HOMILI, Minggu, 15 Februari 2025: Syarat Memperoleh Kebahagian Sejati

redaksi - Sabtu, 15 Februari 2025 12:37
HOMILI, Minggu, 15 Februari 2025: Syarat Memperoleh Kebahagian SejatiYesus mengajar orang banyak (sumber: Katolikku.com)

Oleh: Pater Grego Nule, SVD

 SYARAT MEMPEROLEH KEBAHAGIAAN SEJATI
 (Minggu Biasa VIC: Yer 17:5-8; 1KOr 15:12.16-20; Luk 6:17.20-26)

KETIKA berbicara tentang kebahagiaan orang selalu berpikir tentang alasan dan syarat untuk mencapai atau mendapatkannya. Ada yang berpendapat bahwa orang yang bahagia adalah dia yang memiliki banyak uang dan harta, tinggal di rumah mewah, dan terjamin secara material.
Kalau demikian, mungkin kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Tetapi, jika kebahagiaan bisa dibeli pasti orang-orang kaya akan membeli semuanya. Sedangkan, orang-orang miskin pasti tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

Sebetulnya kebahagiaan berada di dalam hati setiap orang. Karena itu, orang tidak perlu harus membelinya dengan uang atau mencarinya di tempat tertentu.

Apa yang diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan itu? 

Nabi Yeremia dalam bacaan pertama mewartakan tentang syarat menjadi bahagia yakni memiliki hati yang bersih dan ikhlas, serta pikiran yang sehat dan jernih. 

Yeremia menekankan pentingnya mengandalkan Allah dan menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya. Orang yang mengandalkan Allah itu ibarat pohon yang ditanam di tepi air. Ia bertumbuh subur dan menghasilkan banyak buah (bdk. Yer 17:8).

Tuhan bersabda, “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapan pada Tuhan”, (Yer 17:7). 

Sebaliknya, orang yang mengandalkan diri sendiri, atau manusia lain, atau pengetahuan, kekayaan, kesehatan, keahlian atau kemampuan lainnya, ia laksana semak bulus di padang belantara yang menjadi kering dan mati, (bdk. Yer 17:6).

Bagi mereka yang mengandalkan manusia, Tuhan bersabda,”Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya, dan yang hatinya menjauh dari Tuhan”, (Yer 17:5).

Perikop Injil Lukas 6:17.20-26 menampilkan Yesus yang memulai kotbah-Nya dengan menyampaikan sabda bahagia kepada orang miskin, lapar dan menangis, serta bagi para murid yang dibenci dan dikucilkan. 

Selanjutnya, Yesus menyampaikan pernyataan celaka yang ditujukan kepada orang kaya, orang yang sekarang kenyang dan tertawa, serta orang yang mendapat pujian. 

Pernyataan celaka bukanlah sebuah kutukan, melainkan kecaman keras dengan harapan agar orang-orang itu  menyadari nasib malang yang akan menimpa mereka. 

Tetapi, sepintas muncul kesan bahwa orang miskin, lapar dan yang menangis otomatis disebut bahagia. Sebaliknya, orang kaya, kenyang, tertawa dan yang dipuji pasti alami nasib malang dan kecelakaan. 

Tidaklah demikian. Yesus tidak melihat realitas kemiskinan sebagai sumber kebahagiaan, dan sebaliknya, kekayaan akan membawa kecelakaan atau nasib malang. 

Menurut Yesus, orang miskin yang disebut bahagia adalah orang yang bakal mempunyai kerajaan Allah. Dialah orang yang senantiasa terbuka terhadap Allah dan kehendak-Nya. 
Orang miskin yang bahagia bersikap rendah hati, mengandalkan Allah, mentaati perintah-perintah Allah serta berpasrah kepada-Nya.  

Karena itu, bisa terjadi bahwa ada orang miskin yang tidak bahagia karena ia tidak percaya kepada Tuhan, dan melihat kemiskinan sebagai kutukan Allah. Ia juga berjuang sendiri untuk mengatasi dan memperbaiki nasibnya.  

Sedangkan, orang kaya dan kekayaannya bukan menjadi alasan kecaman Yesus. Kekayaan dan harta yang kita miliki adalah berkat dari Tuhan. Sebab Tuhan menciptakan manusia untuk bahagia dan sejahtera. 

Maka hal yang mesti dihindarkan oleh orang kaya adalah sikap serakah dan ingat diri. Sebab orang seperti ini mengandalkan kekayaannya serta tidak percaya kepada Tuhan dan sesamanya.

Orang kaya disebut celaka apabila ia bersikap tertutup dan keras hati terhadap penderitaan orang-orang miskin, terlantar dan berkekurangan. 

Sebagai pengikut Kristus, kita diminta agar memiliki hati yang miskin dan senantiasa berharap kepada Tuhan.  Kita tidak boleh sombong dan serakah, lalu mengandalkan harta duniawi dan diri sendiri. 

Karena itu, seseorang bisa hidup bahagia di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi apa pun, sehat atau sakit, kaya atau miskin, sendirian atau bersama orang lain, asalkan ia selalu terbuka dan berharap kepada Allah. Semoga!

Kewapante, Minggu, 16 Februari 2025
.
 

Editor: redaksi

RELATED NEWS