HOMILI Pater Goris Nule, SVD, Minggu, 03 Maret 2034

redaksi - Sabtu, 02 Maret 2024 07:50
HOMILI Pater Goris Nule, SVD, Minggu, 03 Maret 2034Pater Gregor Nule SVD (sumber: Dokpri)

CINTA AKAN RUMAH ALLAH MENGHANGUSKAN HATINYA
(Minggu III Prapaskah: Kej 20:1-17; 1Kor 1:22-25; Yoh 2:13-25)

Seandainya ada sebuah Koran yang terbit di Yerusalem di masa Yesus, tentu peristiwa “Yesus menyucikan Bait Allah” dalam Injil hari ini ditulis pada halaman pertama dengan huruf kapital,  komentar-komentar dan tanggapan yang berbeda-beda.

Mungkin ada yang akan  berkomentar demikian, “Yesus, nabi muda dari Galilea itu marah besar dan mengusir para penjual keluar dari pelataran bait Allah dengan cambuk”. 

Mungkin ada juga yang berkomentar dengan nada sumbang lain, “Kok Ia seorang nabi dan Tuhan tapi bisa emosional dan marah-marah seperti itu? Sikap dan tindakan seperti itu tidak pas”, dan lain-lain.

Tetapi, kita bertanya, mengapa Yesus marah?

Mari kita simak kasus kemarahan Yesus. Kita lihat pentingnya Bait Allah bagi bangsa Yahudi dan Yesus. Bait Allah adalah tempat ibadah, tempat membacakan dan menjelaskan hukum Taurat. Bait Allah juga adalah tempat menyimpan tabut perjanjian. 

Karena itu,  bait Allah menjadi tanda persatuan suku-suku Israel sebagai suatu bangsa. Singkatnya, Bait Allah menjadi pusat bangsa dan agama orang-orang Yahudi. 

Yesus menyebut Bait Allah sebagai Rumah Bapa dan rumah doa, tempat kediaman dan kehadiran Allah di tengah umat, dan Dia sungguh mencintainya. Yesus juga sering mengajar di Bait Allah itu. 

Tetapi,  ketika Yesus mengunjunginya  pada hari itu ternyata tempat yang istimewa dan penting itu  telah berubah jadi pasar. Ada pedagang-pedagang lembu, domba dan merpati; ada penukar uang, dan ada begitu banyak orang berjalan ke sana – kemari sambil menawarkan jualannya. 

Melihat adegan aneh itu Yesus sangat marah, lalu memporakporandakan meja penukar uang dan mengusir mereka keluar dari pelataran Bait Allah. 

Sebetulnya kegiatan jual-beli hewan di pelataran Bait Allah sudah menjadi biasa karena hewan-hewan itu dimaksudkan untuk menjadi korban bakaran. 

Adanya penukar uang (money changer) dan meja penukar uang (counter) juga dapat dibenarkan karena ada banyak orang asing yang perlu menukar uang untuk membeli hewan korban dan membayar pajak Bait Allah. 

Kalau demikian, apa yang membuat Yesus marah?  Alasannya sangat logis dan tepat, yaitu  karena para pedagang telah menjadikan Rumah Allah menjadi tempat jualan, tempat tawar-menawar barang dagangan yang dilakukan secara tidak jujur dan curang. 

Mereka  telah bersekongkol dengan otoritas agama, khususnya para penjaga Bait Allah untuk melakukan tindakan pemerasan, ketidakadilan, korupsi dan penindasan, khususnya terhadap orang-orang kecil dan miskin. 

Karena itu, Siapa saja yang punya perasaan religius yang tinggi tentu saja akan setuju dengan kemarahan Yesus tersebut. Sebab tindakan para pedagang ini merupakan suatu penghinaan dan pemerkorsaan terhadap Allah, Rumah Allah dan orang-orang beriman. 

Sasaran kemarahan Yesus juga tepat, yaitu melulu kepada mereka yang tidak memiliki sensibilitas atau perasaan religius, dan bukan kepada siapa saja yang ada dalam Bait Allah saat itu. 

Yesus  berkata kepada para penjual merpati, “Ambil semuanya itu dari sini, jangan kamu membuat Rumah BapaKu menjadi tempat berjualan”, Yoh 2:16). 

Atau dengan nada yang lebih keras lagi Yesus berkata, “Ada tertulis: Rumah BapaKu akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun”, (Mt 22:13). 

Tujuan kemarahan Yesus pun baik dan benar agar orang-orang itu tahu membedakan antara Bait Allah, tempat kudus dengan pasar, tempat jualan dan tukar-menukar barang. 

Mereka juga mesti  tahu tentang fungsi suatu tempat dan menghargainya sesuai dengan fungsinya. 

Bait Allah yang sebetulnya berfungsi untuk bertemu dengan Allah dan mencari kehendak Allah bahkan dijadikan sebagai lahan subur perbuatan-perbuatan menjijikkan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dan lebih buruk lagi, semua tindakan kejahatan itu dibenarkan atau dibungkus dengan bingkai religius. 

Yesus menolak ibadat yang bersifat lahiriah belaka, apalagi hanya bertujuan untuk mencari keuntungan dan kepentingan diri sendiri.  Orang yang hidup dalam kesadaran penuh akan menunjukkan sikap dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Saudara-saudariku, seandainya Yesus mendatangi tempat ibadat kita, gereja Kewapante ini, Kapela-kapela di stasi-stasi, dan gereja-gereja lain di sekitar kita.  

Apakah Yesus akan menemukan kenyataan-kenyataan yang membuat hatiNya bahagia?  Atau, sebaliknya Ia temukan hal-hal aneh yang membuat hatiNya gusar. 

Mungkin berhubungan dengan sikap dan tingkah laku kita ketika berada dalam gereja. Atau penghormatan kita terhadap yang kudus, keseringan kita mengunjungi tempat-tempat ibadat, dan keseriusan kita menghayati doa, ibadat, ekaristi serta perayaan-perayaan liturgis lainnya dengan motivasi yang tulus dan murni. 

Yesus bisa saja gusar hatiNya ketika menemukan bahwa kita belum sungguh-sungguh membedakan antara tempat yang kudus dan profan, antara gereja dengan toko swalayan, atau tempat-tempat lain, yang tentu menuntut  sikap dan tingkah laku yang pas dan tepat. 

Kita perlu ingat bahwa gereja, kapela-kapela, rumah ibadat dan  pelataran atau lingkungan sekitarya merupakan tempat khusus yang butuhkan ketenangan dan keheningan pada setiap saat. Gereja dan pelatarannya bukanlah tempat untuk bercerita, makan dan minum, merokok dan lain-lain. Kita mesti jaga kebersihanya. 

Yesus justeru sangat marah karena suasana Bait Allah di Yerusalem dan pelatarannya saat itu sangat gaduh  oleh karena kesibukan para pedagang, pembeli dan penukar uang. 

Selanjutnya, Yesus menantang orang-orang di sekitarnya dengan berkata, “Runtuhkanlah bait suci ini dan dalam tiga hari Aku akan membangunkannya kembali”, (Yoh 2:19). 

Di sini Yesus mengundang para pendengar dan kita sekalian untuk masuk ke dalam suatu pemahaman baru tentang bait Allah, yaitu DiriNya sendiri dan umat Allah atau diri kita. Itulah sebabnya Bait Allah mesti mendapatkan penghormatan khusu. 

Diri kita pun hendaknya dibersihkan, disucikan dan  dibangun kembali sebagai kenisah baru, tempat diam Roh Kudus. 

Masa prapaskah merupakan sebuah kesempatan dan undangan bagi kita untuk menjaga kesucian diri dengan cara menjauhkan diri kita  dari dosa dan kejahatan. 

Kita mengisi masa ini dengan berdoa, berpuasa dan mati raga, serta memberi sedekah kepada mereka yang miskin. 

Mungkin sering kita dengar keluhan atau celaan orang lain terhdap kita, bahwa ada jurang yang sangat dalam antara kehidupan beragama dengan sikap dan perilaku harian kita, sepertinya tidak ada hubungan timbal-balik di antara keduanya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang sering ke gereka,  berdoa dengan tekun dan sopan.

Tetapi setelah semuanya berakhir Allah dan FirmanNya sepertinya ditinggalkan di gereja, lalu mereka kembali  ke rumah dan dunia untuk mengulangi perbuatan, sikap dan pekerjaan yang sama seperti sedia kala. Tidak ada perubahan apa pun dalam hidup.

Mungkin kita juga ikut-ikutan berlaku curang, bohong dan tidak mengamalkan cinta kasih, kejujuran, keadilan dan kesepuluh perintah Allah. Atau, tidak menghayati ajaran iman dan komitmen kita dalam hidup sehari-hari. 

Allah dan karya keselamatanNya mesti hadir dan menjiwai semua aspek hidup kita. Misa tidak berakhir dengan berkat penutup di gereja. Misa yang benar dan sejati mesti dirayakan dan terus dihayati  di setiap saat hidup kita.
Semoga! Amen.
Kewapante, Minggu, 03 Maret 2024
P. Gregorius Nule, SVD. ***
 

RELATED NEWS