Jam Kiamat Beri Isyarat, Kehancuran Datang 89 Detik Lebih Cepat, Beberapa Tanda Ini Dianggap Masuk Akal
redaksi - Rabu, 29 Januari 2025 18:37JAKARTA (Floresku.com) - Para ilmuwan internasional yang tergabung dalam Bulletin of the Atomic Scientists kembali memberikan peringatan keras bahwa dunia sedang menghadapi ancaman besar.
Mereka telah menggeser posisi Jam Kiamat (Doomsday Clock) ke 89 detik sebelum tengah malam, lebih dekat satu detik dibandingkan dengan tahun lalu.
Ini menjadi simbol meningkatnya risiko bencana global yang bisa mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.
Apa Itu Jam Kiamat?
Jam Kiamat adalah simbol yang menggambarkan seberapa besar risiko bencana global akibat ulah manusia.
Sejak tahun 1947, simbol ini dikelola oleh para ilmuwan dari Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) di University of Chicago, Amerika Serikat.
BAS sendiri merupakan organisasi yang terdiri dari para ahli dan ilmuwan yang menilai perkembangan ilmu pengetahuan serta dampaknya terhadap kehidupan manusia.
Organisasi ini didirikan oleh sekelompok ilmuwan yang sebelumnya terlibat dalam Manhattan Project, sebuah proyek penelitian bom atom selama Perang Dunia II.
Pada awalnya, Jam Kiamat dibuat untuk mengukur ancaman nuklir.
Namun, seiring waktu, pengaturan jam ini terus berubah berdasarkan seberapa dekat umat manusia dengan potensi kehancuran total menurut para ilmuwan.
Meskipun Jam Kiamat bukan alat untuk mengukur ancaman nyata terhadap keberlangsungan Bumi, keberadaannya bertujuan untuk memicu diskusi tentang isu-isu ilmiah yang kompleks, seperti perubahan iklim dan risiko teknologi.
Faktor Utama yang Meningkatkan Risiko Global
Perubahan waktu pada Jam Kiamat ini mencerminkan meningkatnya ancaman dari berbagai faktor, termasuk ketegangan nuklir yang diakibatkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan yang masih memanas di Timur Tengah dan Asia, serta penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam konteks militer.
Selain itu, krisis iklim yang semakin memburuk juga menjadi pendorong utama keputusan ini.
Ancaman Nuklir: Invasi Rusia ke Ukraina
Daniel Holz, Ketua Dewan Sains dan Keamanan Bulletin of the Atomic Scientists, menjelaskan bahwa meskipun faktor-faktor yang memengaruhi keputusan tahun ini, seperti risiko nuklir, perubahan iklim, dan penyalahgunaan teknologi biologi, bukanlah hal baru, upaya untuk mengatasinya justru belum cukup efektif dan bahkan semakin memburuk.
Holz menegaskan bahwa ancaman nuklir tetap menjadi isu utama dalam keputusan ini.
"Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan tahun ini—risiko nuklir, perubahan iklim, penyalahgunaan teknologi biologi, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya seperti kecerdasan buatan—sebenarnya bukan hal baru. Namun, kita telah melihat bahwa upaya untuk mengatasinya masih belum cukup, bahkan dalam banyak kasus justru semakin memburuk," kata Holz, seperti yang dilansir oleh Reuters pada Rabu, 29 Januari 2025.
Ancaman nuklir terus menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 2022.
Konflik ini telah menimbulkan ketegangan besar di Eropa dan memicu kekhawatiran tentang kemungkinan penggunaan senjata nuklir.
- Jam Kiamat Beri Isyarat, Kehancuran Datang 89 Detik Lebih Cepat, Beberapa Tanda Ini Dianggap Masuk Akal
- 4 Fakta Unik tentang DeepSeek, AI Buatan China yang Bikin Pencipta 'ChatGPT' dari AS Panik
"Perang di Ukraina terus menjadi sumber risiko nuklir yang besar. Konflik ini berpotensi berkembang menjadi perang nuklir, baik karena kesalahan perhitungan maupun keputusan yang gegabah," tambah Holz.
Kekhawatiran ini semakin kuat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan kebijakan baru pada November 2023 yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir.
Doktrin baru ini memberi Putin lebih banyak alasan untuk menggunakan arsenal nuklir terbesar di dunia sebagai respons terhadap serangan konvensional dari Barat.
Selain itu, Rusia juga menolak untuk melanjutkan negosiasi perjanjian baru dengan Amerika Serikat yang akan menggantikan New Strategic Arms Reduction Treaty (New START), yang akan berakhir pada 2026. Moskow malah meminta agar perjanjian semacam itu diperluas untuk mencakup negara-negara lain.
Ketegangan di Timur Tengah dan Asia
Ketegangan di Timur Tengah dan Asia juga semakin memprihatinkan.
Perang antara Israel dan Hamas di Gaza serta ketegangan yang melibatkan Iran dan negara-negara lain di kawasan tersebut berpotensi memicu eskalasi yang lebih besar.
"Kami memantau dengan cermat dan berharap gencatan senjata di Gaza akan bertahan. Namun, ketegangan di Timur Tengah, termasuk dengan Iran, masih sangat berbahaya dan tidak stabil," kata Holz.
Di Asia, China semakin meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan, mengirimkan kapal perang dan pesawat tempur di sekitar pulau yang diklaim sebagai wilayahnya.
Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba rudal balistik yang dapat membawa hulu ledak nuklir, menambah ketegangan di kawasan tersebut.
"Ada banyak titik panas potensial di dunia, termasuk Taiwan dan Korea Utara. Jika salah satu konflik ini meletus, negara-negara dengan kekuatan nuklir bisa terlibat, yang akan membawa dampak tak terduga dan sangat menghancurkan," kata Holz.
Krisis Iklim Dunia
Krisis iklim juga menjadi faktor utama dalam keputusan ini.
Data dari Organisasi Meteorologi Dunia PBB menunjukkan bahwa 2024 adalah tahun terpanas dalam sejarah.
Holz mengingatkan bahwa dalam dekade terakhir, dunia telah mengalami periode yang sangat panas, dan meskipun ada peningkatan penggunaan energi terbarukan seperti angin dan matahari, langkah-langkah global untuk mengatasi perubahan iklim masih jauh dari cukup.
"Selama 10 tahun terakhir, dunia mengalami dekade terpanas dalam sejarah. Meskipun ada kemajuan dalam penggunaan energi angin dan surya, langkah-langkah global masih belum cukup untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim," jelas Holz.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa jika dunia gagal mengendalikan pemanasan global, bencana seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan naiknya permukaan air laut akan semakin sering terjadi, memperburuk ketidakstabilan global.
Ancaman Kecerdasan Buatan dalam Dunia Militer
Selain ancaman geopolitik dan krisis iklim, kecerdasan buatan (AI) juga menjadi perhatian besar.
Kemajuan pesat dalam teknologi AI, terutama dalam aplikasi militer, dapat meningkatkan risiko perang otomatis.
AI yang digunakan dalam sistem persenjataan dapat membuat keputusan serangan atau pertahanan tanpa intervensi manusia, yang berpotensi mengarah pada eskalasi konflik yang tidak terkendali.
Dengan hanya 89 detik tersisa sebelum tengah malam, para ilmuwan mendesak para pemimpin dunia untuk bertindak lebih tegas dalam menangani ancaman-ancaman ini.
"Mengatur Jam Kiamat pada 89 detik sebelum tengah malam adalah peringatan bagi seluruh pemimpin dunia," tegas Holz.
Meskipun peringatan ini telah disampaikan setiap tahun, dunia masih belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi risiko bencana nuklir, krisis iklim, maupun tantangan teknologi baru seperti AI.
Jika tidak ada langkah nyata yang segera diambil, dunia semakin mendekati titik kehancuran yang tidak dapat dibalikkan. (*).