SOROTAN: Antara Pikiran dan Emosi: Adakah Strategi Licik di Balik Rocky Gerung?

redaksi - Kamis, 03 Agustus 2023 05:57
SOROTAN: Antara Pikiran dan Emosi: Adakah Strategi Licik di Balik Rocky Gerung?Kons Beo SVD (sumber: Dokpri)

Oleh P. Kons Beo, SVD*

Betulkah ini sekadar split of the tongue? Bahwa ini hanyahlah ‘kisah ringan dan wajar’ dari salah bicara atau salah ucap? 

Artinya, memang ada intensi khusus yang hendak disampaikan. Sayangnya, itu tadi, lidah salah ucap. Kata-kata tersembur dan terhambur begitu saja.

Out of control dari diksi yang diucapkan itu bisa terjadi karena emosi yang bergelora meletup-letup dan meluap-luap. 

Tetapi, benarkah ‘keseleo lidah’ terjadi begitu saja sebagai salah ucap? Yang bisa diterima sebagai ‘bermaksud baik dan bahkan mulia hanya saja ada salah omong dan bahwa ‘sedikit tak elok’ pada pilihan kata-katanya yang berdampak fatal.

Makanya, kata nasihat bijak, ‘omong tu hati-hati sedikit! Pikir dulu baru bicara.’ Ini tentu berkenaan dengan dampak dari segala bicara yang terucapkan itu. 

Maka setidaknya, pembicara mesti paham betul kualitas daya rasa dan daya tangkap (para) pendengar atau lawan bicara.

Si pembicara tentu inginkan agar pendengar tercerahkan oleh apa yang disampaikan. Dan di ujungnya ada perubahan mindset yang berdampak pada sikap atau tindakan positif.

Namun, apa jadinya jika si pembicara ada dalam dinamika berbicara pada isi dan forma negatif. Artinya? Pembicara sengaja mempengaruhi para pendengar demi rentetan reaksi negatif yang bakal muncul?

Reaksi negatif tentu berkobar dari dunia atau alam emosi yang mesti dikobarkan.

Pada ruang emosi inilah, kata-kata yang sarat bunga-bunga api sengaja ditiupkan agar bernyala, membara dan bahkan menghanguskan. Jadinya suasana khaos tercipta. 

Dan di situlah, kata tak sekadar forma dengan ‘ruang hampa makna.’ Selalu ada reaksi yang terbangkitkan.

Di kisah belakangan ini,  ketenaran Rocky Gerung lagi meroket. Dianggap bikin heboh. Soalnya bukan pada kata ‘bajingan’ dan ‘tolol.’ Tapi bahwa dua term itu mesti terhubung pada Jokowi sebagai Presiden.

Gerung memang naik rating dalam atensi publik Tanah Air. Ia lampui riuhnya ulasan tentang ‘nasib Partai Nasdem, ramainya kemelut JIS, hingga info terkini survai Capres 2024. 

Gerung sudah bikin riuh suasana publik melampaui diskursus tentang Anis Baswedan, misalnya, yang diributkan soal track recordnya yang surplus tanda tanyanya.

Rocky Gerung memang sudah coba ‘berakal sehat.’ Ia bertarung ‘cerdas’ pada klarifikasi berbasis etnoliguistik. Di situ bajingan punya pengartian yang wajar, normal dan bahkan ‘biasa-biasa.’

Sabang hingga Merauke coba digurui Gerung bahwa yang dikadrunkan bukanlah Jokowi sebagai persona – pribadi, tapi Jokowi sebagai Presiden, yang kebijakannya dikritisi sebagai bajingan dan tolol. 

Itulah Jokowi yang, seturut Gerung, hanya memikirkan nasibnya sendiri setelah nanti jadi manusia – rakyat biasa, ketimbang pikirkan nasib rakyat.

Sekiranya, bagi Gerung, bernalar kritis dan berbicara terus terang adalah ekspresi dari martabat manusia merdeka. 

Namun, tidakkah Gerung wajib tahu bahwa ruang dan daya tangkap nalar setiap orang berbeda? Tak mungkin ia tak cerdas membaca alam pikir dan jiwa yang lagi membara kontra Jokowi. Di situ, Gerung mulai merancang ‘nalar’ yang mesti mempekeruh suasana.

Karenanya, tidakkah Gerung tampaknya secara lihai ingin siramkan ‘bensin kata-kata’ pada ruang hati – emosi yang lagi gunda gulana atau pun membara?

Rasa diri ‘superior di anak tangga akal budi’ sepertinya wajibkan Gerung bernafsu untuk cerahkan jagat Indonesia yang ‘kelam dan gulita’ dalam berpikir kritis. 

Namun, di sisi lain, tidakkah rasa diri ‘pintar sendiri’ sebenarnya adalah kanal untuk ‘mengakali dan menyesatkan publik?’

Gerung sudah punya modal didaulat sebagai ‘profesor lintas ilmu’ dengan banyaknya kesempatan tampil di publik. Di situ ‘akal sehat dan alam psiko-emosional pendengar seringkali dibenturkannya dalam ‘monopoli bicara dan kebenaran versinya sendiri.’ Namun, cermatilah!

Sekian andalkan senjata filsafat – logika, Gerung justru sering terbenam dalam rawa-rawa akal sehatnya sendiri. 

Saat ia, seturut Bonie Hargens, ‘Ada terlalu banyak ruang kosong di kepalanya, yang membuatnya sering melompat-lompat dari satu tesis ke tesis yang lain.’ 

Atau dalam ungkapan Budiman Sujatmiko bahwa ‘Rocky Gerung itu adalah pemikir yang bisa makan kepalanya sendiri.’ 

Atau pun ketika Gerung tampak ‘mati kutu menahan rasa malu’ saat pernah dikritisi Adian Napitupulu bahwa, ia bisa ‘salah tangkap, salah ingat dan salah berpikir juga.’ 

Tidakkah ‘salah pikir’ adalah ‘senjata makan tuan,’ buat Gerung? Sebab ‘berpikir kritis’ adalah primadona yang  dituhankannya.

Tidakkah untuk si Rocky Gerung, kita yakini saja bahwa ia sebenarnya sering menjebak publik dengan perangkap intentio rational contra actus emosional. Artinya? Ingin cerdaskan nalar publik tetapi aksinya (teater linguistiknya) sebenarnya hanya ingin membakar alam emosional massa pendengar atau lawan bicara. 

Di situlah kehebatannya, untuk tidak mengatakan sebagai kelicikannya.

Di titik lain, mari kita kembali pada term ‘bajingan’ dan ‘tolol.’ Rocky Gerung sungguh telah tampil ‘bajingan’  untuk kritisi  Presiden Jokowi, walau ia mesti bikin diri tampak ‘tolol’ dalam etika public speaking.

Kita tautkan saja ‘bajingan’ dan ‘tolol’ si Gerung dalam konteks tahun politik Pilpres 2024. 

Tetapi benarkah Gerung sungguh bernalar bebas merdeka dalam artian otonom di dalam dirinya sendiri? 

Ataukah sekiranya Gerung hanyalah ‘kuda tunggangan politik’ yang mesti meringkik keras demi kepentingan sekian banyak kelompok atau pihak manapun yang ‘anti Jokowi’ atau bernafsu ‘membabat pengaruh Jokowi demi 2024?

Jika demikian, maka Rokcy Gerung adalah gambaran ‘akal budi yang diborgol, ditawan dan diperalat.’ 

Yang hanya bersandiwara seolah-olah ‘bebas, otonom dan berani bersuara.’ 

Namun sesungguhnya, tak sedemikianlah. Justru sebaliknya! Gerung adalah  primat yang runtuh kebebasannya dalam bersuara.

Andaikan saja bahwa si Rocky bukanlah ‘pemain tunggal apalagi utama.’ Di baliknya ada tali temali yang terhubung padanya demi mengusung dan menangkan kepentingan sendiri.

Bagaimanapun, Indonesia yang sehat dan cerdas mesti tetap setia serta bertaruh demi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Dari pada dikuasai secara ‘emosi penuh rasa dengan bajingan dan tolol’ bagusnya kita serius dalam sikap demi kepemimpinan Indonesia yang damai, tangguh dan bersatu dalam atmofer ‘saudara se- Bangsa dan se-Tanah Air.’ 

Tanpa fragmentasi tirani kelompok yang satu terhadap yang lainnya.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Qatar Airways 959, Jakarta – Doha Agustus 2023

*Penulis rohaniwan Katolik, tinggal di Roma

Editor: redaksi

RELATED NEWS