Homili, Hari Minggu Biasa XB, 09 Juni 2024
redaksi - Sabtu, 08 Juni 2024 11:35Oleh: Pater Gregor Nule, SVD
KASIH ALLAH MENGALAHKAN LINGKARAN SETAN SALING MENUDUH DAN MEMPERSALAHKAN
(Hari Minggu Biasa XB: Kej 3:9-`15; 2Kor 4: 13 – 5:1; Mrk 3: 20 – 35)
Ilustrasi
Ada seorang menantu yang tidak cocok dengan mertuanya. Keduanya selalu terlibat dalam pertengkaran. Si mertua yang sudah lanjut usia selalu mengomentari banyak hal dan sepertinya tidak suka terhadap semua yang dilakukan menantunya. Setiap kali bertengkar si menantu yang sudah muak dan tidak tahan lagi, selalu berteriak, “Lebih baik kau cepat mati saja”.
Kebetulan di rumah mereka ada seekor burung beo. Oleh karena sering mendengar ucapan seperti itu akhirnya si beo pun meniru kalimat itu. Terus – menerus si beo berkicau, “Lebih baik kau cepat mati saja”.
Hal itu membuat si mertua sedih dan malu. Maka ia ingin agar burung beo itu mengucapkan kata-kata yang baik dan sopan. Ia minta supaya burung itu dibawa ke pastoran dan diletakkan di samping gereja.
Tiga bulan kemudian setelah yakin bahwa si beo yang sehari-hari berada di lingkungan gereja pasti sudah mulai mengucapkan kata-kata yang baik, sopan dan kata-kata berkat. Maka burung itu dibawa pulang ke rumahnya.
Tetapi, seperti biasanya konflik antara menantu dan mertua selalu terjadi. Suatu hari ketika terjadi pertengkaran sengit antara keduanya, si menantu dengan keras berkata, “Lebih baik kau cepat mati saja”. Dan, si beo menyambung, “Kabulkanlah doa kami, ya Tuhan”….!!
Refleksi
Ilustrasi yang agak lucu di atas sebetulnya melukiskan tentang drama kehidupan yang sering kita alami dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas kita.
Tidak jarang karena alasan tertentu kita saling mempersalahkan dan menghendaki nasib malang atau kematian dari orang yang memuakkan, suka mengganggu atau musuh.
Kitab Kejadian melukiskan tentang tragedi kejatuhan manusia pertama di Taman Eden.
Ketika Manusia dicari dan dipanggil Tuhan, “Di manakah engkau?” Ia menjawab, “Ketika aku mendengar bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”, (Kej 3:9-10).
Kejatuhan manusia ke dalam dosa ketidaktaatan pada perintah Allah telah mengubah seluruh dirinya. Hati, pikiran dan perasaan menjadi kacau dan tidak menentu. Allah yang sebelumnya dirasa sangat dekat dan menjadi penjamin hidup, kini dijauhi. Kehadiran Allah membuatnya gentar dan takut.
Karena itu, ia menyembunyikan diri. Bahkan, lebih jahat lagi, Allah dituduh sebagai penyebab kejatuhannya. Ia berkata, “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku ,dialah yang memberi dari buah pohon itu, maka kumakan”, (Kej 3:12).
Hal serupa terjadi dalam hubungan antara Manusia dengan isteri dan alam sekitar. Wanita yang diberikan Tuhan dan diterimanya dengan penuh sukacita, “Inilah dia, tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku”, (Kej 2:23), dilihat sebagai musuh dan penggoda atau penyebab kejatuhannya. Demikian pun giliran wanita itu mempersalahkan ular yang menggodanya.
Drama ini menunjukkan bahwa idak ada seorang pun yang mengaku bersalah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dosa dan kejahatan dilemparkan kepada pihak lain. Akibatnya mereka yang sebelumnya bersahabat, kini menjadi musuh. Adam mencurigai dan mempersalahkan isterinya. Hawa mempersalahkan ular yang menggodanya untuk makan buah itu.
Akibatnnya, hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan dengan alam sekitar dan segala isinya menjadi berantakan dan rusak. Manusia harus bekerja keras mengolah tanah untuk mendapatkan hasil. Ular akan memagut kaki wanita itu, dan sebaliknya, wanita dan turunannya akan meremukkan kepala ular.
Inilah lingkaran setan tuduh-menuduh dan mempersalahkan antara manusia yang tidak pernah akan berakhir karena hatinya telah dicemarkan oleh dosa dan kejahatan.
Dan, lingkaran setan ini pun tidak pernah akan selesai jika manusia tidak pernah mau mengaku diri bersalah, membenarkan diri dan terus melemparkan tanggung jawab kepada yang lain.
Berhadapan dengan hati manusia yang buta dan keras-membatu, Allah yang maha kasih dan berbelas kasih tetap mencarinya. Allah memberi kesempatan serta membuka jalan bagi manusia supaya menyadari dan mengakui kesalahannya dan bertobat.
Cinta Allah kepada manusia tidak pernah kendur, kendatipun manusia tidak tahu diri dan membalas kebaikan Allah dengan pengkhianatan. Allah tetap dan terus mencintai manusia, sebaliknya manusia merasa diri tidak lagi dicintai oleh Allah.
Dan, kuasa kasih Allah serta kperdulian-Nya terhadap kebaikan dan keselamatan manusia yang tegar tengkuk dan kepala keras tampak nyata dalam diri Yesus dari Nazaret, yang diutus Bapa ke dunia untuk membebaskan manusia dari dosa dan menyelamatkannya.
Karena itu, sejak kehadiran Yesus di atas bumi Ia berkeliling sambil berbuat baik, mencari mereka yang hilang, menyembuhkan orang sakit dan mengusir roh-roh jahat yang membelenggu manusia. Yesus benar-benar menampakkan Allah yang penuh kasih dan belas kasihan kepada manusia.
Tetapi, semua perbuatan baik Yesus selalu dicurigai dan dinilai negatif, bukan hanya oleh musuh-musuh, melainkan juga oleh kaum keluarga dan kerabat-Nya.
Kaum keluarga ingin menjemput Yesus karena menurut mereka Yesus sudah tidak waras lagi. Sedangkan, para pemuka Agama Yahudi menuduh Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan.
Yesus menolak tuduhan mereka dan menegaskan bahwa Ia berkuasa mengusir roh-roh jahat. Dan, kepada mereka yang dengan sengaja menolak dan tidak percaya kepada-Nya sebagai Utusan Allah, Yesus mengingatkan bahwa mereka telah melakukan dosa yang tidak dapat dimpuni, yakni dosa melawan Roh Kudus.
Yesus berkata, “Semua dosa dan hujat apa pun yang diucapkan anak-anak manusia akan diampuni, tetapi siapa saja yang menghujat Roh Kudus tidak mendapat ampun selama-lamanya. Ia beersalah karena berbuat dosa yang kekal”, (Mrk 3:28-29).
Orang yang menghujat Roh Kudus adalah dia yang sama sekali tidak menerima dan percaya kepada Allah yang maha rahim dan penuh belas kasihan, sebagaimana diwartakan Yesus Kristus.
Mereka melihat Allah sebagai hakim yang kejam, yang membalas kejahatan dengan kejahatan. Orang yang bersikap demikian menutup diri terhadap cinta Tuhan, artinya menutup diri terhadap Roh Kudus yang mau menghantar mereka kepada kebenaran, yakni kepada Allah sendiri.
Mari kita membuka diri terhadap Allah dan sesama. Kita berkomitmen untuk membangun komunitas umat Allah yang yang beriman, sehati-sejiwa, serta bebas dari kecurigaan dan kebiasaan saling menuduh dan mempersalahkan.
Dengan demikian, kita terus bersatu dengan Allah dan bersaudara di antara kita. Semoga!
P. Gregorius Nule, SVD
Kewapante, Minggu, 09 Juni 2024