Dekomposisi Demokrasi, Hasil Aksi Para Oligarki

redaksi - Selasa, 02 April 2024 14:43
Dekomposisi Demokrasi, Hasil Aksi Para OligarkiJustino Djogo-Dja (sumber: Dokpri)

Oleh Justino Djogo-Dja*

Setelah 25 tahun reformasi, demokrasi kita akhir-akhir ini bisa dibilang mengalami dekomposisi, alias pembusukan.

Demokrasi adalah kata yang paling sering diucapkan dan ditulis di pekan-pekan terakhir ini, menjelang dan setelah Pemilihan Umum 14 Februari 2024. 

Dari berbagai perspektif, para analis mendefinisikannya dan didalamnya terkandung multi tafsir baik tentang sistem demokrasi dan juga realisasi pemerintahan demokratis. Sistem demokrasi, kata Robert Michels (1876-1936), sosiolog dan ekonom politik Italia kelahiran Jerman, “senantiasa menempatkan organisasi atau kelembagaan pada kedudukan yang sentral. Maka sejatinya,  dinamika organisasi selalu ditentukan oleh tiga faktor: intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan.”

Mengacu Michels pencetus  Hukum Besi Oligarki (Iron Law Oligarchy), maka terlihat bahwa pihak yang mampu merepresentasikan ketiga faktor tadi, lagi-lagi kaum mogul (orang yang memiliki banyak pengaruh, harta dan kekayaan dan kekuasaan). 

Kemampuan para mogul itu jelas tak  dimiliki  rakyat jelata meski jelita, yang kesanggupannya  “beragam”. Maksud “beragam”: kurang mumpuni dalam satu, dua, atau sekaligus tiga faktor di atas. Sehatkah bila demokrasi (maupun organisasi politik) bersimpuh di bawah  kekuasaan oligarki?

Padahal, mestinya berkat demokrasi, rakyat bisa menikmati hak-hak sipil, dan perempuan menikmati kesetaraan dalam  banyak hal. Di negara lain bahkan: perang berhenti atas nama demokrasi.

Dekomposisi Demokrasi

Pada  makhluk hidup, dekomposisi adalah proses pembusukkan pada satu bagian tubuh, dan pelakunya adalah bakteri ataupun jamur. Pembusukkan itu bisa jadi: tidak mematikan secara cepat, tapi bisa membikin cacat, atau kerdil pada tanaman. Pada demokrasi, dekomposisi juga menimbulkan  kecacatan.

Disebut cacat karena ada kerusakan pada sistem demokrasi yang sudah berjalan. Penyebabnya. ia ‘terinfeksi’  kepentingan si pelaku, untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka atau si pelaku tadi  adalah para oligarki alias mogul, atau elit.

Benarkah sekejam itu kiprah kaum mogul, alias oligarkis menyebabkan dekomposisi demokrasi? Lantas, mengapa demokrasi kita begitu gaduh oleh gugatan, dan berisik? Gejolak sempat timbul terkait keputusan MK, lalu padam,  setelah Pemilu  2024 timbul riak penggunaan hak angket di parlemen, mengapa?

Kuasa Kaum Oligarki

Oligos (sedikit) dan arkho (mengatur; memerintah) menjadi dasar bagi istilah oligarki sebagai suatu “struktur kekuasaan” yang berada di tangan segelintir orang. 

“Segelintir” itu bisa kalangan bangsawan, mogul, perusahaan raksasa, dan sebagainya. Takdir oligarki: ia cenderung tiran, dan eksistensinya mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik.

Dan oligarki menyusup di tengah lengahnya demokrasi, akibat aturan main yang ternyata tak sepenuhnya demokratis. Contoh, demokrasi menyepakati bahwa sistem pengangkatan seorang pemimpin harus melalui jalan kompetisi. Tapi siapa yang mampu berkompetisi, bila ada  “syarat” tak tertulis berupa  modal (dana) besar, kecuali mogul?

Jika terbentuk kelas penguasa (alias ‘bonus oligarki) yang sebagian besar sangat peduli dalam  melindungi kepentingan (kekayaan) mereka sendiri, maka mustahil bila demokrasi tak bisa dibeli. 

Lebih naas lagi bila para  pemegang kuasa menjadi “koleksi” sang oligark, maka demokrasi menjadi plutokrasi.  Plutokrasi –ploutos kekayaan; kratos  kekuasaan– merupakan kekuasaan dalam sistem pemerintahan yang didasari kekayaan.

Mengobati Dekomposisi

Dekomposisi demokrasi harus diobati, agar pembusukan tak menjalar ke bagian lain. Caranya, pertama,  mutlak menyiapkan generasi terdidik dan melek politik. 

Kedua, menyadari bahwa  tindakan impunitas, seperti menutup-nutupi (atau bahkan menghapus) pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan “kroninya”,  adalah kanker bagi demokrasi.

Ketiga, ajak dan ajari masyarakat untuk lebih awas terhadap praktek politik, agar tak terjadi pelanggaran terhadap hak politik rakyat. Bukankah “jual beli” kekuasaan antara kaum oligark dengan elit politik maupun partai berarti ?

 Keempat, media massa. Pembentukan opini melalui  media massa yang memihak, alias tidak netral, bisa membahayakan demokrasi yang belum matang. Terlebih, bila media massa tersebut berpartisipasi dalam menutupi sisi gelap, atau bahkan sisi terang, dalam pelaksanaan demokrasi.

Sebagai ilustrasi, Bouilloire et Fruits alias Ketel dan Buah, adalah salah satu judul lukisan terakhir di penghujung hayatnya Paul Cezanne (1839-1906). 

Lukisan ini secara sensasional laku terjual di Christie’s dengan harga 59,3 juta dolar pada Mei 2019. Pembelinya adalah kolektor  hal-hal antik yang tentu saja berkantung tebal. Hanya segelintir orang saja yang seperti ini. 

Ada saja manusia jenis ini, yang oleh beberapa ahli ekonomi disebut sebagai kaum pemilik  ”kekayaan oligarkis”.

Tak masalah bila golongan tersebut memborong lukisan ataupun karya seni dalam bentuk apapun, semahal apapun. Masalah baru timbul, ketika “mereka” memborong kekuasaan dengan cara mencurangi demokrasi.*

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara/FDN, Alumnus St. Gabriel Hochschule,Moedling,  Wien und Hamburg Universitaet)
 

RELATED NEWS