Jangan Bercanda dengan Data Statistik!
redaksi - Senin, 13 Februari 2023 11:32SATU DEKADE terakhir, bangsa kita sepertinya makin menghargai data statistik. Jika dua dekade silam data statistik tingkat kabupaten ibarat ‘spesies binatang langka’, kini sudah menjadi seumpama ‘spesies binatang piaraan’ yang mudah ditemukan.
Entah apa yang melatarbelakangi ‘lompatan besar’ itu, saya sendiri belum menemukan alasannya. Saya pun percaya bahwa banyak di antara para pembaca juga belum, atau tak menemukan alasannya.
Omong-omong soal data statistik saya teringat pada pengalaman dua dekade silam. Pertengahan tahun 2000, saya menemui pegawai yang menangani data statistik di sebuah pemerintahan kabupaten. Waktu itu saya membutuhkan sejumlah data statistik penulisan tesis.
Sambil memperlihatkan papan statistik, pegawai itu berkata, “Maaf, semua ini adalah angka perkiraan. Soalnya, kami menghimpun data berdasarkan laporan dari kecamatan dan desa. Sejumlah kecamatan dan desa belum sempat menyampaikan laporan, karena itu kami perkirakan saja data mereka.”
Pengakuan ‘jujur’ itu membuat saya tertegun. Betapa tidak, data penduduk, data ekonomi, pertanian, pertanian dan perikanan, data ketenagakerjaan, data kesejahteraan dan kemiskinan, maupun data pendidikan dan kesehatan, yang terpampang pada papan statistik kantor daerah itu ternyata adalah angka tebakan.
Statistik ‘lahir’ 400 tahun silam
‘Bercanda’ dengan angka atau data statistik seperti itu sungguh tak selaras dengan visi dan misi para pelopor statisik yang berjuang keras menghimpun dan menganalisis data dengan metode yang benar guna menyajikan data yang akurat.
Kelahiran statistik diyakini bermula pada tahun 1662, ketika John Graunt, bersama dengan William Petty, mengembangkan metode statistik dan sensus demografi moderen perdana untuk menyediakan data angkatan kerja dan tabel data kematian.
Kemudian, pada tahun 1666, Graunt menghitung angka harapan hidup, lalu pada tahun 1693 Halley menyiapkan tabel yang secara statistik mengelompokkan angka kematian menurut usia.
Statistik Pemerintah
Kata ‘statistik’ sendiri berasal dari kata Latin ‘stare’; ‘status", artinya ‘berdiri, berdiri diam, berdiri teguh’. Dalam Bahasa Inggris ada kata ‘state’ berarti "negara" yang kemudian dimaknai pula sebagai "pemerintah."
Dalam perkembangannya, ilmu statistik mengenal istilah ‘statistik pemerintah’ . Hal itu menandakan bahwa sangat penting untuk manajemen pemerintahan yang demokratis dan kegiatan pemerintahaan yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.
Berkenaan dengan itu hadilah ‘badan statistik’ yang ditugaskan menghimpun dan menyediakan data dan informasi yang akurat, tepat waktu, dan kredibel yang digunakan untuk pembuatan kebijakan saat ini dan penyusunan program masa depan.
Rasa hormat dan kepercayaan kepada penyedia data statistik dipupuk dengan menjaga kerahasiaan informasi yang disajikan pegawai badan statistik.
Dalam praktiknya, data statistik pemerintah dikumpulkankan melalui sensus dan survei dan dari catatan administrasi dan sumber-sumber lainnya. Selanjutnya, data tersebut dipublikasikan secara berkala, baik triwulanan, semesteran, dan tahunan.
Belakangan pemerintah di tingkat kabupaten/kota menerbitkan data statitik dalam bentuk buku online yang diberi judul: “Kabupaten (nama) dalam Angka Tahun …”
Saat ini, badan statistik ditantang untuk mengikuti perubahan teknologi dan sumber data baru di dunia yang berubah dengan cepat akibat dinamika ekonomi global dan pemanfaatan teknologi digital dan pendayagunaan kecerdasan artifisial.
M. Straf, dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (2001) mendefenisikan 'Statistik Pemerintah' sebagai informasi faktual yang dilaporkan untuk tujuan statistik oleh unit pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Sine qua non dari definisi statistik pemerintah adalah bahwa data atau informasi dilaporkan hanya untuk tujuan statistik. 'Tujuan statistik meliputi deskripsi, evaluasi, analisis, inferensi, dan penelitian.
Untuk tujuan ini, badan statistik dapat mengumpulkan data dari individu, lembaga, atau organisasi lain secara langsung, atau secara tak langsung berdasarkan catatan administratif, atau hasil studi yang dibuat oleh pihak independen.
Badan statistik kemudian menyajikan data untuk menggambarkan dan menganalisis pola statistik, tren, dan hubungan yang melibatkan kelompok orang atau unit-unit dalam sebuah wilayah pemerintahan (Martin et al. 2001).
Statistik dan Adminstrator Publik
Data atau informasi statistik dapat pula disebut sebagai ‘bahasa statitik’. Sebagai sebuah ‘bahasa’ , statistik wajib dipakai secara baik dan efektif oleh para administrator (pelayan) publik, tak terkecuali di tingkat kabupaten/kota.
Itu berarti, seorang pegawai publik di daerah, baik itu unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) tingkat Kabupaten terdiri, yaitu Kepala Daerah (Bupati), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Ketua DPRD), Kepolisian Resort (Kapolres), Komando Distrik Militer (Dandim), Pengadilan Agama (Ketua Pengadilan Agama), Pengadilan Negeri (Ketua Pengadilan Negeri), Kejaksaan Negeri (Kepala Kejaksaan Negeri), dan Komando Resort Militer (Danrem), maupun kepala dinas, kepala bagian, kepala camat, maupun kepala kelurahaan/desa, harus selalu meluangkan waktu untuk membaca, menterjemahkan dan mengkomunikasikan data atau angka statistik secara mudah dipahami kepada para rekan kerjanya dan kepada warga masyarakat (rakyat).
Mengapa demikian? Sebab, pada hakekatnya data statistik pemerintah sangat bermanfaat bagi proses pembangunan di suatu negara, provinsi, tak terkecuali di kabupaten/kota, bahkan di kecamatan hingga kelurahan/desa.
Data statistik pemerintah memberi suatu gambaran mengenai kondisi geografi dan iklim; pemerintahan; penduduk dan ketenagakerjaan; kondisi sosial dan kesejahteraan rakyat; profil dan kinerja sektor pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan; profil dan kinerja industri, pertambangan dan energi, dan ekonomi kratif dan pariwisata; bidang transportasi dan komunikasi; perbankan, koperasi, perdagangan dan harga-harga; pengeluaran penduduk; sistem neraca regional; dan perbandingan data ekonomi-perdagangan antar Kabupaten/Kota.
Data statistik yang lengkap, mutakhir dan akurat sangat berguna sebagai dasar pengambilan keputusan/kebijakan, penyusunan program pembangunan, pemantauan dan evaluasi hasil pembangunan.
Agar menjadi admistrator atau pelayan publik yang baik dan berhasil, para administrator publik harus memiliki pemahaman dan apresiasi minimal terhadap teori dasar statistik.
Ini penting agar mereka mampu membaca dan memanfaatkan data statistik pemerintah untuk menganalisis situasi (masalah dan kebutuhan) sosial-ekonomi warga masyarakat di wilayah pemerintahannya.
Setiap pelayan publik juga mesti memanfaatkan data statistik untuk mendesain program pembangunan, dan merancang kebijakan demi mendukung pelaksanaan pembangunan di daerahnya.
Setiap pelayan publik wajib mengakrabi data statistik supaya dapat berkomunikasi secara efektif dan bernegosiasi dengan para calon investor yang berminat untuk berinvestasi di daerah yang dipimpinannya.
Terakhir, para pelayan publik wajib fasih memberikan informasi statistik yang benar kepada rakyat, supaya rakyat semakin termotivasi berpartisipasi dalam program pembangunan yang telah dicanangkan.
Data statisitk bisa menyesatkan
Sebenarnya, statistik adalah sebuah disilplin ilmu yang sudah teruji kebenarannya. Namun statistik terkenal karena berpotensi menyajikan data yang buruk (palsu) dan menyesatkan.
Lalu, apa itu statistik yang menyesatkan?
Statistik yang menyesatkan mengacu pada penyalahgunaan data numerik baik secara sengaja atau karena kesalahan. Data yang menyesatkan eksis karena proses penghimpunan data yang ugal-ugalan.
Hasilnya adalah data yang memberikan informasi yang menipu, yang menciptakan narasi palsu seputar suatu topik.
Data statistik yang menyesatkan sering terjadi dalam iklan, berita media, partai politik dan pemerintah.
Apabila pimpinan daerah misalnya, mendasarkan kebijakan dan penyusunan program pembangunan pada angka statistik yang tidak akurat, maka sudah pasti program pembangunan tak akan tepat sasar.
Indikasinya mudah dibaca. Pembangunan ibarat sebuah aktivitas ‘berjalan di tempat’, tidak maju, bahkan tidak jarang bergerak mundur.
Meskipun angka sendiri tidak berbohong, angka statistik dapat direkayasa, sehingga menjadi data dengan setengah kebenaran, bahkan palsu.
Menggunakan data hasil rekayasa dikenal sebagai "penyalahgunaan statistik".
Penyalahgunaan statistik sering diasumsikan hanya dilakukan oleh individu atau pun perusahaan dan organisasi yang mencari keuntungan. Namun, pada kenyataannya hal itu juga dilakukan oleh pemerintah dan pelayan publik yang koruptif.
Untuk kepentingan pribadi, atau pun golongan, mereka cenderung memutarbalikkan dan memanipulasi data, baik itu data ekonomi (jumlah tenaga kerja, jumlah lapangan kerja, angka pengagguran, angka pendapatan per kapita, angka kemiskinan); data sosial-kesejahteraan (pendidikan).
Tujuannya, boleh jadi untuk pencitraan: menimbulkan kesan sukses dalam upaya pembangunan. Atau, untuk meraup kucuran dana ‘berlebih’ dari pusat, yang kemudian di’sunat’ dengan berbagai siasat.
Contoh data statistik yang menyesatkan, bisa ditemukan pada data Agama dan Sosial dalam buku ‘Kabupaten Nagekeo dalam Angka 2021’, Tabel 4.3.1 halaman 112 dan Tabel 4.3.2 halaman 113.
Tabel 4.3.2 memperlihatkan jumlah tempat ibadat umat Islam di Nagekeo mencapai 50 buah, terdiri 31 masjid dan 19 mushola, sedangkan jumlah gereja atau tempat ibadat umat Katolik adalah 17 buah. Sementara itu, Tabel 4.3.1 memperlihatkan bahwa penduduk beragama Islam di Nagekeo berjumlah 14.928 orang, sedangkan yang beragama Katolik 141.996 orang.
Data statistik itu ‘menyesatkan’ karena, pertama, mengacu pada defenisi dan kriteria serta fungsi tempat ibadat yang tak persis sama.
Sebagaimana diketahui, bagi orang Katolik, fungsi gereja meliputi fungsi liturgia, fungsi pewartaan (kerygma), fungsi pelayanan (diakonia), fungsi persekutuan (koinonia) dan fungsi kesaksian (martiria).
Menurut Alkitab, tujuan bangunan gereja adalah sebagai tempat berkumpul dan bersekutu para orang percaya; tempat untuk memberikan pengajaran yang sesuai dengan ajaran Yesus melalui Alkitab; tempat melakukan Perayaan Ekaristi; dan tempat orang percaya berdoa dan menjalankan ibadah.
Sementara itu, bagi umat Islam, selain sebagai tempat doa, mushola atau masjid adalah juga tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat; tempat kaum muslimin untuk berkonsultasi, mengajikan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan; dan tempat membina keutuhan ikatan jemaah dan kegotong-royongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama (Bdk.Ramlan Marjoned, Manajemen Masjid (1995)).
Anehnya, data statistik itu tak memberi keterangan atau alasan apa pun, mengapa tempat ibadat umat Islam meliputi mushola dan masjid dengan rincian yang jelas.
Anehnya lagi, tak ada penjelasan pula mengapa yang disebut tempat ibadat bagi umat Katolik di Nagekeo hanya gereja, tidak termasuk kapela. Padahal, baik gereja maupun kapela di Nagekeo memiliki fungsi dan tujuan yang sama, sebagaimana dijelaskan di atas.
Kedua, data statistik tersebut memberi gambaran mengenai kapasitas tempat ibadat yang sangat tidak seimbang. Data itu seakan memberi tahu pembaca bahwa di Nagekeo semuat mushola/masjid umat Islam mampu menampung rata- rata-rata 299 orang, sedangkan gereja Katolik mampu memuat 8.353 orang.
Ketiga, jika diasumsikan setiap tempat ibadat dibangun secara swadaya, maka data statitisk tersebut dapat diartikan bahwa umat Islam memiliki kekuatan ekonomi yang jauh lebih dahsyat daripada umat Katolik.
Pasalnya, 299 umat Islam dapat membangun sebuah masjid/mushola, tetapi 8.353 umat Katolik hanya dapat membangun sebuah gereja.
Informasi tersebut tentu dapat menyesatkan karena memberi kesan seakan-akan rata-rata umat Islam Nagekeo memiliki kemampuan ekonomi jauh lebih tinggi dibandingkan sesama saudaranya yang bergama Katolik.
Padahal, menurut data statistik pula, pengeluaran perkapita warga Nagekeo –tanpa membedakan agama yang dianutinya – rata-rata sebesar Rp 8.309.000. Itu berarti warga Nagekeo, baik yang Muslim mampun yang Katolik memiliki ‘kekuatan ekonomi’ yang setara.
Data statitik seperti itu bisa pula bias apabila pembangunan tempat ibadat kemudian memerlukan bantuan dana pemerintah, atau kementerian terkait.
Dalam konteks demikian, pertanyaan yang muncul adalah tempat ibadat dari umat beragama manakah yang perlu mendapat bantuan dana lebih banyak?
Secara akal sehat, tentu saja yang perlu diberi prioritas untuk mendapat kucuran dana lebih besar adalah kelompok yang memiliki jumlah tempat ibadat lebih banyak. Jika yang terjadi demikian, maka kebijakan pemerintah bisa dikatakan ‘tergelincir,’ karena mengucurkan dana karena alasan angka, bukan karena kebutuhan nyata warganya.
Terkait ini, data statistik tentang 'tempat ibadat' bisa bikin masalah. Sebab sejauh ini tak ada aturan yang membatasi penggunaan APBN/APBD untuk tempat ibadah. Artinya, setiap provinsi atau kabupaten/kota punya kewenangan sendiri dalam mengalokasikan dana APBD untuk ikut mendanai pembangunan tempat ibadat.
Makanya tak mengherankan kalau belakangan ini sejumlah kepala daerah jadi sorotan publik lantaran tergoda menggunakannya sesuai kepentingan politiknya.
Keterbukaan informasi dan percepatan pembangunan
Yang perlu disadari umum adalah bahwa keandalan data statistik sangat penting untuk memastikan keterbukaan informasi publik dan mendorong percepatan pembangunan.
Misalnya, data mengenai pemerintahan kabupaten yang meliputi: data mengenai wilayah administrasi kecamatan, jumlah anggota DPRD meurut dapil dan partai politik, jumal SDM (Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)), data mengenai keuangan pemerintah (realisasi pendapatan daerah dan realisasi anggaran belanja, jumlah lembaga dan keuangan desa dan kondisi keuangan desa), sangat penting agar rakyat memahami kondisi dan kompetensi SDM pemerintahan, dan mengetahui seberapa besar kekuatan keuangan pemerintah.
Data tentang jumlah dan pesebaran penduduk di kabupaten perlu untuk membuat kebijakan tentang pembentukan kecamatan, desa/kelurahan, RT/RW dan kebijakan terkait alokasi dana desa dan lain-lain.
Data itu juga penting untuk penyusunan rencana pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi, infrastruktur dan fasilitas kesehatan, serta infrastruktur dan fasilitas pendidikan.
Data perihal penduduk yang meliputi data laju pertumbuhan penduduk, distribusi persentase penduduk, lkepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk, diperlukan untuk membuat peta pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Sedangkan data statisik ketenagakerjaan dibutuhkan untuk perencanaan pembukaan lapangan kerja demi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan per kapita.
Data sosial dan kesejateraan meliputi data profil kemiskinan; data pendidikan; dan kesehatan dibutuhkan untuk merencanakan program pembangunan di bidang sosial-budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan sosial.
Konkritnya, data tersebut penting untuk menyusun strategi pengentasan kemiskinan; program peningkatan kualitas infrastruktur, fasilitas pendidikan, dan penyebaran tenaga pendidik dan kependidikan; dan program peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas kesehatan dan, penyediaan tenaga kesehatan.
Data agama dan sosial meliputi jumlah penduduk menurut agama; dan jumlah tempat peribadatan . Data tersebut sangat bermanfaat untuk merancang program pembangunan tempat ibadat, dan program pelayanan rohani warga masyarakat, secara tepat sasar.
Data kemiskinan yang meliputi data mengenai garis kemiskinan dan jumlah serta persentase penduduk miskin sangat dibutuhkan untuk merancang program pengentasan kemiskinan dengan sasaran yang jelas, dan target yang terukur. Dengan demikian, angka kemiskinan dapat bergerak melandai, bukannya sebaliknya berfluktuasi bak grafik perdagangan saham di lantai bursa efek.
Data statistik sektor pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan penting untuk menyusun program pembangunan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sehingga terus bertumbuh secara berkelanjutan.
Demikian pula, data statistik mengenai pariwisata. Data tersebut sangat diperlukan untuk menyusun program pengembangan industri pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis komunitas dan berkelanjutan, tidak bergantung pada sepenuhnya pada arus masuk wisatawan manca negara.
Jadi, menilik pentingya data statistik sebagaimana digambarkan di atas, maka sepatutnya, data statistik mesti dihimpun, dipresentasikan dan dimanfaatkan secara baik dan benar.
Setiap pihak yang berkepentingan dengan data statitik, tak boleh ‘bercanda’, apalagi merekayasa dan memanipulasinya untuk kepentingan apa pun jua. ***