HOMILI, Pater Gregor Nule, SVD, Minggu, 11 Februari 2024

redaksi - Sabtu, 10 Februari 2024 15:21
HOMILI, Pater Gregor Nule, SVD, Minggu, 11 Februari 2024Pater Gregor Nule SVD (sumber: Dokpri)

ALLAH MENGUTAMAKAN BELASKASIHAN TERHADAP ORANG LEMAH DAN SAKIT
 (Minggu Biasa VIB: Im 13:1-2.44-46; 1Kor 10:3-11:1; Mrk 1: 40 – 45)

Sehat dan sakit punya hubungan yang sangat erat. Orang  sehat berarti orang yang tidak alami rasa sakit dan penyakit, baik sakit fisik, mental maupun sakit sosial. Dan, setiap orang selalu bercita-cita agar hidup baik dan sehat. 

Tetapi, tidak jarang orang mengalami atau tertimpa rasa sakit, penyakit dan penderitaan. 
Salah satu misi Yesus di dunia adalah membebaskan manusia dari rasa sakit dan penyakit, memelekkan mata orang buta, mengusir roh-roh jahat, membebaskan orang dari kuasa setan.

Yesus juga membangkitkan dan memberi hidup kepada orang-orang yang sudah mati.
Bacaan pertama dan Injil hari ini berbicara tentang penyakit kusta dan orang kusta. 

Orang kusta atau lepra adalah orang yang menderita penyakit yang mudah menular dan menjangkiti orang lain. Penyakit ini berbahaya dan sangat ditakuti.

Untuk menghadapi masalah penyakit kusta, bangsa Israel memiliki hukum pentahiran (pembersihan, penyucian) yang menegaskan bahwa setiap orang kusta mesti disingkirkan dari pergaulan dengan orang lain dan diasingkan keluar kampung. Mereka juga dilarang untuk terlibat di dalam kebaktian keagamaan.

Orang kusta dijauhkan dari pergaulan sehari-hari dan diasingkan di hutan atau kebun agar tidak membahayakan orang lain. Sebab penyakit kusta mudah menular dan menjangkiti orang lain. 

Selain itu, penyakit kusta juga dilihat hukuman atan kutukan dari Allah karena perbuatan dosa dan salah. Karena itu, orang kusta adalah seorang pendosa atau penjahat. Karena itu, orang kusta mesti diasingkan dan dilarang mengikuti ibadah dan kebaktian agar tidak menajiskan orang lain. 

Hukum pentahiran sebenarnya punya tujuan luhur yakni membangun jemaat yang suci, bersih dan layak berbakti kepada Allah. Tetapi, kelemahannya adalah bahwa orang sakit atau orang yang cacat tubuhnya, atau orang kusta dipandang sebagai orang hina, berdosa dan dihukum Allah. 

Orang yang sakit berkepanjangan, cacat atau lumpuh sering dilihat sebagai pendosa yang mesti disingkirkan dari masyarakat dan dari kalangan umat Allah.

Yesus dalam Injil hari ini tampil sebagai sosok revolusioner yang membawa perubahan dan bahkan perombakan terhadap cara pandang dan cara bertindak orang di masaNya terhadap kelompok yang dianggap najis dan mesti dijauhkan dari pergaulan sehari-hari.

Yesus tidak segan-segan, apalagi takut berjumpa dengan orang kusta dan melayaninya. Dengan cara yang sangat manusiawi Yesus menanggapi permohonan orang kusta itu untuk menyembuhkan atau mentahirkannya. 

Orang kusta itu berlutut di hadapan Yesus dan memohon, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku”, (Mrk 1:40)

Dengan segera Yesus menanggapi permhonan si kusta. Ia “mengulurkan tanganNya, menyentuh orang itu, dan berkata kepada orang itu, ‘Aku mau jadilah engkau sembuh’ (Mrk 1:41). 
Yesus mnyembuhkan si kusta terdorong oleh belaskasihan. Yesus membebaskan si kusta dari rasa sakit dan penyakitnya. Yesus juga  menyembuhkan hati si kusta yang galau, sakit, dan tertekan karena ditolak dan diperlakukan secara tidak manusiawi. 

Orang kusta sadar bahwa ternyata Yesus tidak seperti orang-orang lain yang menutup diri, menyepelehkan dan menghinanya. 

Dengan menyentuh si kusta Yesus ingin memulihkan kembali harga diri, harkat dan martabatnya sebagai sesama manusia yang boleh didekati, disentuh, dan dirangkul. Orang kusta adalah manusia biasa yang menderita penyakit. Dan, ia punya hak untuk mendapat perhatian dan pelayanan yang baik dan manusiawi. 

Dalam hidup sehari-hari kita juga selalu berhadapan dengan penyakit dan orang sakit. Sikap dan pandangan kita terhadap penyakit dan orang sakit pun sangat bervariasi. 

Ada orang yang melihat penyakit sebagai hal biasa yang tak terpisahkan dari hidup manusia atau situasi batas yang sering menimpa manusia. Tetapi ada juga yang menganggap penyakit sebagai peringatan, teguran dan hukuman dari Tuhan. 

Sikap dan tanggapan yang berbeda-beda juga dimiliki orang ketika berhadapan dengan orang sakit. Pasien penyakit jantung, paru-paru, DBD, malaria, asam urat, sakit pinggang, dan lain-lain banyak kali diperlakukan biasa-biasa saja. 

Tetapi, sikap orang akan berubah ketika berhadapan orang kusta atau pasien AIDS. Umumnya orang segan dan membatasi pergaulan dengan mereka. Orang takut tertular. 

Lebih lagi, ketika berhadapan dengan orang yang menderita AIDS. Mereka dicap negatif dan berdosa. Penyakit AIDS yang diderita seseorang dilihat sebagai akibat ketidakteraturan hidup, khususnya di bidang hidup seksual.

Mungkin kita juga sering bersikap sama seperti orang-orang Yahudi. Maka kita perlu bertobat. Kita mesti membebaskan diri dari pikiran negatif. Kita belajar untuk melihat penyakit sebagai bagian dari hidup kita.  Penyakit bukanlah siksaan atau hukuman Tuhan atas dosa dan salah kita.  

Kita juga belajar untuk menerima, memperlakukan dan melayani semua orang sakit sebagai orang lemah yang membutuhkan perhatian tulus dan pelayanan penuh kasih, termasuk mereka yang menderita AIDS dan penyakit lain yang mudah menular. 

Bersama Bunda Maria dari Lourdes kita diajak untuk mendoakan orang-orang sakit di seluruh dunia. Kita juga berkomitmen untuk melayani mereka karena orang sakit adalah pribadi yang berharga. Maka tidak boleh dibuang, diasingkan atau ditinggalkan. 

Semoga semua orang sakit dilindungi dan diberkati Tuhan. Amen.
Kewapante, Minggu, 11 Februari 2024
P. Gregorius Nule, SVD


 

Editor: redaksi

RELATED NEWS