Di Titik Adaptasi (sekadar satu perenungan)

redaksi - Sabtu, 06 Juli 2024 21:35
Di Titik Adaptasi (sekadar satu perenungan)Pater Kons Beo, SVD, Roma (sumber: Dokpri)

“Mereka, yang tidak dapat mengubah pikiran mereka (yang selalu suram), tidak akan dapat merubah apa pun”
(George Bernard Shaw – Kritikus Irlandia, 1856 – 1950)

P. Kons Beo, SVD

Akhirnya, derap langkah ini mesti terhenti. Ini bukan penyangkalan akan nomaditas. Bukan! Sebab tak terbantakan bahwa manusia itu sekian lentur-elastik  untuk bergerak pindah. Langkah demi langkah telah tercipta. Tujuan demi tujuan dirakit. Bukan kah setiap kita sudah alami banyak tempat untuk didiami? Atau pun sekedar sebagai satu dua persinggahan?

Memang, kita tak selamanya ‘di sini dan kini’ (hic et nunc). Terdapat kedalamanan makna di balik ‘siamo partenti.’ Arti sederhananya bahwa kita adalah insan dalam mobilitas bepergian. Homo viator, manusia pengembara, adalah kisah-kisah setiap kita di bumi yang berputar. Itulah riak-riak samudra zaman yang kita arungi  demi mengarah ke dermaga persinggahan atau pun sebagai pelabuhan tujuan akhir.

Bagaimana pun......

Ziarah hidup bakal terus berlanjut,  maka ‘kini dan di sini’ mesti disikapi penuh serius. Di sini, silam tak boleh dilupakan, dan hari esok, yang akan datang itu pun mesti ditatap penuh harapan. Di atas semuanya, seperti hari-hari kemarin itu, kita mesti tetap punya waktu untuk ‘tengok ke dalam’ dan terutama ‘selalu berkerinduan untuk menatap Langit...’

Tetapi, di satu ‘kini dan di sini,’ yang berjedah lama, setiap kita mesti terbingkai dalam dinamika adaptasi. Dan,“Kemampuan beradaptasi dengan cepat dan tepat itu adalah salah satu ciri dari Kecerdasan Spiritual,” begitulah keyakinan Danah Zohar. Sederhananya, hal itu dipahami sebagai kesanggupan untuk menyesuaikan diri.

Tataplah di keseharian....

Segala serba pasti, aman, nyaman, serta terkontrol dan terkendali adalah cita-cita dan harapan yang mesti diracik. Kita memang berusaha agar segalanya ada dalam ‘kepastian kerangka atau forma racikan punya kita.’ Bagaimana pun, pada titik tertentu, toh mata kita bakal terbuka untuk tersenyap dalam sadar: hidup ini nyatanya punya iramanya sendiri.

Diyakini, “Karena keberuntungan atau lebih sering karena kesulitan bahkan tragedi, hidup bisa tiba-tiba berubah. Tragedi menghancurkan rasa aman kita. Kehidupan yang kita kenal sirna. Iman berubah menjadi ketakutan. Jawaban menjadi pertanyaan. Dan kita berada di tempat asing tanpa peta.”

Maka di sinilah alam alienasi segera menyelimuti! Kita hanya berteman sepih dalam dan dengan ‘diri sendiri.’ Hidup bagai dalam kabut dan kegelapan. Segalanya sepertinya penuh dengan keterasingan. Lalu ke mana kah kita gerak melangkah? 
Si bijak ingatkan agar perlahan untuk mendaur ulang forma dan isi kehidupan itu. Dan di situlah penyesuaian diri, iya adaptasi itu, jadi tak terhindarkan. Namun, kisah dan alam batin ini tak gampang memang....

Persoalannya?

“Ketika yang terjadi berbeda dari apa yang diharapkan, atau berubah secara drastis, orang tidak tahu bagaimana harus menyesuaikan diri terhadap situasi baru ini,” tulis Nouwen. Namun, dalam situasi seperti ini adaptasi tetap menjadi dinamika batin (interior) yang tak bisa dicegah.

Di satu titik tumpuh kehidupan yang agak lama, -dalam waktu dan kisah-, setiap kita butuhkan penyesuaian diri yang adequat dan seimbang. Ada kalanya kita tunjukan kesanggupan untuk menata sikon dan lingkungan sesuai hasrat dan impian. Tetapi, tidak kah kebanyakan kita mesti merendah untuk sesuaikan diri dengan syarat, tuntutan dan kondisi nyata?

Tetapi, persoalannya , apakah semuanya itu bakal terjadi semudah itu? Sabar dulu, Bro! Penyesuaian diri yang dibarengi  tindakan yang kreatif, produktif dan inovatif seringkali berbentur sengit dalam area kompetisi.

Tabrakan di kisah adaptasi...

Benar dan tentu benar bahwa kompetisi, iya persaingan itu,  adalah cikal bakal dari perkembangan dan kemajuan. Persaingan yang sengit dan sehat dalam berbagai bidang kehidupan bakal berdampak pada perubahan. Tetapi, marilah bersikap realistis, bahwa  “Tidak kah persaingan tanpa pengakuan adalah satu kekejian?” Maka di situlah penyesuaian diri (adaptasi) masuk dalam dasar rawah-rawah yang teramat labil.

Di kisah lain, tak jarang terjadi apa yang disebut ‘arus serah diri’ nan pasif pada keadaan. Di situ, adaptasi berarti, praktisnya, ‘tinggal ikuti regulasi yang ada, yang baku, kaku, yang  tradisionalistik, dan yang itu sudah.’ Yang menerima apa yang telah tersedia. Di alam seperti ini, manusia sebatas sesuaikan diri pada keadaan dan tuntut
an. Yang klasik tanpa selingan, apalagi jika mesti dengan improvisasi gerak dan irama hidup penuh pernak-pernik. Bahaya sudah!

Di zaman kini, di masa yang makin menderu dengan teknologi komunikasi, misalnya, manusia dipaksa masuk dalam adaptasi dunia komunikasi dan informatika. Ini belum terhitung pada sektor kehidupan lainnya, seperti misal pada dunia bisnis.

Bagaimana pun penyesuaian diri (adaptasi) sebenarnya tak memaksa sejadinya agar manusia mesti memiliki ketrampilan atau pengetahuan tentang segalanya! Tak sedemikian. Titik-titik adaptasi isyaratkan kemampuan untuk lepaskan hal-hal lama, yang usang, yang tak lagi benar. Dan, pada saat yang sama, siap berhadapan dan alami situasi  hidup ngetrend terutama dalam cara berpikir dan juga tentang isi berpikir itu.

Area adaptasi sebenarnya adalah satu persiapan hati untuk menatap jauh ke depan mengenai satu orientasi hidup. Di sinilah manusia bisa saja alami kegoncangan, ketidakpastian serta berhadapan dengan selaksa pertanyaan tanpa jawaban pasti. Bagaimanapun setidaknya kita bertarung untuk mengubah cara berpikir yang usang dan suram. Sebab, jika tak demikian, kita sedikit pun bakal tak sanggup bergerak untuk satu kisah move on yang sehat.

Namun.....

“Di atas semuanya,” si bijak merenung, “Menyesuaikan diri berarti menemukan Allah dari kepastian masa lampau dan Allah dari dunia kita yang kita kenal jauh lebih besar dari itu semua. Dia adalah Allah dari masa transisi kita yang sulit. Dan adalah Allah dari masa depan kita yang belum pasti…”

Iya, adaptasi menantang kita untuk sungguh ‘terpaku menatap langit dan memandang bumi. Di sini dan sekarang ini. Dan walau dalam serba ketakmenentuan, toh kita tetap beriman dan penuh penyerahan pada Allah segala kepastian....

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma. ***

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

RELATED NEWS