Jangan Cekik Demokrasi!

redaksi - Kamis, 05 Desember 2024 15:13
Jangan Cekik Demokrasi!Ilustrasi: Mencekik demokrasi (sumber: Pngtree)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

DALAM  beberapa tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia mengalami tren menurun. 
Fenemona ini jangan dianggap sepele. Meski telah sukses melaksanakan Pilkada Serentak, Rabu, 27 November lalu, melemahnya indeks demokrasi mengisyaratkan  demokrasi kita sedang mengidap ‘virus berbahaya’ yang dapat mengganggu kinerja para pemimpin terpilih.

Megutip Laporan “Democracy Index 2023: Age of Conflict” yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), GreenNetwork edisi 24 Agustus 2024 memberitkab bahwa  indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). 

Menurut EIU, Indeks Demokrasi  meliputi lima dimensi, yakni proses pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. 

Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori ‘cacat’ (flawed democracy).
Kondisi yang sama diperlihatkan oleh Freedom House, dimana  nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024. 

Lembaga yang berbasis di AS tersebut mencatat bahwa Indonesia menderita ‘cacat demokrasi’ karena  sejumlah isu kunci, salah satunya terkait politik dinasti yang dilancarkan dengan berbagai “siasat” untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024.

Selanjutnya pada Agustus 2024, DPR RI berupaya menganulir putusan MK yang memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD dan menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam UU Pilkada, dengan cara merevisi UU Pilkada. 

Bukan hanya itu. Freedom House pun menggarisbawahi kegagalan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melindungi kelompok penganut agama/kepercayaan minoritas, mengekang kebebasan berpendapat para akademisi, dan  kriminalisasi terhadap aktivis dan penangkapan para demonstran yang mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah.

Demokrasi cacat, apa maksudnya?

Konsep ‘demokrasi cacat’  diusulkan oleh ilmuwan politik Wolfgang Merkel, Hans-Jürgen Puhle dan Aurel S. Croissant pada awal abad ke-21 untuk memperjelas pemaahaman tentang perbedaan mendasar antara sistem politik totaliter, otoriter, dan demokratis.

Demokrasi yang cacat adalah  penyelenggaraan demokrasi, terutama ‘pesta demokrasi’ seperti   Pilpres/Pileg di tingkat nasional,  atau pun Pilkada di tingkat provinsi, kabupaten/kota dimana,  yang sekilas tampaknya memenuhi  semua asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, (Luber Jurdil), tapi apabila ditelisik lebih dalam keadaan tidak benar-benar Luber dan Jurdil.

Berdasarkan penelitiannya  tentang praktik berdemokrasi di berbagai negara di dunia, pakar politik dari Universitas Chicago AS, John McCormick, menyebut enam ciri ‘demokrasi cacat’.

Namun dari keenam ciri itu dia menandaskan ada satu ciri yang paling kuat dan berpengaruh sangat buruk, sehingga demokrasi bukan saja ‘cacat’ tetapi menjadi ‘sekarat’.

McCormick mengatakan ‘virus paling berbahaya’ bagi demokrasi adalah polarisasi politik dan perpecahan sosial yang muncul karena dikendalikan oleh invisible hand (tangan yang tak tampak),  milik ‘orang kuat yang berada di belakang layar atau berada di bawah tanah’.

Menurut dia, biasanya ‘pemain di belakang layar’  mengendalikan warga pemilih di sebuah negara atau daerah dengan suntikan ‘energi’ yang lembut dan manis, -entah lewat narasi kesamaan SARA, janji-janji manis, tak jarang dengan memberikan materi/uang, sehingga   rakyat terlena lalu bertransformasi secara tanpa disadari.

Mereka bertransformasi atau  beralih  dari ‘pribadi yang  membuat keputusan dan memilih kandidat berdasarkan suara hati sendiri’ menjadi ‘pribadi yang memilih karena bisikan mulut’ orang lain.
  
Pada tahap tertentu, ungkap McCornmick, pribadi-pribadi yang bertransformasi itu, tidak bisa mengendalikan diri lagi. Mereka  lalu menjadi ‘voters’ yang nekat untuk melakukan apa saja sesuai pesan ‘pemain di belakang layar’. Mereka tiba-tiba memiliki alasasan dan berani melakukan persekusi pada paslon tertentu, atau menfitnah, menyebarkan narasi kebencian dan hoaks melalui media sosial.

Kalau kita mau jujur, isu yang diangkat McCormink,  terjadi di Indonesia, terutama pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilrpres 2019, dan Pilpres 2024.

Pilkada 2024 Nagekeo

Apakah keglisahan McCormink terjadi dalam Pilkada Serentak 2024?

Sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa secara umum Pilkada 2024 jauh lebih ‘baik’ dari beberapa pemilu sebelumnya. Paling tidak, di DKI Jakarta isu ‘politik identitas’ yang marak pada tahun 2017 tidak  kedengaran pada Pilkada 2024 ini.

Kalau begitu, apakah Pilkada 2024 menjadi titik balik ‘kebangkitan berdemokrasi’ di Indonesia?  Entahlah!

Apakah ‘kebangkitan berdemokrasi’ juga terjadi di Kabupaten Nagekeo? Nah, ini yang perlu direnungkan oleh semua warga Nagekeo sendiri.

Pada satu sisi, warga Nagekeo bersyukur, Pilkada 2024 telah menghasilkan figur pemimpin baru. Ketiga paslon dan para pendukung yang ‘gagal’ mesti juga bersyukur, karena sudah ikut dalam kontestasi, Paket Idola tampil sebagai pemenangnya.

Namun, menyimak berbagai diskusi dan informasi yang beredar di berbagai platform media sosial seperti  WAG dan Facebook, -sejak masa persiapan, masa kampanye, masa tenang, bahkan hingga pasca pemilu, -  kita perlu merenung dan bertanya diri begini.

‘Mengapa warga Nagekeo yang dikenal ramah dan sopan, tetapi terkait Pilkada 2024, tiba-tiba mudah tersulut menjadi berani dan lepas kendali  untuk memaki sesama warga yang lebih tua?

Mengapa selama musim Pilkada 2024 warga Nagekeo begitu gemar mencemooh dan menyebarkan informasi tanpa fakta dan data (hoaks)?

Apakah  ‘kemarahan’, dendam dan kebencian, hoaks  sera ujaran konyol  itu lahir dari hati sanubari sendiri, atau  justru ‘digerakkan’  oleh ‘tangan yang tampak’?

 ‘Ilusi konyol’ tentang pemimpin terpilih

Salah satu contoh ‘hoaks’  terkait Pilkada muncul di media sosial hari ini. 

Berita Floresku.com yang mengangkat prestasi nyata Dinas P dan Nagekeo’ dianggap sebagai ‘tipu’  dan  upaya ‘mengamankan’ posisi Kadis P dan K, Venantius Minggu?

Tak bisa dinyana, ‘komentar konyol dan busuk’ seperti itu  lahir dari ‘hati dan otak yang’ juga busuk, Biasanya, sikap  tak bersedia mengakui hasil kerja dan prestasi orang lain, lahir dari pribadi yang tak bisa bekerja apalagi berprestasi.

Karena dipaparkan melalui media sosial, kita tentu saja berharap, bahwa ‘cara berpikir kedaluwarsa’ yang dipertontonkan  di Facebook hari ini  tidak merambat ke publik,  dan mengotori ‘mindset’  para generasi muda Nagekeo.

Sebab dari  ‘komomentar: ‘kalau mendukung satu pihak harus siganti’  tampak jelas ‘mindset’  si pemilik akun tentang Pilkada. Dari situ terungkap pula  ‘ilusimu’ tentang peran dan kebijakan yang akan pemimpin Nagekeo terpilih. 

Si pemilik akun membayangkan bahwa Bupati dan Wakil Bupati  periode 2024-2029 akan merangkul dan melayani para pendukung dan pemilih mereka, dan ‘menendang’ semua mereka yang berada di pihak lain selama Pilkada 2024.

Dengan cara begitu, Anda ‘bermimpi’ bahkan ingin medikte Bupati/Wakit Bupati terpilih (yang mungkin Anda pilih)  untuk membuat kebijakan secara like and dislike? 

Bukankah, sebagian dari kita selalu mempergunjingkan kebijakan yang diduga  ‘like and dislike’ dari pemimpin Nagekeo periode yang lalu? Apakah hal itu yang diharapkan akan dilakukan oleh pemimpin terpilih untuk lima tahun ke depan?

 Ini jelas, cara berpikir merendahkan martabat pemimpin terpilih dan seluruh warga Nagekeo.

Nah, dari fenomenas seperti ini,  kita perlu  menyimak sorotan MicCormink  selanjutnya tentang ‘demokrasi cacat’.

Menurut dia, ciri kedua yang  membuat demokrasi lekas menjadi ‘cacat’ adalah ‘upaya sekelompok warga untuk  mengendalikan pemerintah supaya tidak belaku  adil, transparan dan akuntabel.’

Bagi MicCormink, ketika warga (terutama para pendukung pemimpin terpilih) melalui berbagai cara, entah lewat mekanisme politik resmi (partai politik dan anggota dewan), atau melalui cara-cara informal seperti lobi-lobi, termasuk melalui hembusan  isu di media sosial, memengaruhi pejabat terpilih untuk berlaku tidak adil, tidak transparan dan tidak akuntabel, maka sesungguhnya mereka sedang mencekik ‘demokrasi yang sudah lemah lunglai’ menjadi ‘sekarat’.

Mudah-mudahan, semua warga Nagekeo menahan diri untuk tidak melakukan hal keji itu.***

*Penulis adalah pemimpin redaksi Floresku.com.

RELATED NEWS