Gone But Not Forgotten GEORGIUS SOTER PARERA, SH, MPA (*Lela, 22 April 1949; +Kupang, 21 Januari 2021)

redaksi - Kamis, 13 Januari 2022 23:09
Gone But Not Forgotten GEORGIUS SOTER PARERA, SH, MPA (*Lela, 22 April 1949; +Kupang, 21 Januari 2021)Georgius Soter Parera, SH, MPA (sumber: Dok. Ans Gregory)

Mengenang seorang Saudara, Sahabat dan Tokoh yang baik hati, simpatik dan penuh empati. De mortuis nil nisi bene – Katakanlah hal-hal yang baik saja mengenai orang yang sudah meninggal. 

Oleh: Ans Gregory da Iry 

TANGGAL 21 Januari 2022 mendatang akan genap setahun meninggalnya Georgius Soter Parera, 72 tahun, seorang saudara dan sahabat yang baik hati, ramah, perhatian, hangat, bersimpati dan empati kepada sesama. Soter Parera, SH, MPA pernah menjabat Kepala BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 2002-2008 dan sebelumnya Kepala BKKBN Kota Blitar di Jawa Timur, 2001-2002. 

Selain dikenal sebagai seorang pejabat pemerintah yang sangat concern terhadap masalah-masakah keluarga berencana, dia juga aktif dalam banyak kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan. 

Lulusan Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Negeri Brawijaya, Malang dan Master of Public Administration (MPA) dari University of Pittsburgh, Pennsylvania Amerika Serikat ini juga pernah menjadi dosen di Universitas Negeri Nusa Cendana, Kupang dan Universitas Negeri Airlangga, Surabaya. 

Soter Parera wafat akibat terpapar virus Corona-19, meninggalkan seorang istri, DR. Sabina Gero, dua orang putra dan dua menantu wanita serta tiga cucu. 

Terkejut membaca berita meninggalnya di Facebook 

Pada awal Januari 2021, kami berdua masih saling kontak lewat telepon. Dari Kupang dia bercerita bahwa dia ingin mengunjungi Pater Alex Beding SVD di Ledalero. 

Sudah kangen, ingin bertemu pada saat ulang tahun ke 97 Pater Alex , tanggal 13 Januari 2021. Sesudah itu beberapa hari tidak ada kontak. 

Tiba-tiba saya membaca di laman Facebook seorang teman bahwa Soter meninggal dunia. Saya terkejut dan mencoba menghubungi nomor teleponnya tetapi tidak aktif. 

Kontak ke nomor adiknya Klemens Parera, juga tidak aktif. Mencoba ke nomor beberapa teman Alsemat (Alumni Seminari Mataloko) di Kupang, juga tidak berhasil. 

Akhirnya saya pasrah, menunggu saja mungkin akan ada kabar yang lebih jelas tentang Soter. Dua hari berikutnya, saya menerima panggilan telepon Pater Alex Beding dari Ledalero. 

Dengan nada suara yang sedih Pater bilang: “Pak Soter meninggal, Ans sudah tahu?” Saya jawab,”Ya Pater, saya sudah tahu dari membaca tulisan di Facebook. Saya sudah coba menghubungi nomor teleponnya dan juga Klemens adiknya, tetapi tidak berhasil. 

Jadi praktis saya belum tahu sakit apa dan bagaimananya...” “Kita kehilangan seorang sahabat yang baik, yang penuh perhatian, punya simpati dan empati yang besar. Kalau Soter tidak ada, bagaimana dengan hubungan pertemanan kita, apakah Alsemat 60-70 masih akan jalan?” kata Pater. 

“Ya, Pater. Orang baik ini memang telah pergi. Kita doakan agar jiwanya mendapat tempat yang layak di surga. Kalau soal Alsemat, saya rasa akan tetap jalan, karena banyak teman-teman kita yang masih ada, dan mereka juga pasti ingin berkomunikasi dan bernostalgia dengan sesama,” kataku mencoba meyakinkan Pater. 

Belakangan saya menerima pemberitahuan/undangan dari Ense Solapung, seorang kerabatnya di Jakarta untuk mengikuti misa live streaming pada Sabtu, 27 Februari 2021 dalam Misa Arwah “Sumana Lima” (Doa Minggu ke lima menurut tradisi Sikka) dari gereja St. Paskalis, Cempaka Putih, Jakarta. 

Dari informasi yang disampaikan Ense, saya mengetahui lebih detil mengenai peristiwa meninggalnya Soter Parera. 

Tetangga di Lela 

Sejak remaja kami sudah saling mengenal di Lela, Flores, karena rumah kami bersebelahan, hanya berjarak 20 sampai 30 meter. 

Waktu itu saya tinggal di rumah keluarga Bapak Felix Parera, meneruskan sekolah di SDK Lela I setelah sebelumnya saya sekolah di SDK Hebing, kampung halamanku. Tetangga rumah sebelah, keluarga ‘Inang Marta, adalah seorang ibu janda yang ramah, baik hati, suka tegur sapa termasuk dengan kami anak-anak. 

Dua orang putra ‘Inang Marta yaitu Soter Parera dan Klemens Parera sekolah di Seminari Mataloko. Di rumah kami, kakak Ely Moritz Parera, anak sulung Bapak Felix, juga sekolah di seminari yang sama. 

Karena mereka sekolah di tempat yang jauh dan baru berlibur di rumah setahun sekali, maka pada kesempatan itulah kami bisa bertemu. 

Sebagai remaja yang ingin masuk Seminari Mataloko, saya senang mendengar ceritera mereka tentang seminari, tentang perjalanan dengan naik kapal motor St. Theresia dari Lela ke Aimere untuk kemudian naik truk atau traktor ke dataran tinggi Mataloko yang udaranya sejuk dan nyaman. 

Sesekali mereka juga bercerita tentang keadaan di asrama seminari, tentang main sepakbola, basket, voley, tentang ruang kelas, guru-guru yang kebanyakan orang bule (misionaris asing: Belanda, Jerman, Austruia, Amerika). 

Semua ceritera tentang Seminari Mataloko pasti menarik, apalagi bagi saya yang memang sangat ingin masuk seminari. Selain itu saya juga ingin bersekolah di tempat yang jauh... ada jiwa merantau pada diri saya. Dan sesekali pulang bertemu keluarga. Harus ada rasa kangen untuk bertemu dan melepas rindu. Bagi saya, kalau kumpul-kumpul terus dekat keluarga, rasanya kok kurang sreg begitu... 

Ketika pada akhir kelas 6 SDK Lela I, saya diterima masuk Seminari Mataloko, betapa senangnya hati saya. Mimpi saya akan terwujud, yakni sekolah di seminari. Dengan diterimanya saya masuk seminari, maka saya akan bergabung dengan mereka yang sudah jadi siswa seminari.

 Hubungan yang baik 

Jadi di lingkungan terdekat kami ada tiga orang siswa Seminari Mataloko: Soter, Ely dan Klemens. Di kampung Lela sendiri, waktu itu seingat saya, cukup banyak siswa Seminari Mataloko. Sebut saja Sefni da Rato (Romo, alm); tiga bersaudara: Melanus dan Piet (alm) serta Fredy Conterius, juga Konradus Keupung (alm), Michael Ambong (Romo, alm), Remigius Kosmas dan Martinus Dalo, Paulinus Soge (kini profesor Unika Atma Jaya, Jogja) dari Ililewa, Joachim Heret dari Napunao, Moses Kuremas (Romo) dari Rengsina. 

Pada angkatan kami pertengahan 1965, bertambah beberapa siswa baru yaitu Eliseus Parera (Elu), Fransiskus da Gomez (Sisko), Veranus da Silva dari Ililewa, Petrus Ferdinandus Lado dari Rengsina dan saya. 

Setelah diterima masuk Seminari Mataloko pada pertengahan 1965, maka saya mulai bergabung dengan mereka. Hubungan kami baik, khususnya dengan Soter, karena dia ramah, mudah bertegur sapa, punya simpati dan empati terhadap anak-anak lain, termasuk saya ‘anak udik’ yang merantau ke Lela untuk melanjutkan sekolah agar bisa masuk Seminari Mataloko. 

Di asrama Seminari Mataloko, kami tidak banyak bergaul dan berinteraksi karena beda kelas dan beda asrama. Sepertinya ada peraturan atau larangan bahwa anak-anak SMP dan SMA tidak boleh bergaul. Jadi ada jarak yang cukup jauh antara kami anak-anak culun di SMP dengan kakak-kakak yang hebat-hebat di SMA. 

Bertemu lagi di Ende 

Pada pertengahan tahun 1968, Soter meninggalkan seminari. Hubungan persahabatan kami terputus. Akan tetapi kemudian pada akhir 1971, waktu saya mulai bekerja di Penerbit Nusa Indah di Ende, saya bertemu lagi dengan Soter. Saya dengar dia guru di STM Ndona, kemudian pindah ke Ende dan bekerja di Persekolahan Katolik Dioses Agung Ende di bawah pimpinan Pater Hendrikus Djawa SVD. 

Di kantor Yayasan Pendidikan Katolik Ende-Lio (Yasukel), Soter adalah sekretaris sedangkan kepala kantornya Josef Ilmoe Hs. Kami beberapa karyawan Nusa Indah menempati sebuah rumah misi di kompleks BBC (Biara Bruder St. Conradus) dekat asrama tentara Wirajaya. Soter dan beberapa temannya tinggal di sebuah rumah di Jl. Diponegoro, seberang Susteran CIJ.

Di sini kami jadi akrab lagi, terutama juga setelah El Morits Parera kembali ke Ende dari studinya di Jakarta, untuk bersama kami bekerja di Nusa Indah dan kemudian merangkap di majalah dwimingguan umum DIAN. 

Kami sering kumpul-kumpul di rumah Soter di Jl. Diponegoro, main-main bersama, rekreasi dan menghadiri pesta-pesta yang diselenggarakan oleh keluarga dan kenalan di kota itu. 

Kami juga sempat mengikuti kursus Credit Union bersama senior Guido Abong, ex seminarist Mataloko, dan kemudian sama-sama aktif di Credit Union Jayakarta, CU pertama yang didirikan di Flores dan NTT. 

Tahun Baru di Hotel Borobudur, Jakarta 

Pada akhir Desember 1974, El Moritz dan saya berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib di ibu kota. Pada malam sebelumnya kami buat acara sederhana di rumah Soter. Makan-makan sambil bercanda dan ngobrol tentang masa depan. 

Esok siangnya kami berdua naik kapal Stella Maris berlayar menuju Surabaya, untuk kemudian melanjutkan ke Jakarta. Hubungan kami dengan Soter terputus, karena pada masa itu komunikasi memang sulit. Belum ada telepon, internet, google, twitter, instagram, WA, FB, dsb seperti sekarang. Paling hanya bisa mengirim surat atau kartu pos, dan itu pun baru sampai ke alamat setelah berminggu-minggu, bahkan banyak juga yang tidak sampai ke alamatnya.

Pada 15 Februari 1975, saya mulai bekerja di surat kabar Harian Suara Karya, mula-mulai sebagai translator (English – Indonesia), kemudian reporter bidang Hankam/ABRI, Sekneg/Istana dan Departemen Luar Negeri. Dan terakhir saya Redaktur Luar Negeri selama dua tahun, 1980-1982. 

Tidak disangka-sangka, pada tanggal 31 Desember 1976, Soter muncul di kantor redaksi Suara Karya di gedung AKA, Jl. Bangka II Kebayoran Timur, Jakarta Selatan. Dia sedang libur dari kuliahnya di Universitas Brawijaya, Malang, dan tengah mengunjungi kerabatnya di Jakarta. 

Dia sengaja datang untuk menemui saya. Waktu itu saya mendapat undangan untuk menghadiri Pesta Melepas Tahun Lama 1976 & Menyambut Tahun Baru 1977 di Hotel Borobudur, Jakarta. Maka saya ajak Soter untuk bersama saya menghadiri pesta tersebut, dan dia senang dan gembira mau hadir. 

Di acara pesta yang meriah dengan musik dan tarian serta makanan dan minuman yang berlimpah, para hadirin dan undangan menikmati sambil menari dansadansi (waktu itu belum ada musik dangdut dan joget). 

Saya bukan seorang penikmat pesta dan cenderung untuk duduk menonton atau mengamati saja orang-orang yang menari dan berdansa. Tetapi Soter yang mudah bergaul, gampang bersosialisasi, tampak asyik menari dan berdansa dengan orang-orang yang hadir malam itu. 

Baru pada jam 2 dinihari tanggal 1 Januari 1977, kami pulang ke tempat kost saya di Mampang Prapatan untuk beristirahat. Siang harinya saya antar Soter naik motor ke Matraman, ke tempat tinggal kakaknya, Petrus Parera.

Alsemat Kupang dalam suatu pertemuan nostalgia bersama Mgr. Edmundus Woga CSsR, Uskup Weetebula. 

 Bertemu di Kupang 

Lama tidak ada kabar berita dan tidak bertemu. Beberapa tahun kemudian, mulai pertengahan 1978, dalam tugas sebagai wartawan Hankam/ABRI, saya biasa mengikuti kunjungan kerja Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Jusuf ke berbagai pelosok Tanah Air. 

Pada suatu hari di akhir 1979 rombongan Menhankam/Pangab mengunjungi Kupang. Sore itu ada pertemuan dan brifing di rumah jabatan gubernur yang dihadiri oleh Gubernur Ben Mboi dan para pejabat lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan makan malam untuk sekaligus merayakan Natal Bersama. 

Di sini saya bertemu lagi dengan Soter, yang bekerja di Biro Ekonomi pada Sekretariat Wilayah Daerah Propinsi NTT. Setelah acara resmi selesai dan rombongan Menhankam/Pangab kembali ke penginapan, saya diajak Soter untuk bertemu dengan kakak ipar saya, mas dokter Agus Partatmo, asal Solo, yang bertugas sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Weetebula, Sumba Barat, dan sedang mengikuti rapat koordinasi di Kupang.  Mbak Titik, istri dokter Agus adalah kakak kandung Naniek, istri saya. 

Namanya disebut di bandara internasional Hawai 

Bertahun-tahun kami tidak saling kontak, karena kesibukan masingmasing. Saya meninggalkan surat kabar dan profesi jurnalistik pada akhir 1982 dan mulai menggeluti bidang Public Relations (Kehumasan), yang dewasa ini lebih dikenal sebagai Corporate Communications. 

Saya bergabung dengan perusahaan konsultansi PR, kemudian bekerja dengan konglomerasi nasional Gunung Sewu Group dan pindah ke PT Freeport Indonesia pada awal 1993. 

Pada bulan Agustus – Oktober 1994, kami delapan orang staf senior PT Freeport Indonesia masing-masing bersama istri, dikirim ke New Orleans, Louissiana, Amerika Serikat, untuk mengikuti Management Study Program pada Executive Education selama tiga bulan di University of Loyola yang diasuh para imam Jesuit. 

Selesai training kami kembali ke Indonesia lewat Los Angeles, setelah mengunjungi destinasi wisata Universal Studios di Hollywood dan sekitarnya. 

Dari Los Angeles kami menumpang pesawat Garuda yang akan terbang ke Jakarta lewat Hawai dan Biak di Irian Jaya (Papua sekarang). 

Pada waktu tengah malam pesawat mendarat di Hawai untuk mengisi bahan bakar. Di ruang tunggu yang luas dan ramai itu, saya bertemu dengan Welem Kabesu, seorang pria muda dari Kupang. Dia berceritera kalau baru pulang dari studi S2 di Amerika, dikirim oleh kantor BKKBN Propinsi NTT. 

Saya beritahu dia kalau saya punya saudara dan sahabat di Kupang namanya Soter Parera. Dia terhenyak dan menyawab, “Pak Soter Parera? Oo itu senior saya di kantor BKKBN. Dia juga lulusan S2 di Amerika dan setelah itu saya dikirim kuliah S2. Ini juga atas rekomendasi pak Soter. Saya berterima kasih kepada BKKBN dan juga pak Soter pribadi..” 

Kami ngobrol mengenai pengalaman belajar di Amerika, dan ketika ada pengumuman untuk naik ke pesawat, kami berpisah. “Tolong sampaikan salam saya kepada pak Soter ya...” kata saya dan dia mengatakan akan menyampaikan salam tersebut dan juga akan menceriterakan pertemuan kami malam itu kepada Soter.

Pada awal 1999, saya bersama istri dan anak mau mudik ke Flores. Kami mendapat jadwal penerbangan ke Maumere via Kupang dan harus bermalam di kota itu. Saya menelepon Soter dan mengabarkan rencana ini dan keinginan untuk bertemu. Dan kami sempat bertemu dan ngobrol di Hotel Kristal, tempat kami menginap. 

Menulis buku tentang seorang Guru dan seorang Sahabat 

Kami baru berkomunikasi lagi dengan Soter sekitar pertengahan 2013, ketika ada gagasan dari Alsemat 60-70 Kupang untuk menulis sebuah buku catatan pengalaman mereka dengan P. Alex Beding SVD (PAB), mantan rektor dan prefek Seminari Mataloko. 

PAB adalah guru, pendidik dan mentor kami para alumni seminari Mataloko angkatan 1960-1970. Soter di Kupang menjadi penghubung (contact person) dengan para narasumber atau kontributor tulisan, sedang saya di Bogor menjadi editor untuk buku tersebut. 

Sekitar 6 sampai 7 bulan kami mengerjakan buku ini, dengan 32 narasumber/kontributor tulisan dari mantan anak didik dan ‘anak buah’ PAB; dan dari kerabat, rekan kerja dan mereka yang terinspirasi dan termotivasi oleh hidup dan karya PAB.  Buku berjudul “Yang Terpanggil Yang Melayani – 90 Tahun P. Alex Beding SVD – 13 Januari 2014” diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende. 

Terkumpulnya begitu banyak narasumber/kontributor tulisan ini tentunya merupakan hasil upaya tim Alsemat Kupang dengan Soter Parera dan Frans Sowo dalam menghubungi, mendorong dan meyakinkan teman-teman Alsemat di seluruh Indonesia untuk menyumbangkan tulisan bagi buku tersebut. 

Dalam waktu-waktu inilah komunikasi saya dengan Soter sangat intens, setiap hari kami bisa saling menelepon 4 sampai 5 kali. Kami sepakat untuk saling kontak lewat telepon setiap saat bila ada ide, isu atau informasi baru yang berhubungan dengan penulisan buku ini. 

Jadi kadang-kadang kami saling menelepon tengah malam atau pagi buta untuk segera menyampaikan pesan, ide atau informasi yang berkaitan dengan buku tersebut. Kami sengaja tidak menunda, khawatir akan lupa atau terlewatkan oleh hal-hal lain yang juga memerlukan perhatian kami. 

Tiga buku yang mendapat ‘sentuhan tangan dingin’ Soter Parera Buku setebal 362 halaman itu terbit tepat pada waktunya dan dapat didistribusikan untuk merayakan 90 Tahun usia PAB, 13 Januari 2014.

Setelah jeda beberapa tahun, pada Juni 2016 tersiar kabar bahwa Romo Johanes Bosco da Cunha, OCarm, mantan Sekretaris Ekseksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) meninggal dunia di Malang. Romo Bosco adalah adik kandung alm. Mgr. Abdon Longinus da Cunha, mantan Uskup Agung Ende; teman sekelas dan sahabat karib Soter waktu di seminari Mataloko. 

Mereka berdua keluar dari seminari pada waktu bersamaan dan menempuh jalan hidup masing-masing. Soter menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau sekarang disebut ASN (Aparatur Sipil Negara) dan pejabat BKKBN Propinsi NTT di Kupang. Bosco masuk seminari lagi dan menjadi Imam Ordo Karmelit dan merupakan salah satu pakar Liturgi Katolik Indonesia. 

Soter memberitahu P. Alex Beding mengenai wafatnya Romo Bosco dan dalam pembicaraan itu, PAB menyarankan sebaiknya dibuatkan sebuah buku kenangan akan almarhum. Maka Soter menghubungi saya dan membicarakan ide dan usul PAB tersebut, dan kami sepakat bahwa saya akan menjadi editor sedangkan Soter koordinator proyek dan contact person dengan narasumber dan kontributor tulisan. 

Ada tiga kelompok narasumber/kontributor tulisan yakni kolega almarhum dari para Imam Ordo Carmel, SVD dan Projo; dari anggota keluarga serta dari kerabat, teman dan kenalan almarhum Romo Bosco. 

Berkat komunikasi yang baik dan efektif dari Soter kepada para narasumber, 28 tulisan terkumpul dan saya melakukan editing. Dan dalam waktu satu bulan, buku berjudul “Ite Missa Est – Pergilah Misa Sudah Selesai” tersebut kami terbitkan, dan di-launch pada perayaan Ekaristi mengenang 40 hari wafatnya Romo Bosco da Cunha di Panti Vincentius Putra, Kramat, Jakarta. 

Biografi Pendiri Seminari Mataloko: Pahlawan Pendidikan di Flores dan NTT 

Pada awal 2018, Soter mengabarkan bahwa Pater Alex Beding sedang menyusun buku biografi P. Frans Cornelissen SVD, pendiri Seminari di Sikka yang kemudian dipindahkan ke Mataloko. Lagi-lagi saya diminta jadi editor, sedang Soter sebagai koordinator proyek dan contact person. 

Buku ini makan waktu hampir dua tahun akibat dari hal-hal non teknis. Untuk isi buku itu sendiri, saya lebih banyak berkonsultasi dengan penulisnya, PAB; sedangkan dengan Soter lebih kepada hal-hal teknis yang berkaitan dengan upaya mencari dana untuk membiayai ongkos cetak dan distribusi. 

Target kami adalah buku harus terbit pada awal September 2019 untuk di-launch pada pesta 50 Tahun STFK Ledalero dan 90 Tahun Seminari Mataloko. Puji Tuhan, buku berjudul “Pater Frans Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur” yang diterbitkan oleh Sabda, Jakarta itu bisa selesai pada waktunya. 

Bersama adik saya Marsel da Iry, kami terbang ke Kupang pada dinihari, 7 September dari Soekarno-Hatta dan dari Kupang ganti pesawat ke Maumere. Soter dan adiknya Mikhael yang menjemput kami di bandara Frans Seda, ternyata sudah punya jadwal padat untuk kami hari itu, dari pagi sampai malam. 

Dari bandara, kami langsung ke kompleks Lepo Bispu untuk bertemu dengan Mgr. Kherubim Parera, Uskup Emeritus Keuskupan Maumere, kemudian bertemu dan berbincang dengan Mgr. Edwaldus Sedu, Uskup Maumere dan Vikjen Romo Teleforus Jenti Ocarm. 

Setelah makan siang di rumah Gaby Parera, kakaknya Soter, kami ke Nita ke kantor pusat Koperasi Kredit Pintu Air untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan Ketuanya Yakobus Jano mengenai hal-hal yang berhubungan dengan koperasi kredit. 

Selanjutnya kami ke Biara Simeon, untuk menemui Pater Alex Beding dan menyerahkan bukunya tentang P. Cornelissen yang baru terbit. Kami juga membicarakan mengenai rencana peluncuran buku tersebut yang akan dilangsungkan keesokan harinya selesai perayaan Ekaristi memperingati 50 Tahun STFK Ledalero. 

Soter dan saya akan mendampingi PAB dalam acara tersebut. Hari semakin sore waktu kami meninggalkan Biara Simeon dan pergi menuju Lembah Karmel, rumah doa dan retret di sebuah lembah di bawah kaki bukit Nilo, tempat berdirinya patung Bunda Maria. 

Walaupun penat dan capek, kami berusaha mengikuti renungan, kebaktian, doa dan devosi sampai selesai. Dan tidur. Pagi hari berikutnya, setelah sarapan, kami berangkat ke Ledalero untuk mengikuti perayaan Ekaristi Syukur 50 Tahun STFK Ledalero. 

Perayaan misa yang mulia dengan 3 uskup dan puluhan imam, diisi dengan lagu-lagu yang merdu serta doa umat dalam berbagai bahasa dan tarian-tarian daerah yang indah, menyemarakkan perayaan hari itu. 

Ratusan undangan, dari pemerintah daerah dan DPRD, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat serta umat hadir dalam perayaan itu. Selesai makan siang dilangsungkan acara peluncuran buku “Pater Frans Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur”. 

Penulis buku, PAB menjelaskan maksud dan tujuan penulisan buku itu, dan kemudian buku tersebut dibagikan kepada para hadirin, termasuk Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Sedu, Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung, Superior General SVD P. Paul Budi Kleden, Provinsial SVD Ende P. Lukas Jua, Ketua STFK Ledalero P. Otto Gusti N. Madung, dan lain-lain. 

Seusai acara di Ledalero, kami pergi ke Lela, untuk mengunjungi keluarga serta menghadiri pernikahan salah seorang cucu dari alm. Bapak Felix Parera. Saya dan Marsel kemudian berangkat ke Maumere sedangkan Soter bermalam di Lela. 

Saat akan berpisah, kami saling berpesan untuk bertemu di Seminari Mataloko pada 15 September 2019 pada perayaan ulang tahun ke 90 Seminari St. Johanes Berchmans, Mataloko. 

Kami sama sekali tidak berpikir bahwa itulah pertemuan tatap muka dan perbincangan langsung kami yang terakhir dengan Soter. 

Saya dan Marsel batal ke Mataloko karena di Ende Marsel jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Setelah lima hari keadaannya membaik dan dokter mengisinkan pulang dan meneruskan pengobatan di Jakarta. 

Riwayat Hidup 

Georgius Soter Parera, lahir di Lela, kabupaten Sikka, 22 April 1949, dari Bpk Cornelis De Parera dan Ibu Martha Djebe Parera. 

Tamat SDK Lela, ia melanjutkan ke seminari Mataloko pada tingkat SMP sampai SMA, 1962-1968. Pada 1970-1971 menjadi guru STM Katolik Bersubsidi Ndona; kemudian dipercaya menjadi Sekretaris Persekolahan Katolik Keuskupan Agung Ende (Yasukel), 1971-1975. 

Selama di Ende, sambil bekerja dia juga kuliah di Fakultas Hukum Undana Kupang Cabang Ende sampai meraih gelar sarjana muda hukum. 

Kemudian ia berangkat ke Malang untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Brawijaya, dan berhasil meraih gelajar Sarjana Hukum pada 1977. 

Dia lalu berangkat ke Kupang dan diterima sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil = Aparat Sipil Negara = ASN) pada Staf Sekretariat Wilayah Daerah Propinsi NTT di Biro Ekonomi. 

Sambil bekerja sebagai PNS, dia juga menjadi dosen di Fakultas Hukum Undana, Kupang, 1978-1983. 

Pada 18 Juli 1981, Soter menikah dengan Sabina Gero dan dikaruniai dua orang putera yaitu Mario Emanuel Desipung, kini bekerja di BLK Kanwil Nakertrans, Kupang dan dokter Yoseph Mariano Cornelis Desipung, bekerja di Rumah Sakit Kota Kupang. Mereka juga sudah punya tiga orang cucu. 

Pada 1983-1987, Soter bekerja sebagai pegawai di Balai Litbang BKKBN Propinsi NTT di Kupang. Karena kinerja kerjanya yang bagus, ia dikirim untuk studi S2 bidang Public Administration di University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, yang diselesaikannya pada 1989. 

Kembali dari Amerika, dia diangkat jadi Kepala Bidang Bina Program Kantor BKKBN propinsi NTT dan sekaligus pada 1994 merangkap jabatan sebagai Kepala Bidang KB (Keluarga Berencana) hingga 1996. 

Pada 1998-2001 Soter dipindahkan ke Provinsi Jawa Timur dengan jabatan Kepala Bagian Kepegawaian dan Supervisi. Selanjutnya dipercaya menjadi Kepala Kantor BKKBN Kota Blitar sampai 2002. 

Selama menjalankan tugas di Jawa Timur, dia juga merangkap sebagai Dosen Pembantu Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 

Kemudian pada 2002 dia kembali ke NTT dan diangkat jadi Kepala BKKBN Provinsi NTT hingga memasuki masa purna bakti (pensiun) pada 2008. 

Setelah pensiun Soter mendapat tugas sebagai anggota Koalisi BKKBN Propinsi NTT dan menjadi Kepala Juang Kencana BKKBN Propinsi NTT serta aktif dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan dan Gereja. (Kota Bogor, 13 Januari 2022). ***

RELATED NEWS