HOMILI, Minggu Adven IV: Kebaikan dan Ketulusan Hati Membuka Jalan untuk Memahami Kehendak Allah

redaksi - Sabtu, 20 Desember 2025 18:54
HOMILI, Minggu Adven IV: Kebaikan dan Ketulusan Hati Membuka Jalan untuk Memahami Kehendak AllahPater Gregor Nule SVD (sumber: Dokpri)

Oleh: Pater Gregor Nule, SVD
(Minggu Adven IV A: Yes 7:10-14; Rm 1:1-7; Mat 1: 18 – 24)

Dalam Injil hari ini kita mendengar kisah tentang Yusuf, tunangan Maria, yang sungguh baik hati dan tulus. Ketika tahu bahwa Maria mengandung, padahal keduanya belum hidup bersama, Yusuf tidak marah dan tidak mau membuatnya malu dengan menuntutnya di depan umum. 

Yusuf tidak mau membalas dendam, kendatipun ia sakit hati karena merasa dikhianati Maria.  Itulah sebabnya ia ingin menceraikan Maria secara diam-diam.

Kebaikan dan ketulusan hati membuka jalan bagi Yusuf untuk menyelami kehendak Allah melalui misteri kelahiran Yesus oleh kuasa Rohkudus. Yusuf yang sedang hanyut dalam kebingungan  dan kekalutan disadarkan oleh suara Malaikat dalam mimpi. 

Malaikat Tuhan berkata, “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan Anak laki-laki dan engkau akan menamai Dia, Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa-dosa mereka”, (Mat 1:20-21).

Melalui suara Malaikat di atas maka rencana Yusuf untuk meninggalkan Maria batal. Ia mulai terbuka dan bersedia menerima kehendak Tuhan yang mau melaksanakan rencana keselamatan umat manusia melalui keluarganya.

Karena itu, Yusuf memilih untuk taat pada kehendak Allah serta berjalan bersama Maria dan Yesus.
Rencana Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia yang dibelenggu oleh dosa dan maut telah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya kira-kira tujuh ribu tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus, sebagaimana kita dengarkan dalam bacaan pertama. 

Yesaya mengingatkan bangsa Israel yang tidak setia dan hidup jauh dari Allah untuk bertobat dan segera kembali ke jalan hidup yang benar. 

Yesaya berkata, “Sebab itu, Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang wanita muda akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, ia akan menamai Dia Imanuel”, (Yes 7:14).

Bagi Mateus nubuat nabi Yesaya tidak lagi merupakan sesuatu yang masih harus diharapkan dan dinantikan, melainkan sudah menjadi kenyataan, yakni bahwa Maria dari Nazaret yang sedang mengandung dari Rohkudus adalah perwujudan dari janji Allah itu. Dan, Yusuf, si tukang kayu, telah ditetapkan oleh Allah untuk mendampingi Maria dan Yesus.

Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menjelaskan bahwa Yesus yang adalah Imanuel itu sungguh Putera Allah dan sekaligus Putera Manusia, sebab Ia berasal dari Allah, namun berada di tengah kehidupan manusia (bdk. Rom 1:3).  

Ini berarti, Yesus yang adalah Allah dan Manusia mau senasib dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam dosa. Yesus merasakan segala pengalaman suka-duka manusia. Ia juga alami pencobaan, penderitaan, kekecewaan dan ketakutan. Yesus adalah Imanuel, Tuhan yang selalu beserta kita dalam untung dan malang.

Maria dan Yusuf berkenan  menjadi orang pilihan Allah untuk menjadi orangtua Yesus, Imanuel, yang dinantikan umat Israel selama  berabad - abad. Mereka juga mendapat misi khusus untuk menjadi alat serta saluran berkat dan keselamatan bagi umat mausia dan dunia.

Alasannya adalah karena Maria dan Yusuf selalu tampil sebagai sosok orang beriman yang sederhana dan rendah hati, namun sungguh taat dan setia pada kehendak Allah. 

Maria bersedia menjadi ibu Tuhan, meskipun ia tidak mengerti bagaimana hal itu mungkin terjadi.  Yusuf pun tetap mengambil Maria sebagai isterinya, kendatipun ia sadar bahwa buah kandungan Maria bukanlah miliknya.  Yusuf adalah orang yang baik hati, tulus dan sungguh beriman.

Karena itu, belajar dari Maria dan Yusuf, kita pun hendaknya berusaha membangun iman yang benar dan hidup menurut iman kita. Iman menuntut kita agar taat dan setia pada kehendak Allah, meskipun terkadang kita tidak paham atau pun kita mesti tanggung resiko dengan mengorbankan diri, waktu dan kepentingan kita sendiri demi kebaikan sesama dan kemuliaan Allah.

Kita juga belajar dari Yusuf yang sungguh baik hati dan tulus. Demi cinta yang tulus ia tidak ingin mempermalukan Maria yang telah mengandung. Ia tidak egois. Ia berpikir positif dan rela mengampuni Maria.  
Kita pun hendaknya belajar agar tidak mudah menghakimi sesama dan tidak suka balas dendam. Kita belajar untuk  mengampuni sesama. 

Sebagaimana Yusuf yang tetap menerima Maria, demikian juga kita harus saling menerima, kendati pun kita dikhianati dan hati kita disakiti.  

Sebab hanya dengan demikian, Yesus tetap menjadi Imanuel, Allah Beserta Kita, dan damai Natal akan menjadi milik kita. 
Semoga! Amen.

Kewapante, Minggu, 21 Desember 2025. ***

 

RELATED NEWS