CERPEN: Cinta Seorang Prajurit

redaksi - Minggu, 25 Mei 2025 15:47
CERPEN: Cinta Seorang PrajuritFrater Boy Waro (sumber: File Floresku.com)

  Oleh: Boy Waro
  “Aku pasrahkan kepergianmu, tetapi rinduku tetap bersamamu.” 
 Hari Rabu bulan itu, di kota tua pinggir danau, kamu memaksaku untuk tetap bersamamu. Katamu aku tak dapat melepaskan segala kisah yang selama ini telah kita rajut bersama. 

Ketika aku menatap matamu, aku menemukan sejuta kesedihan yang harus engkau simpan meskipun itu meninggalkan pedih yang tak dapat dihapuskan. 

Memang perpisahan membutuhkan kerelaan meskipun itu meninggalkan luka yang dalam. “Aku pergi karena tugas dan akan pulang karena cinta”. Aku dipanggil untuk mengabdi kepada negara dan kepada cinta yang sudah kita ikrarkan di depan saksi.” 

Kataku sambil merangkulnya yang masih terbenam dalam kesedihan. Upacara pelepasan segera dimulai, sebagian abdi negara sudah bergegas ke lapangan untuk menyiapkan berbagai perlengkapan yang akan dicek oleh Dandim.  

Aku terpaksa memaksanya untuk berhenti menangis, karena aku harus bergegas ke lapangan yang sudah ditunggu oleh rekan-rekanku. Setalah ia melepaskan pelukan hangatnya itu, ia kembali merapikan baret yang kukenakan. 

Upacara pelepasan sudah berakhir, kini para abdi negara diberi kesempatan terakhir untuk berpamitan dengan keluarga yang hadir. Setelah pamitan singkat itu, kami semua bergegas ke kapal yang sudah menunggu untuk mengantar kami ke tempat tugas yang baru. 

Tangisku pecah. Aku yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah sedih, kini harus meneteskan air mata. Perpisahan memang menyedihkan, tapi kini aku harus ingat akan janjiku dua tahun yang lalu, aku dipilih untuk menjadi abdi negara serta melindungi negara, dengan semboyan yang akan selalu kami ingat yaitu NKRI HARGA MATI.  

Ilustrasi: Seorang prajurit di medan pertempuran

Tapak-tapak kota tua itu perlahan kabur dari tatapanku. Aku tidak lagi melihat air mata yang mengalir dari bola matanya yang indah itu. 

Setibanya di tempat yang baru, aku tidak lagi menghubunginya, hubungan kami seakan-akan dipisahkan oleh jarak dan keadaan yang memilukan. 

Setahun berlalu, aku belum mendengar kabar darinya. Aku mencoba untuk menghubunginya tetapi hasilnya nihil. Jaringan di tempat tugasku sangat memprihatinkan, tapi aku tidak putus asa, aku percaya kepadanya. 

Hari-hari kulewati dengan penuh kecemasan dan ketakutan, bunyi senapan tidak asing lagi bagi kami. Kami siap mati untuk keutuhan ibu pertiwi. 

Malam itu adalah malam yang paling menegangkan bagiku. Aku mendapat giliran menjaga di pos keamanan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari dalam hutan, untung peluru panas itu mengenai helm yang aku kenakan. 

Sebelum memanggil rekan-rekanku yang berada di dalam asrama, aku membalas tembakan itu. Kira-kira tiga jam lamanya gencatan senjata berlangsung. Beberapa menit berselang, aku mendapat panggilan dari temanku, untuk segera menghadap komandan.  

Sekembalinya dari hutan tersebut, aku segera melepaskan segala perlengkapan, dan langsung menuju ke kamar mandi.  Baru saja aku membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba alarm yang ada di kamarku berbunyi, aku segera berlari dan mengenakan kembali pakaian dan segera menuju ke lapangan. 

Saat itu pukul dua pagi, kami mendapatkan mandat dari komandan untuk segera menuju kota demi menjaga keamanan karena ada teroris yang menerobos masuk ke kota dan menebak dua orang warga sipil. Kami segera menuju kota. 

Di sana, aku bersama rekan-rekanku langsung siaga di tempat kejadian tersebut. Lima menit kemudian ada teriakan minta tolong dari arah timur. Kami segera menuju sumber suara, ternyata satu warga sipil tertembak. 

Suasana di kota semakin ricuh akibat ulah teroris. Tak lama kemudian, pos jaga diserang dua orang yang diduga teroris. Serangan tersebut menyebabkan salah satu anggota kami terluka di bagian kaki. Kedua teroris itu tertembak mati di tempat kejadian. Lima tahun sudah kami bertugas di tempat rawan teror ini.

 Ketika kembali dari kota, kami dipanggil oleh komandan. Dalam pertemuan tersebut kami diberi kesempatan untuk kembali ke tempat tugas semula. 

Dengan rasa haru dan bahagia, kami mengucapkan limpah terima kasih kepada komandan yang telah memberikan mandat untuk bertemu dengan keluarga. Kami pun membereskan segala perlengkapan yang akan kami bawa pulang. Tepat pukul tiga pagi kami berangkat menuju kota tua itu. 

Setibanya di pelabuhan, sanak saudara dan keluarga telah menunggu kedatangan kami. Sebelum bertemu dengan keluarga, kami mengikuti upacara penerimaan, yang dipimpin oleh Dandim.  Seusai upacara penerimaan, kami pun diberi kesempatan untuk bertemu dengan keluarga. 

Ketika aku memandang di sekitar tidak ada seorang pun yang datang menemuiku, sedangkan rekan-rekanku disambut oleh istri dan anak-anaknya, orang tua dan keluarga mereka. Aku menghela nafas panjang sembari tersenyum. 

“Mungkin mereka tidak mengetahui kedatanganku”, kataku dalam hati menguatkan diri lalu berjalan menuju truk berwarna hijau yang akan mengantarku menuju ke desaku. Dari pelabuhan ke desaku membutuhkan kurang-lebih satu jam. 

Setibanya di desa, aku disambut dengan tangisan kegembiraan oleh keluargaku. Setelah beristirahat sejenak, aku didatangi  seorang anak kecil yang menggemaskan. Aku meraihnya dan menggendongnya. 

Ketika aku menatap wajahnya aku teringat akan sosok yang pernah mengatarku di pelabuhan sebelum aku berangkat ke tempat penugasan lima tahun yang lalu.

 Namun aku mengusir semua pikiran itu, karena aku percaya padanya, ia adalah orang yang baik. Kata keluargaku ia telah melanjutkan pendidikan di luar negeri. 

Aku sangat bangga padanya. Sementara waktu aku tidak ingin mengganggu dia, karena ia harus fokus pada pendidikannya.  

Hari-hari aku lewati dengan penuh semangat di tempat tugasku sebagai seorang TNI. Aku diberi jabatan baru di satuan kami. Jabatan baru itu membuatku semakin bersemangat memberi yang terbaik untuk negara. 

Aku sangat senang bertemu dengan seorang gadis kecil itu, ia memanggil aku om. Aku sering mengantarnya ke sekolah, dan kadang-kadang aku menjemputnya ketika aku tidak telat pulang. Hari itu aku kembali mengantar dia ke sekolah. 

Dalam perjalanan, ia sering membuatku tertawa dengan sikap dan gayanya yang lucu. Aku sempat bertanya kepadanya tentang keluarganya. Ketika aku bertanya tentang nama ayah dan ibunya, ia sempat meneteskan air mata.” 

Om aku tidak tahu ayah dan ibuku, aku ditinggalkan oleh kedua orang tuaku semenjak aku berumur dua bulan”.

 Katanya sambil meneteskan air matanya. Aku mencoba untuk menenangkan. “Dek yang sabar ya masih ada kakek dan nenekmu yang masih mencintaimu. 

Ayah dan ibu masih mencintaimu, mereka tidak meninggalkanmu, mereka pergi untuk mencari uang untuk membiayai ade.” Kataku sambil mengusap rambutnya yang lurus dan halus itu. Setibanya di sekolah ia memelukku. Momen itu membuatku  terharu. 

Tak terasa dua bulan sudah aku bertugas di tempat yang baru, ketika jam istirahat berlangsung, tiba-tiba telefonku  berbunyi aku segerah  meraihnya dari saku celanaku. Aku bingung, nomor itu tidak aku kenal, sehingga kuputuskan untuk tidak menerima panggilan tersebut. 

Panggilan ketiga dari nomor baru itu membuatku penasaran. Aku segera menerima panggilan tersebut. Terdengar suara tangisan. 

“Halo!! Selamat pagi ada yang bisa saya bantu??” Tanyaku tapi suara tangis itu semakin keras. 

“Halo!! Ini dengan siapa?? Apa yang bisa saya bantu??” Tiba-tiba suara perempuan paruh baya itu terdengar. “Selamat pagi pak, saya guru wali kelasnya, Nanda.” Jelas perempuan paruh baya itu. “Ada apa dengan Nanda Bu??” Tanyaku. “Maaf pak.....”. “Ada apa dengan Nanda Bu.” Tanyaku penuh dengan kecemasan. “  

Setibanya di rumah sakit aku segera menuju ruangan mawar nomor tiga, di depan ruangan itu ada ibu gurunya Nanda, kakek dan neneknya, yang menangis. Aku pun segera menuju ke dalam dan langsung terpukul melihat keadaan gadis kecil itu. 

Aku terus berada di sisi ranjangnya itu, menunggu ia kembali sadar. Aku mengelus  pipinya yang halus. Malam itu aku merasa ngantuk sekali, aku pun merebahkan badanku di sofa yang tersedia di kamar itu. 

Lima menit kemudian aku mendengar suara yang memanggil. “Om...Om... tolong Nanda om.” Aku pun segera bangun dan mendapatkannya sedang terjaga. “Nanda ada apa Nanda?.” Tanyaku sambil mengelus rambut hitamnya. 

“Om tolong berikan pada ibu.” Sambil menyodorkan selembar surat. Aku pun memegang surat itu. “Om terima kasih, Nanda sayang sama om.”  Katanya seraya memegang tanganku dan tersenyum manis padaku.

 “Om juga sayang sama Nanda.” Ia pun senyum lalu tiba-tiba ia menarik napas panjang dan menutup matanya. Melihat keadaan gadis itu aku pun segera memanggil dokter. Ketika memeriksanya, dokter tersebut menghela nafas panjang. 

“Pak minta maaf kami sudah berusaha dengan sekuat tenaga Kami, tapi tidak bisa Nanda tidak tertolong.” Mendengar perkataan dokter,  aku langsung tersungkur dan menangis. Mendengar tangisanku keluarganya ikut menangis. 

Aku pun penasaran dengan sosok perempuan itu, aku teringat kembali sosok itu lima tahun yang lalu di pelabuhan itu. Tapi aku mengusir  pikiran itu. Kecurigaanku mulai tampak jelas, itu Dinda.

Ketika ia membuka tudung kepala yang dikembangkan itu, ternyata semakin jelas dugaanku. Ia sudah dimiliki orang lain.

 Dengan kepedihan hati aku teringat akan janjinya kala itu. “aku mencintaimu dengan sederahana apapun itu aku tetap menantimu”***


                          
 

Editor: redaksi
Tags PrajuritNKRIpeluruBagikan

RELATED NEWS