OPINI: Ironi Sebutan 'Yang Mulia' kepada Para Hakim dan Praktik Suap di Pengadilan

redaksi - Sabtu, 19 April 2025 11:48
OPINI: Ironi Sebutan 'Yang Mulia' kepada Para Hakim dan  Praktik Suap di PengadilanJulio Leba, SH, MH (sumber: Dokpri)

Oleh : Julio Leba, SH, MH*

BELAKANGAN ini sejumlah media ramai sekali memberitakan terkait kasus suap terhadap hakim di Pengadilan Jakarta Selatan dalam kasus CPO (Crude Palm Oil) perkara korupsi pengurusan ijin ekspor minyak mentah. 

Dalam kasus ini Kejagung menetapkan 7 tersangka dugaan suap Rp 60 miliar terhadap 4 hakim yakni Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, Muhammad Arif Nuryanta. 

Selain para hakim, terdapat juga panitera muda Wahyu Gunawan dan 2 pengacara yaitu Marsella Santoso dan Ariyanto. 

Sejatinya dalam kasus suap terhadap para hakim ini tidak saja datang dari internal pihak pengadilan, namun terdapat juga pihak lain yang terlibat dengan tugas dan caranya masing-masing. 

Di antaranya seperti yang disebutkan di atas, ada Panitera, ada tIm Pengacara dari pihak yang berperkara, dan sampai sejauh ini masih didalami keterlibatan pihak lain. 

Kasus ini tentunya bukan yang pertama dalam hal suap menyuap di institusi peradilan negara Indonesia, ini tentu menambah daftar Panjang awan gelap di dunia peradilan, selain itu ada sejumlah kasus lain juga yang pernah terjadi.

1. Kasus ini berawal dari perkara korupsi ekspor minyak goreng dengan terdakwa tiga korporasi, Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas. 

Dalam putusan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 19 Maret 2025, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto menjatuhkan vonis lepas atau onslag kepada ketiga perusahaan. 

Hakim mengabaikan tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam tuntutan jaksa meminta agar ketiga korporasi membayar uang pengganti kepada Permata Hijau Group senilai Rp937 miliar, Wilmar Group Rp11,8 triliun, dan Musim Mas Group Rp4,8 triliun. Untuk memuluskan putusan tersebut terjadilah persekongkolan suap Rp 60 M kepada para hakim sebagai pengambil keputusan (*Sumber dari Indonesia Curroption Watch).

2. Kasus suap hakim agung Gazalba Saleh sebesar Rp 2,2 M pada tahun 2022. Dalam kasus ini Gazalba beserta 2 staffnya yang turut serta terlibat melancarkan praktek suap ini terbukti menerima suap untuk kesepakatan vonis bebas terhadap Budiman Gandi Supaman selaku pengurus koperasi simpan pinjam Intidana. 

Dalam hal ini Debitor Intidana Heryanto Tanaka melaporkan Budiman dengan delik pemalsuan dokumen akta perusahaan. 

Dalam putusan tingkat pertama PN Semarang dinyatakan bebas, namun kasus ini masih berlanjut ke Mahkamah Agung, disinilah Hakim agung Gazalba berperan untuk membatalkan vonis bebas tersbut dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara terhadap Budiman. Atas kesepakatan tersebut Gazalba akan mendapatkan imbalan Rp 2,2 M (*Detiknews.com)

3. Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat kepada hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat berinisial DS. 

Pada tahun 2023 Hakim DS terbukti menerima uang Rp 300 juta ketika mengadili perkara yang menjerat mantan Wali Kota Kediri Samsul Ashar di PN Surabaya. 

Sesuai dengan informasi yang diperoleh dari MKH menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat yang disampaikan oleh pimpinan MKH Hakim agung Desnayeti (*Sumber dari Komisi Yudisial). 

4. Tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya didakwa menerima suap berupa hadiah atau janji sebesar Rp4,67 miliar dan gratifikasi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian vonis bebas terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada 2024.

Sidang dakwaan digelar di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa 24 Desember 2024. 

Ketiga hakim nonaktif itu diantaranya Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul. Tindakan suap ini dilakukan oleh Meirizka Widjaja, ibu Ronald Tanur agar vonis hakim bisa bebas dalam kasus penyiksaan berujung kematian teman wanitanya Bernama Dini Sera Afrianti

5. Selain itu kita juga akan semakin kaget dengan data dari ICW Indonesia Curroption Watch bahwa terdapat 29 Hakim yang ditetapkan terlibat kasus korupsi dan penyuapan untuk mengatur hasil putusan pengadilan. Nilai suap diperkirakan mencapai Rp 108 M sepanjang tahun 2011 sampai 2024.

Fakta-fakta diatas hanya segelintir kasus yang viral dan menjadi perhatian public, sehingga menjadi ramai dibahas dan dalam sorotan public. 

Apa yang terjadi jika tidak ramai dan didiamkan begitu saja, maka sudah tentu kita tidak akan banyak mengetahui berapa banyak hakim yang mulia terlibat dalam banyak kasus suap. 

Secara akar kata, suap ini bermula dari kata briberie dalm Bahasa prancis yang berarti mengemis atau begging, atau arti lain adalah gelandangan. Sedangkan dalam Bahasa latin berasal dari kata briba yang artinya sepotong roti yang diberikan kepada pengemis. 

Dalam perkembangannya kata suap ini semakin dimaknai sebagai pemberian kepada pihak tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan. 

Hal ini semakin banyak terjadi di dunia hukum, bisnis, pemerintahan, politik bahkan sudah masuk sampai ke level Pendidikan. 

Tentunya praktik suap ini berdampak sangat buruk kepada seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian jika diterjemahkan secara mudah suap berarti sedang mengemis kepada pemberi keputusan. 

Itulah mengapa dengan banyaknya kasus suap yang terjadi di dunia peradilan akan memberikan citra buruk bagi dunia hukum Indonesia.

Mengapa praktik suap di lingkungan peradilan sering terjadi?
1. Lemahnya system pengawasan yang dilakukan oleh mahkamah agung terhadap para hakim di Indonesia. 

Dalam hal ini menunjukan praktik suap sudah berjalan sedemikian lama, namun pengawasan justru tidak membaik. Terkesan ini terjadi secara terstruktur dan sistematis dalam dunia peradilan. 

Pola Suap yang terjadi juga menjukkan sistematis tersebut, melibatkan oknum pengacara, panitera, uang dikonversi dalam bentuk mata uang asing, traksaksi dilakukan secara cash, diberikan melalu sekuriti atau kurir, dll. 

Mahkamah agung harus cepat berbenah untuk memperbaiki ini, jika tidak akan semakin meruntuhkan kepercayaan public terhadap dunia hukum.

2. Tekanan dari berbagai pihak kepada Hakim sebagai pengambik putusan. Dalam hal ini tekanan bisa dibagi secara financial terkait keserahakan untuk memiliki banyak uang, dan juga tekanan bisa berupa dari pihak yang berkepentingan dalam kasus hukum yang berjalan. 

Menariknya dalam kasus suap Hakim PN Jakarta selatan CPO Wimar Group, patut diduga tekanan dari oligarki di industry oil sangat besar kemungkinan membayangi keputsan hakim.
3. Hukuman terhadap pelaku suap yang masih sangat lemah. 

Praktik suap, korupsi dan sejenisnya sangat merusak kepercayaan public perhadap dunia hukum di Indonesia. Hal ini diperparah dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku masih jauh dari efek jera.

Fokus pada solusi perbaikan
Seperti yang diuraikan oleh ICW sejak tahun 2011 sampai 2024, ditemukan sebanyak 29 hakim yang terlibat dalam kasus suap, tentunya ini bukan hal membanggakan bagi kita semua. 

Sangat memalukan, khususnya untuk sebuah predikat sebagai yang mulia hakim. 

Seringkali dalam setiap persidangan semua pihak harus selalu mengucapkan kalimat disertai ungkapan yang mulia, artinya bahwa sebagai wakil Tuhan di dunia masyarakat berharap para hakim menyadari akan pentingnya menjaga netralitas dalam menjalankan tugas mereka. 

Berikut beberapa solusi yang harus segera ditindaklanjut pemerintah untuk perbaikan kualitas dunia peradilan.
1. Perlunya pengawasan hakim yang berbeda di era presiden Prabowo. Ketua MA yang baru dilantik Prof. Dr. H. Sunarto, SH, MH wajib segera membuat system pengawasan internal terhadap para hakim yang berbeda dari masa kepemimpinan sebelumnya. 

Perubahan cara pengawasan ini sudah tentu akan jadi hal sulit, namun untuk memulihkan kepercayaan public MA perlu mengambil langka baru dan beda. Ini bisa tertuang dalam RUU KUHAP yang baru, yang nantinya akan menjadi pegangan untuk Tindakan pengawasan kekuasaan kehakiman.

2. Perubahan masive untuk, ibarat tubuh mungkin perlu dilakukan cuci darah segera. Kisah presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang terpilih pada januari 2004, setelah menjadi presiden hal pertama yang dilakukan adalah reformasi besar pada sector hukum dan bisnis. 

Tindakan nyata yang dilakukan adalah membrantas praktek korupsi yang sudah sangat parah di negara tersebut.Sebanyak 30.000 polisi korup dipecat, diganti baru dan perbaikan sisi hukum yang tegas. 

Mikheil berpendapat bahwa hanya tindakan ini yang akan membawa perubahan pada pembangunan dan ekonomi negaranya di kemudian hari. Perlukah ini dilakukan oleh ketua MA yang baru?

3. Tidak hanya dari sisi internal Hakim, namun pihak pemerintah terkait lainnya juga perlu berbenah baik dari Eksekutif maupun legislative. 

Salah satunya adalah urgency pengesahan UU Perampasan asset bagi para koruptor. Pengesahan RUU perampasan asset dan tindak tegas prilaku korupsi. 

Presiden harus membrantas praktek korupsi, Investor dan pelaku bisnis sangat menantikan aksi nyata dari pemerintah terhadap praktek korupsi ini, sehingga pada ujungnya akan memberikan rasa aman berbisnis dan membangun masa depan di negara yang menjamin profesionalitas dan anti korupsi.

Kepercayaan public akan dunia peradilan harus cepat dipulihkan, karena sector hukum menjadi krusial bagi kehidupan kebangsaan Indonesia. 

Di sisi lain hukum yang lemah akan membuat praktik suap, korupsi dan kolusi semakin merajalela.

Apabila hukum berperan kuat sebagai penglima untuk menjamin kepastian hukum, masyarakat akan semakin percaya dan tentu pemerintah bisa cepat memulihkan kehidupan sosial masyarakat dan ekonomi. 

Kepastian Hukum dan netralitas hakim akan menjamin semua pihak berdiri pada posisinya masing-masing tanpa saling menyikut.
*Lawyer & Legal Consultant, Specialist Investment, Banking and Insurance Bussines. ***

Editor: redaksi
Tags Jaksasuappara hakimBagikan

RELATED NEWS