Hari Ini, 91 Tahun Lalu Bung Karno dan Keluarganya Memulai Pengasingannya di Ende

redaksi - Selasa, 14 Januari 2025 14:31
Hari Ini, 91 Tahun Lalu Bung Karno dan Keluarganya Memulai Pengasingannya di  EndeMenuju tempat pembuangan di Ende pada tahun 1934, Bung Karno diangkut dari Surabaya dengan Kapal Jan Van Riebeck. Foto diambil di Pelabhan Tanjung Perak pada 6 Januari 1934 (sumber: pdiperjuangan-jatim.com)

PADA  14 Januari 1934, 91 tahun silam, kapal barang KM van Riebeeck yang membawa   Soekarno bersama sang istri, Inggit Garnasih, serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, berabuh di Pelabuhan Ende.

Kemudian, mereka menginap sementara di sebuah di Kampung Ambugaga, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Pengasingan ini sengaja dilakukan oleh kolonial Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dan loyalisnya.

Selalu diawasi polisi

Di Ende, Soekarno dan keluarga hidup di lingkungan terpencil di tengah-tengah penduduk berpendidikan rendah. Ia pun selalu diawasi oleh polisi Belanda.

Ia bahkan mengetahui dengan pasti jumlah polisi Belanda di tempat tersebut.

“Di Ende ada 8 polisi,” kata Bung Karno dalam buku otobiografinya ditulis Cindy Adams, Edisi Revisi, terbitan Yayasan Bung Karno, Tahun 2007.

Para polisi ini ditugaskan untuk membuntuti dan mengawasi setiap kegiatan Bung Karno dari jarak 60 meter.

Foto atas: Rumah pengasingan Bung Karno di Ende. Foto-Repro Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Berteman dengan rakyat jelata

Kondisi diperburuk dengan awal kedatangan Bung Karno di Ende yang dilakukan secara diam-diam. Praktis, rakyat kecil tidak mengetahui kedatangannya. 

Sementara itu masyarakat kelas atas, beserta keluarga mereka, oleh Belanda dilarang bergaul dengan Bung Karno.

“Baiklah! Kalau keadaannya demikian, aku akan bekerja tanpa meminta bantuan orang-orang terpelajar yang picik ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling bawah.”

Bung Karno pun kemudian bergaul dengan pemetik kelapa, sopir mobil, dan para pembantu yang tidak bekerja. “Inilah kawan-kawanku.”

Sukarno juga berkenalan dengan seorang nelayan. Namanya: Kota. Dari perkenalan itu, Sukarno menyampaikan jika tidak ada larangan bagi Kota untuk bertamu ke rumah Sukarno. Begitu pun sebaliknya.

Kota pun bertamu. “Dia membawa Darham, tukang jahit. Setelah itu aku berkunjung ke tempat mereka. Dan begitulah awalnya.”

Selama di Ende kehidupan Soekarno dan keluarganya serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.

Jauh dari Ibu Kota membuat Soekarno tak bisa melakukan banyak hal.

Ketika itu Soekarno jadi lebih banyak berpikir dari sebelumnya. Ia mulai belajar lebih banyak soal agama Islam. Soekarno menjadi lebih relijius karena selalu meluangkan waktu di ruang doa dan selalu berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama TA Hassan.

Mengajari Para Pemuda Lagu Indonesia Raya

Negara Indonesia belumlah ada ketika itu. Tapi Indonesia sebagai sebuah bangsa, telah dideklarasikan para pemuda melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Lagu Indonesia Raya diciptakan WR Supratman pada 1924, berkumandang untuk pertama kalinya pada peristiwa Sumpah Pemuda.

Oleh Bung Karno, lagu ini ia ajarkan kepada para pemuda, di suatu tempat di luar rumah pengasingannya. Untuk mengelabuhi polisi, Sukarno beralasan piknik bersama para pemuda.

“Bukan karena aku kuatir mendapat kesulitan. Tetapi karena aku ingin melindungi anak-anak ini,” kata Sukarno.

Namun, acara itu bocor.

“Aku dipanggil ke kantor polisi dan didenda 5 rupiah atau senilai dua dolar.”

Membentuk Kelompok Sandiwara

Sukarno pun mulai meningkatkan tahapan pengorganisirannya. Masih melalui jalur kesenian. Dari semula mengenalkan keindonesiaan, ditingkatkan dengan mengorganisasikan rakyat.

“Aku mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu, yang namanya diambil dari nama danau tiga warna di Flores.”

Mengorganisir rakyat bukan barang mudah. Bahasa menjadi kendala. Bung Karno menunjuk Ali Pambe, seorang montir mobil, selaku penerjemah bahasa Ende ke bahasa Indonesia. Meski, ali yang buta huruf itu masih belum fasih berbahasa Indonesia.

Di kelompok ini, Bung Karno menjadi sutradara. Bahkan menjadi pelatih peran untuk para pemain peran yang berasal dari berbagai latar profesi.

Sukarno juga turut menjual karcis pertunjukan saat kelompok ini sudah go public dan menggelar pertunjukan dengan menyewa gedung.

Setiap kali usai pertunjukan, Bung Karno mengajak seluruh pemain untuk makan bersama di rumahnya.

“Ya, begitulah aku bekerja keras, tidak hanya untuk menggelar pertunjukan, tetapi agar para pemain tetap gembira. Ini sangat besar artinya buatku.”

Empat tahun menjalani pengasingan, Bung Karno berhasil membuat 12 naskah drama sandiwara atau tonil.

Naskah-naskah Bung Karno berisikan pesan terselubung hal keindonesiaan. Karya pertamanya yang berjudul, Dokter Setan misalnya. Karya diilhami dari novel Frankeinstein itu berkisah tentang proses menghidupkan mayat dengan transplantasi hati dari orang yang hidup.

“Bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup kembali,” kata Sukarno menjelaskan pesan moral tersembunyi dalam kisah tonil itu. 

Membaca dan berdikusi

Selan bertean dengan rakyat, melukis dan menulis naskah drama,  Bung Karno menghabiskan waktu sehari-hari n dengan berkebun dan membaca. Dia juga mulai melukis dan menulis naskah drama pementasan.

Ia juga belajar mengenai pluralisme lewat pergaulannya bersama pastor-pastor di Ende.
Karena banyaknya diskusi dengan pastor-pastor  SVD setempat seperti Pater Bouma,  Pater van Stiphout dan pater  Huijtink, Bung Karno bisa memaknai keberagaman secara lebih mendalam. 

Berdassarkan hasil diskusi dengan para pastor itu memilih untuk memasukkan konsepkemanusiaan dan  keadilan sosial sebagai bagian dari lima prinsipnya. (Leony, dari berbagai sumber)***
 

Editor: redaksi

RELATED NEWS