HOMILI, P. Gregor Nule SVD, Minggu Biasa XXVII C, 09 Oktober 2022

redaksi - Sabtu, 08 Oktober 2022 20:38
  HOMILI, P. Gregor Nule SVD, Minggu Biasa XXVII C, 09 Oktober  2022Pater Gregor Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari, Kewapante (sumber: Dokpri)

TAHU BERSYUKUR ADALAH BUKTI IMAN YANG SEJATI

 Bacaan: 2Raj 5: 14-17; 2Tim 2: 8-13; Luk 17: 11-19)

MANUSIA pada umumnya selalu berusaha mencari bantuan dan perlindungan dari siapa saja, terutama dari Tuhan apabila hidupnya  terancam oleh bencana, malapetaka dan penyakit.  

Kenyataan ini nampak jelas saat covid-19 mengancam nyawa begitu banyak orang di dunia. Ada  banyak sekali orang yang berbondong-bondong ke gereja, Gua Maria atau tempat ibadah lain untuk berdoa, tanpa menghiraukan aturan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Mungkin termasuk kita juga.

Tetapi setelah berkurangnya ancaman covid 19 pelan – pelan orang mulai meningalkan kegiatan doa. Doa mungkin sekedar dilihat sebagai aksi meminta apa yang dibutuhkan pada saat-saat krisis.  

Orang hanya membutuhkan bantuan  Tuhan di saat-saat sulit, menderita dan sakit. Sebaliknya, pada saat-saat sehat dan beruntung orang cenderung lupakan Tuhan. 

Mungkin Tuhan dilihat hanya sebagai pemadam kebakaran untuk menangkal bahaya atau kotak sampah untuk menampung yang kotor dan terbuang.

Injil dan bacaan pertama hari ini menampilkan 11 orang kusta yang mengalami nasib untung karena disembuhkan oleh nabi Elisa dan Yesus. 

Menurut pandangan orang Yahudi penyakit kusta adalah salah satu penyakit berbahaya, yang mudah menular dan dilihat sebagai akibat dari dosa atau kutukan dari Allah. 

Penyakit kusta membuat si penderita menjadi kotor dan najis, dan karena itu, harus diisolasi dan disingkirkan dari pergaulan sehari-hari. Orang yang menderita penyakit kusta tinggal terpisah dari masyarakat umum serta dilarang terlibat dalam kegiatan-kegitan sosial dan religius. 

Naaman, seorang panglima pasukan raja Aram. merasa sangat tersiksa oleh penyakit kusta yang menggerogotinya. Dan, atas anjuran seorang gadis berkebangsaan Yahudi yang bekerja di rumahnya, Naaman memutuskan  pergi ke tanah Israel untuk menjumpai Elisa, seorang abdi Allah. Ia juga mentaati pesan nabi untuk membasuh diri di sungai Yordan sampai tujuh kali. Maka hasilnya ia menjadi sembuh. 

Kesehatan Naaman telah pulih kembali. Kulitnya menjadi bersih. Dan ia merasa terlahir kembali laksana seorang bayi. Maka  dengan penuh sukacita dan rasa syukur ia kembali menjumpai Elisa untuk mengungkapkan pengakuan imannya akan Allah Israel yang telah menyembuhkannya. 

Naaman berkata, “Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak Allah kecuali di Israel. Karena itu, terimalah kiranya suatu pemberian dari hambamu ini”, (2Raj 5:15).  

Tetapi Elisa menolaknya karena persembahan hanya pantas diberikan kepada Allah. Elisa hanyalah seorang manusia biasa. Maka Naaman meminta  tanah sebanyak yang dapat diangkut oleh sepasang bagal agar dengan tanah itu ia hanya menyembah Allah Israel di Aram, tanah airnya. 

Pengalaman kesembuhan Naaman telah membangkitkan rasa syukur yang tulus dan iman yang benar akan Allah.

Kesepuluh orang kusta juga merindukan pembebasan dari penyakitnya. Maka ketika menemui Yesus, mereka berdiri dari jauh dan berteriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami”.(Luk 17:13). 

Dan ketaatan ke-10 orang kusta terhadap perintah Yesus. “Pergilah dan perlihatkan dirimu kepada imam-imam”, (Luk 17:14), menjadi awal dan sumber kesembuhan mereka. Mereka menjadi sembuh karena meminta dengan penuh harapan dan taat pada perintah Yesus.

Salah seorang dari mereka ketika sadar bahwa ia telah sembuh, kembali kepada Yesus, berlutut di depanNya sebagai tanda sembah sujud dan bersyukur kepada-Nya. 

Melihat itu Yesus heran karena hanya seorang Samaria yang dianggap kafir oleh orang-orang Yahudi, yang datang mengucap syukur dan memuliakan Allah.

Mengapa Yesus heran dan sepertinya kecewa dengan sikap ke-9 orang lain yang telah sembuh itu? Alasannya karena mereka hanya tahu meminta, dan setelah mendapatkan apa yang diminta, mereka tidak tahu berterima kasih, apalagi memuji dan memuliakan Allah sebagai sumber penyembuhan.

Itulah sebabnya Yesus berkata kepada orang Samaria yang telah sembuh itu, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau”, (Luk 17:19). 

Di sini jelas bahwa orang asing itu mengalami bukan hanya kesembuhan dari penyakit kusta, melainkan juga keselamatan seluruh hidupnya karena ia tahu bersyukur dan memuliakan Allah sebagai buah imannya. 

Sebaliknya, ke-9 orang kusta lain hanya mengalami kesembuhan karena mereka tidak tahu berterima kasih. Mungkin mereka merasa bahwa kesembuhan itu adalah hak yang harus mereka dapatkan. Atau, mereka memang adalah orang-orang yang tidak tahu bersyukur.

Bersyukur berarti mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan terjadi di dalam hidup kita merupakan pemberian Allah. Bersyukur punya gandengan dengan iman. 

Dan, semakin dalam iman seseorang, semakin tahu pula ia bersyukur dalam seluruh hidupnya. Sebaliknya, orang yang tidak tahu bersyukur adalah tanda orang yang tidak beriman. 

Karena ia yakin bahwa segala keberhasilannya dan segalam miliknya merupakan hasil karyanya sendiri. Bagi orang seperti ini, Allah tidak punya tempat dalam hidupnya. 

Karena itu, bercermin pada Naaman dan orang Samaria, kedua orang asing itu, yang tahu bersyukur dan memuliakan Allah, kita pun hendaknya belajar untuk selalu tahu bersyukur dan memuliakan Allah, dalam seluruh lika-liku hidup kita. Semoga. Amen!

Kewapante, Minggu 09 Oktober 2022

P. Gregorius Nule, SVD. ***

RELATED NEWS