Gemerlap Pariwisata Premium Labuan Bajo Menggerus Hukum, Ekologi dan Hak Rakyat
redaksi - Jumat, 09 Mei 2025 21:25
LABUAN BAJO (Floresku.com) – Di balik citra glamor sebagai destinasi wisata super premium Labuan Bajo, menyimpan luka ruang yang kian menganga.
Pembangunan hotel-hotel mewah di sepanjang garis pantai Manggarai Barat tak hanya melanggar hukum, tapi juga merampas ruang hidup rakyat, merusak lingkungan pesisir, dan menafikan nilai budaya masyarakat adat.
Investigasi media ini di lapangan mengungkap sederet pelanggaran serius terhadap hukum tata ruang dan lingkungan. Banyak bangunan berdiri di zona sempadan pantai, melanggar Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 dan Pergub NTT Nomor 11 Tahun 2021 yang menetapkan larangan pembangunan permanen dalam radius kurang dari 100 meter dari garis pasang tertinggi. Beberapa bahkan berdiri nyaris di bibir pantai tanpa pemecah ombak, menyalahi prinsip dasar perlindungan ekologis.
RUANG PUBLIK DIPAGARI, AKSES RAKYAT TERKUNCI
Pantai yang semestinya menjadi ruang publik kini berubah menjadi properti privat. Pagar-pagar hotel menutup akses masyarakat lokal. Nelayan kesulitan bersandar, pedagang kecil terpinggirkan, dan ruang sosial yang selama ini hidup di tepi laut perlahan lenyap.
Di mata warga, pembangunan ini bukan sekadar transformasi kota, melainkan bentuk kolonisasi ruang oleh kekuasaan modal.

"Ini bukan pembangunan untuk rakyat. Ini pengusiran halus," ungkap seorang nelayan di Kampung Ujung, yang kini kesulitan mencari tempat bersandar sejak pantai diapit hotel mewah.
HUKUM TAK BERDAYA DI HADAPAN MODAL
Deretan regulasi yang mestinya melindungi ruang pesisir—mulai dari Undang-Undang Penataan Ruang, UU Pesisir, hingga Perda RTRW Manggarai Barat—justru tampak lumpuh. Bangunan berdiri tanpa memperhatikan izin lokasi, AMDAL, dan kesesuaian zonasi. Penegakan hukum nyaris nihil. Pemerintah daerah cenderung abai atau bahkan diduga turut memfasilitasi pelanggaran.
Sumber di internal pemerintahan yang meminta identitasnya disamarkan menyebutkan, “Banyak perizinan diproses tanpa kajian lingkungan yang memadai. Desakan pusat terlalu kuat. Kami hanya bisa mengikut.”
KERUSAKAN EKOLOGI, PERAMPASAN EKONOMI
Kerusakan kawasan pesisir semakin nyata. Abrasi meningkat, vegetasi alami seperti mangrove dan lamun rusak, dan ekosistem laut terganggu. Bangunan terapung, ponton, hingga reklamasi kecil-kecilan mengubah kontur pantai tanpa dasar ilmiah dan izin lingkungan yang sah.
Secara ekonomi, masyarakat lokal hanya menjadi penonton. Sumber penghidupan mereka—laut dan pantai—diambil alih demi “kemajuan” yang tidak inklusif. Alih-alih berdaya, rakyat justru terasing dari ruang hidup yang diwarisi turun-temurun.
BUDAYA LONTO LEOK DIPINGGIRKAN
Dalam masyarakat Manggarai, pengambilan keputusan atas ruang hidup semestinya didasari prinsip lonto leok—musyawarah mufakat dalam komunitas adat. Namun proyek-proyek pembangunan berjalan tanpa pelibatan rakyat.
Keputusan top-down menggantikan proses kolektif. Warga hanya bisa menonton, sementara hak kultural atas tanah dan laut diabaikan.
“Lonto leok sudah tidak berlaku di mata investor. Mereka datang bawa surat, bukan bicara dengan warga,” ujar seorang tokoh adat di Kecamatan Komodo.
POLA LAMA DI TEMPAT BARU
Apa yang terjadi di Labuan Bajo bukan cerita tunggal. Di Teluk Benoa, Bali, hingga Pulau Rempang, Batam, pola serupa berulang: hukum ruang dikooptasi, warga dikriminalisasi, ruang publik diprivatisasi. Retorika pembangunan nasional menjadi selimut bagi perampasan hak rakyat.
TUNTUTAN PUBLIK KIAN MENGGEMA
Desakan untuk koreksi total semakin keras terdengar. Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah:
* Menghentikan pembangunan hotel yang melanggar sempadan pantai.
* Melakukan audit menyeluruh atas seluruh izin lokasi dan AMDAL.
* Memulihkan akses publik ke pantai dan ruang laut rakyat.
* Mengembalikan hak masyarakat adat untuk mengelola wilayah pesisir secara partisipatif.
* Memberlakukan moratorium izin baru hingga tata ruang direvisi secara adil.
“Kalau negara masih berpihak pada modal dan bukan rakyat, Labuan Bajo bukan lagi ikon wisata tapi simbol ketidakadilan ruang,” tegas aktivis lingkungan dari Flores Green yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp-Mabar).
Labuan Bajo hari ini menjadi cermin kelam bagaimana hukum bisa dibengkokkan demi investasi, bagaimana budaya dipinggirkan demi proyek wisata, dan bagaimana rakyat diusir dari tanah dan lautnya sendiri. Pembangunan tanpa keadilan bukan kemajuan, melainkan bentuk baru penindasan. (Vian). ***