Bersama Du Anyam, Astra Hidupkan Lagi Kultur Menganyam di Flores Timur, NTT

redaksi - Selasa, 20 Desember 2022 22:57
Bersama Du Anyam, Astra Hidupkan Lagi Kultur Menganyam di Flores Timur, NTTPara wanita penganyam binaa Du Anyam dan Astra sedang menganyam Gedung Serbaguna Desa Wulublolong di Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (17/12). (sumber: Tim Floresku.com)

LARANTUKA (Floresku.com) – Saat tim media dari Floresku.com memasuki halaman Gedung Serbaguna Desa Wulublolong di Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekira pukul 10.00 Wita, sengat mentari begitu menusuk kulit. 

Hawa sejuk baru terasa ketika tim media masuk ke dalam gedung yang berjendela lebar dengan loteng yang tinggi. Di sana tampak sekitar 30-an wanita dengan balutan kain tenun ikat Lamahot beraneka motif  sedang asyik menganyam. 

Sambil menyambut kedatangan para insan media dengan senyuman tersungging dan sapaan khas Lamaholot, para wanita itu tak berhenti menggerakkan jari jemari tangan mereka, menganyam. 

Sambil duduk bersimbah di lantai beralaskan terpal warna biru tua, mereka merajut untaian pucuk lontar (Bahasa Lamaholot: Koli U’bu) kering yang sudah disuwir dengan ukuran beragam, ada yang selebar 0,5 sentimeter, satu sentimeter, dan ada pula yang dua sentimeter. 

Setiap penganyam membentuk jenis produk anyaman yang berbeda dari suwiran Koli U’bu kering itu. Beberapa di antara mereka, mengombinasikannya dengan suwiran Koli U’bu yang telah diwarnai, ada yang berwarna biru, ungu dan ada juga yang jingga. 

Para wanita penganyam itu membentuk aneka jenis produk, mulai dari wadah penyimpan makanan, tempat hidangan kue, tikar, dompet, hingga tas aneka ukuran. 

Tak tampak rasa lelah sedikit pun di guratan wajah mereka. Sesekali, mereka memandang ke arah Jimmy Kerans, seorang instruktur dari kelompok wirausaha sosial, Du Anyam, mitra program Corporate Social Responsibility (CSR) Astra Internasional Tbk.

Menurut Jimmy, ketika sudah selesai dikerjakan, produk anyaman dikumpulkan untuk menjalani quality control oleh tim dari Du Anyam. Anyaman yang memenuhi standar mutu, dipisahkan dari yang tidak memenuhi standar mutu. 

Warisan leluhur yang pernah nyaris punah

Sejatinya, warga masyarakat Pulau Flores dan pulau-pulau di sekitarnya seperti Solor, Adonara dan Lembata mengenal kerajinan anyam-menganyam sebagai ‘warisan leluhur’ yang diteruskan dari generasi yang lebih tua ke yang lebih muda.

Namun, sejak era 1980-an, ketika produk berbahan plastik semakin mendomininasi pasar peralatan rumah tangga dan asesoris, para wanita penganyam di Flores mulai kehilangan motivasi untuk menganyam peralatan rumah tangga dari bahan alami, daun lontar atau pun daun pandan. 

Akibatnya, kegiatan anyam-menganyam menjadi sepi, bahkan nyaris punah sama sekali dari sejumlah kampung atau desa. 

Para wanita penganyam di Flores Timur, melestarikan kultur menganyam. (Sumber: Dok. Du Anyam/duanyam.com).

Sebagai misal, para wanita di Desa Tonggo,  di wilayah selatan Kabupaten Nagekeo, sekitar 250 km arah barat, Kabupaten Flores Timur, yang sebelumnya aktif menenun kain tenun ikat dan menganyam aneka rupa wadah untuk kebutuhan rumah tangga, berhenti menganyam sama sekali.

“Bagaimana kami mau menganyam. Hasil anyaman kami tak dilirik sama sekali oleh para pembeli di pasar,” kata Adelheid Madhi (60), wanita asal kampung Pauwua, Desa Tonggo, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo kepada media ini.

“Makanya, saya hanya meluangkan waktu untuk menenun. Itu pun kalau tidak ada kesibukan di ladang. Sebab, kalau fokus menenun kain tenun ikat, hasilnya juga tak menentu. Selain butuh waktu lama untuk menghasilkan selembar kain tenun ikat, proses menenunnya sangat tergantung pada kesediaan modal atau dana  untuk membeli bahan-bahan seperti benang dan bahan pewarna. Apalagi, sekarang ini bahan pewarna alami yang semakin sulit diperoleh,” kata Adel lagi.

Pengalaman serupa dirasakan pula oleh Mama Maria (60) dari Desa Wulublolong, Pulau Solor, Flores Timur.

Mama Maria mengatakan, pada era 1980-an hingga 2010-an, kegiatan anyam-menganyaman sangat jarang dilakukan para ibu. 

“Karena, para ibu merasa produk anyamannya tak bisa bersaing dengan produk dari plastik yang dijual di pasar atau toko-toko,” Mama Maria mengisahkan.

Inisiatif Du Anyam untuk meningkatkan kesejateraan perempuan 

Dalam sewindu belakangan, kerajinanan anyam-menganyam di Flores, khususnya di Flores Timur, kembali menggeliat oleh kehadiran Du Anyam. Artinya, Du Anyam menghidupkan kembali tradisi anyam-menganyam warisan para nenek moyang atau leluhur orang berkebudayaan Lamaholot yang nyaris ‘tenggelam’ di telan arus zaman.

Nama ‘Du Anyam’ sendiri diambil dari bahasa Sikka, kabupaten tetangga sebelah barat Flores Timur.  Du’a berarti ‘ibu’ atau ‘wanita’. Jadi, ‘Du Anyam’ bermakna ‘ibu atau wanita yang menganyam.’

Mengutip website duanyam.com,  Du Anyam adalah salah satu kewirausahaan sosial (social enterprise) yang tak menjadikan uang sebagai target dan motivasi utama. Du Anyam justru memposisikan dirinya sebagai agen perubahan, yang bertekad memberdayakan masyarakat desa, terutama kaum perempuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya melalui kegiatan yang produktif.

Pendiri Du Anyam: Hanna Keraf wanita asal Lembata (tengah), bersama dua rekannya Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata. Sumber: Instagram Du Anyam). 

Du Anyam dirintis pada 2014 oleh tiga wanita, yaitu Hanna Keraf wanita asal Lembata, bersama dua rekannya Azalea Ayuningtyas dan Melia Winata. 

Du Anyam pertama kali memulai proyek pemberdayaan dengan menggandeng 10 ibu dari Desa Dun Tana Lewoingu, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, NTT, salah satu provinsi termiskin di Indonesia. 

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin banyak wanita bergabung. Pada tahun 2022, sudah ada 500-an wanita penganyam yang  tersebar di 25 desa se- Kabupaten Flores Timur, ikut bergabung. 

Website duanyam.com mencatat, tantangan terbesar selama mengembangkan wirausaha sosial ini adalah menyajikan ide bahwa menganyam dapat mengubah kehidupan. 

“Awalnya para ibu enggan bekerja sama dengan Du Anyam, karena belum melihat bukti nyata. Sebagai langkah awal, Hana Keraf dan kawan-kawan menemukan cara untuk mempromosikan dan menghargai pekerjaan para wanita penganyam itu. Setelah melihat keseriusan ketiga nya, para wanita desa itu mulai termotivasi untuk mengayam. Mereka pun menganyam lagi dan lagi.” 

Misi Du Anyam adalah pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan bagi wanita di pedesaan seluruh Indonesia. Namun, kekuatan sebenarnya dari para wanita ini datang dari dalam diri mereka sendiri, karena mereka terus mendorong dan memberdayakan satu sama lain setiap hari.

Du Anyam dibangun di atas nilai-nilai para pendirinya yang diwujudkan dalam tiga pilar: Memberdayakan Perempuan, Mempromosikan Budaya, dan Meningkatkan Kesejahteraan.

Bekerja sama dengan penganyam wanita Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Du Anyam menghadirkan koleksi produk anyaman dan kerajinan tangan dengan sentuhan otentik. 

Jalan menuju kemandirian kian terbuka lebar

Jalan kreatif dan inovatif yang ditapaki para wanita desa di Flotim bersama Du Anyam ternyata selaras dengan visi PT Astra Astra International Tbk. Salah satu dari empat program Corporate Social Responsibility (CSR)  unggulan Astra adalah ‘Astra untuk Indonesia Kreatif dengan membangun Desa Sejahtera Astra (DSA).’ Saat ini Astra memiliki 930 DSA, di seluruh Indonesia.

Konsep utama dalam program CSR unggulan Astra   adalah memperluas cakupan desa penerima manfaat, melibatkan masyarakat dalam program, mengurangi pengangguran serta meningkatkan pendapatan masyarakat.

Astra yang melihat potensi besar yang dimiliki para wanita penganyam di Flores Timur, kemudian menetapkan 25 desa di Flores Timur, 20 di Pulau Solor dan 5 di Flores Timur daratan, sebagai desa binaan yang disebut ‘Desa Sejahtera Astra (DSA)’. 

Sentra kegiatan menganyam di Pulau Solor ada di Desa Wulublolong yang memiliki luas 1.813,20 km² (BPS 2021) dengan jumlah penduduk 280.178 jiwa (DKCS 2021).

Demi mewujudkan  DSA di Kabupaten Flores Timur, sejak 2020 lalu Astra merangkul Du Anyam sebagai mitra yang melakukan kegiatan pendampingan secara teknis di lapangan.

Di bawah pendampingan Astra dan Du Anyam itulah para wanita pengrajin di puluhan desa di Flores Timur semakin termotivasi dan giat mengembangkan ketrampilan menganyam mereka. 

Salah satu wanita yang sangat termotivasi untuk mengembangkan ketrampilan mengayam adalah Maria Gabriela Tuto Kerans (25). Ia  bergabung dengan kelompok Du Anyam Desa Wulublolong pada tahun 2019 silam. 

Maria mengisahkan, semula dirinya tidak tahu menganyam sama sekali. Padahal di lingkungan keluarganya, menganyam sudah menjadi keterampilan yang diwariskan turun temurun. 

“Setiap perempuan dengan sendirinya bisa menganyam, sama seperti menenun sarung yang menjadi tanda dewasanya seorang perempuan.

Setelah lebih dari empat tahun belajar dari tantanya, dan menjalani sendiri kegiatan menganyam kini dia sudah fasih menganyam,” tuturnya.

Pengalaman serupa dialami Maria Hunu Koten (44). Awalnya Maria Hunu Koten pun tidak bisa menganyam sama sekali. Namun, sejak Du Anyam masuk ke Wulublolong pada tahun 2017, ia pun ikut dan giat dalam pelatihan. Sekarang Hunu Koten sudah mahir menganyam.

“Awalnya tidak tahu mengayam, tapi sekarang saya sudah trampil menganyam. Sekarang saya mulai mandiri karena memiliki penghasilan tambahan dari kegiatan menganyam,” ujarnya. (Maxi A.P). ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS