka sekitar Rp 25 miliar setahun bisa digunakan untuk keperluan rakyat.
Pengangkatan pegawai honorer, termasuk THL, sudah lama dilarang oleh peraturan. Larangan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Kalau pun ada kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat dipenuhi oleh ASN yang ada, sudah ada aturan tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pemda Nagekeo tunduk pada aturan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk memenuhi apa yg benar-benar dibutuhkan, misalnya customer service , dokter spesialis, security, sopir yang dalam dunia pengadaan barang/jasa dikenal dengan pengadaan melalui penyedia (pelaku usaha) baik badan usaha maupun perorangan.
Ini bukan urusan bupati untuk membuat komitmen, tetapi langsung dengan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen di masing-masing perangkat daerah atau satker.
Berbeda sekali dengan pengadaan pegawai THL seperti di masa lalu yg membutuhkan pengangkatan oleh Bupati sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah.
Pada prinsipnya untuk memberikan pelayanan publik, negara sudah menyediakan ASN bergaji yang direkrut lewat mekanisme pengadaan ASN.
Pelayanan publik tersebut membutuhkan barang/jasa untuk dinikmati masyarakat. Jika karena keahlian dan keterampilan atau peralatan yang dimilikinya, para ASN mampu menyediakan sendiri maka disebut swakelola.
Tetapi, jika tidak bisa maka dibeli dari para pelaku usaha atau penyedia.
Bupati melihat banyak persoalan yang sudah dan akan terjadi jika praktik rekrutmen pegawai non-ASN terus berlanjut, sehingga adalah sangat tepat membetulkan kembali pemenuhan kebutuhan akan barang/jasa pada posisinya. Ibarat badan yang terkilir, urat dan otot dikembalikan pada posisinya.
Pemda Nagekeo pernah mendapat jawaban lewat konsultasi tertulis dari BPKP, di tengah memanasnya demo-demo THL Tahun 2019.
Tidak ada aturan yang membenarkan praktik pengadaan pegawai seperti masa lalu itu di mana THL di-roll over otomatis tanpa penilaian kinerja.
Kalau ASN kurang ahli, maka diperlukan pengadaan tenaga ahli yang namanya “konsultan”. Bukan asal rekrut tenaga tidak terampil tapi berlaku seperti tenaga ahli.
Kalau ASN kurang terampil, maka diperlukan tenaga terampil, buruh, dan lainnya yang disebut dengan penyedia jasa lainnya.
Mereka, antara lain, sopir, juru taman, tukang cukur, tukang semir. Dan semua itu dipenuhi dari dunia usaha melalu mekanisme pengadaan barang/jasa yg memang sudah jelas aturan mainnya.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa isu THL di Nagekeo bukanlah pemecatan atau pengurangan tenaga kerja secara sepihak oleh Pemda.
Namun, itu adalah isu tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi yang mengedepankan efiensi dan kinerja.
Belum jadi ‘cermin bening’
Sayangnya, langkah reformasi dan efisisnesi birokrasi yang diinisiasi oleh Bupati Don dan Wabup Marianus ditanggapi setengah hati dan tidak dilihat sebagai cermin bening oleh ASN, aparat TNI-Polri dan para poltisi di Nagekeo untuk meningkatkan kinerjanya dalam melakukan pelayanan publik.
Yang terjadi justru sebaliknya, ada yang menjadikan THL sebagai bahan ngerumpi ngalur-ngidul di warung kopi atau di loka tua.
Bahkan, dari hari ke hari, isu itu mulai dihembuskan contoh kegagalan Bupati dan Wabup yang sedang berkuasa.
Alhasil, di satu sisi ASN merasa seakan-akan reformasi birokrasi tak perlu terjadi, dan pada sisi yang lain para THL yang tidak diperpanjang kontraknya semakin sulit move on, dan merasa bahwa mereka adalah ‘korban’ kebijakan Pemda. (Silvia Sea)***