HOMILI Pater Gregor Nule, SVD, Minggu, 17 September 2023
redaksi - Sabtu, 16 September 2023 11:03BELAJAR SALING MENGAMPUNI DALAM HIDUP SEHARI-HARI
(Minggu Biasa 24A:Sir 27:30-28:9; Rom 14:7-9; Mat 18:21-35)
DALAM hidup sehari-hari muncul pendapat yang berbeda-beda tentang soal pengampunan. Ada yang katakan bahwa ia bisa mengampuni, tapi sulit melupakan kesalahan dan rasa sakit hati yang telah dialaminya.
Ada yang katakan bahwa pengampunan yang sejati sangatlah sulit bagi manusia. Hanya Allah sajalah yang dapat mengampuni secara benar.
Ada pula yang mengatakan bahwa sekali atau dua kali mengampuni kesalahan yang sama dari orang yang sama, mungkin bisa, tetapi jika kesalahan yang sama diulang terus-menerus maka pasti sulit untuk memberikan pengampunan.
Tetapi, apakah mustahil bagi kita mengampuni secara tulus orang yang membuat hati kita sakit, terluka dan menderita?
Saya yakin tidak. Mengampuni orang yang telah menyakiti kita adalah hal yang mungkin bagi manusia.
Kitab Putra Sirakh dan Injil hari ini berbicara tentang alasan mendasar pengampunan yang harus kita berikan kepada orang lain, yaitu karena Allah telah lebih dahulu mengampuni kita tanpa batas.
Pengampunan kepada orang lain menjadi syarat mutlak untuk memperoleh pengampunan dari Allah apabila kita memohonkannya.
Allah itu murah hati dan suka mengampuni, maka kita pun hendaknya murah hati seperti Allah dan bersedia mengampuni sesama.
Kitab Putra Sirakh secara terus terang meminta agar manusia mengampuni sesamanya sebagaimana Allah selalu mengampuni dosa-dosa manusia.
Allah tidak pernah ingkar janji. Ia selalu setia pada janjiNya untuk menyelamatkan manusia. Maka Allah meminta agar sikap belaskasihan dan kemurahan hatiNya ditiru oleh umatNya setiap kali berhadapan dengan sesama yang lalai dan mudah jatuh ke dalam dosa.
Dalam nada yang sama, Yesus pun meminta para muridNya untuk mengampuni tanpa batas. Yesus sungguh memahami kelemahan manusia yang sering ingkar janji, cepat lupa dan mudah jatuh lagi ke dalam lubang yang sama, yakni melakukan dosa dan kesalahan.
Maka kesadaran untuk selalu saling mengampuni merupakan sebuah tuntutan dalam hidup sehari-hari.
Tidak cukup mengampuni seorang saudara hanya sampai tujuh kali, sebagaimana ditanyakan oleh raasul Petrus.
Para murid mesti berusaha mengampuni orang lain kapan saja dan di mana pun tanpa menghitung-hitung jumlah.
Di sini Yesus coba menyadarkan para muridNya untuk memahami dan menghayati ajaran baru tentang pengampunan yang didasarkan pada kasih persaudaraan.
Para murid sudah mengenal tradisi orang Yahudi yang membolehkan seseorang mengampuni sesamanya hanya sebanyak tiga kali.
Para murid juga mengenal hukum talion atau hukum pembalasan: “gigi ganti gigi, dan mata ganti mata”.
Orang hanya menuntut kerugian yang setimpal atau balasan rasa sakit yang ia alami. Mungkin tindakan pembalasan ini dirasa adil dan pantas di mata manusia.
Tetapi di mata Yesus tidaklah demikian. Yesus ingin mengubah pemahaman dan praktek hidup manusia secara radikal.
Sebab kemarahan dan kebencian pasti akan mendatangkan balas dendam yang dashyat.
Yesus menawarkan ajaran baru, yakni pengampunan tanpa batas yang terpancar dari kemurahan hati dan rasa belaskasihan yang berlimpah-limpah untuk memadamkan bara api kemarahan dan dendam yang terpendam.
Hari ini Yesus mengajak dan sekaligus menantang kita untuk mempraktekkan pengampunan atas dasar kasih.
Kita diajak untuk mengampuni orang-orang dekat yang hidup bersama dan/atau bekerja dengan kita: orangtua, anak, suami, isteri, rekan kerja, bawahan, pekerja, anggota masyarakat, tetangga, umat Allah lainnya dan anggota komunitas biara.
Kita hendaknya sadar bahwa dalam keluarga dan masyarakat kita tidak hidup dengan malaekat-malaekat yang bebas dari dosa dan salah.
Sebaliknya, kita pun tidak hidup dan bekerja dengan setan-setan, yang segalanya hitam dan negatif.
Kita hidup dan berbagi dengan manusia biasa, yang punya kekuatan dan kelebihan, dan pada saat yang sama, punya kelemahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, dari kita dituntut hati yang terbuka dan niat luhur untuk saling mengampuni. Barang siapa yang tidak mau mengampuni tidak akan memiliki kedamaian di dalam hati, ia jauh dari sesamanya dan juga jauh dari Allah. Ia pun tidak mendapatkan pengampunan dari Allah.
Sebab kebencian dan dendam adalah racun yang mematikan. Menyimpan dendam dan kebencian di dalam hati adalah tindakan membunuh diri sendiri dan membunuh orang-orang di sekitar kita.
Barang siapa yang tidak mengampuni akan mengalami rasa sakit di dalam hati yang tentu berakibat terhadap kesehatan tubuhnya.
Ingatlah, pengampunan mendatangkan kegembiraan, sedangkan benci dan dendam mendatangkan kesedihan dan penyakit.
Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam kebencian dan dendam mudah terserang gangguan tekanan darah yang tidak stabil dan serangan jantung.
Keluarga, komunitas biara dan masyarakat harus menjadi wadah yang tepat untuk membangun kehidupan dan bukan kematian, serta tempat penyembuhan dan bukan penyebaran virus penyakit.
Mari kita berusaha membangun hidup bersama dalam semangat persaudaraan dan kekeluargaan dengan selalu bersedia saling mengampuni dan mau berdamai kembali dengan sesama dan orang-orang di sekitar kita.
Semoga Tuhan Yesus memberkati kita selalu. Amen.
Kewapante, Minggu, 17 September 2023
P. Gregorius Nule, SVD ***