KOMENTAR: Mari Hayati Kemerdekaan dan Kebebasan Secara Layak

redaksi - Kamis, 17 Agustus 2023 10:14
KOMENTAR: Mari Hayati Kemerdekaan dan Kebebasan Secara LayakUpacara Bendera pada HUT Kemerdekaan RI ke-78 di Halaman Istana Negara (sumber: Istimewa)

Oleh: Maxi Ali* 

HARI INI, Kamis, 17 Agustus 2023, kita merayakanan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-78. Pada hari istimewa ini, barangkali baik, kita meluangkan waktu untuk merenungkan makna ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ yang menjiwai dan melingkupi kehidupan kita, baik sebagai invidu maupun sebagai bangsa.

Kita memang sangat sering berbicara  tentang kemerdekaan dan kebebasan. Namun kita menggunakan kedua kata tanpa banyak berpikir. 

Tak jarang kita menganggap kedua istilah itu mengandung makna atau pesan yang kurang lebih sama,  saling berhubungan bahkan beririsan.

Dari pengalaman berbahasa, kita membedakan kedua istilah itu pada dua aspek. Pertama, soal ‘rasa bahasa’. 

Kita merasa lebih ‘enak’ memakai kata ‘merdeka dan kemerdekaan’  di seputaran tanggal 17 Agusutus seperti hari-hari ini. 

Sebaliknya, kita merasa lebih cocok memakai kata ‘bebas, kebebasan’ di luar momen 17 Agustus.

Kedua, soal konteks. Istilah ‘merdeka, kemerdekaan’ digunakan dalam konteks perjuangan. Makanya, hati kita akan berkobar-kobar ketika memekik atau mendengar pekikan ‘merdeka’.

Kita akan merasa  janggal apabila dalam konteks perjuangan, ada yang memekik ‘bebas, kebebasan.’ 

Istilah terakhir ini lebih lazim dipakai dalam konteks wacana atau diskusi ilmiah. Akan terasa janggal pula apabila dalam sebuah forum ilmiah -di luar masa 17 Agustus- ada yang mengangkat tema ‘merdeka, kemerdekaan’.

Jadi, secara alam bawa sadar, kita sesungguhnya mengetahui adanya perbedaan ‘makna dan pesan’ dari kedua istilah tersebut.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengangkat ‘pemahaman’ tersebut, dari alam bawa sadar ke alam kesadaran.

Mengapa? Sebab, dengan memahami perbedaan antara kedua konsep itu dengan kesadaran penuh, kita terbantu untuk lebih awas diri untuk tidak  berperilaku liar dan tidak berbicara seenak ‘rasa lidah’ sendiri. 

Dengan kata lain, memahami perbedaan makna dari kedua istilah itu dapat membantu kita untuk bertutur kata santun, bersikap sopan,  dan berperilaku wajar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara  mengacu pada landasan filosofis dan ideologis yang benar, dan panduan etis dan moral  yang baik. 

Pengertian

Sekadar mengingat kembali, secara etimologis, kata ‘merdeka’ berasal dari  kata bahasa Sanskerta: महर्द्धिक maharddhika yang berarti ‘kaya, sejahtera dan kuat’;  bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘merdeka’ mengandung tiga pengertian. Pertama, merdeka berarti ‘bebas dari belenggu, penjajahan, dan sebagainya’.

Kedua adalah tidak terkena, atau lepas dari berbagai tuntutan. Sedangkan arti ketiga dari merdeka adalah tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu, dan leluasa

Dalam dunia politik, kemerdekaan sering dimaknai sebagai ‘keadaan bebas dari kontrol atau pembatasan berupa penindasan yang diberlakukan oleh otoritas pada berbagai aspek kehidupan.’ 

Singkat kata, kemerdekaan  menekankan hak individual, kelompok sosial atau bangsa  untuk membuat pilihan sendiri tanpa campur tangan dari orang atau pun  bangsa lain.

Di Amerika Serikat gagasan ‘kemerdekaan’ diabadikan dalam Bill of Rights dan Amandemen ke-13, ke-14, dan ke-15 Konstitusi. Kedua dokumen tersebut menjamin civil liberty (kebebasan sipil) atau ‘civil rights’ (hak-hak sipil). Civil liberty meliputi lima kebebasan atau hak  yaitu hak atas peradilan yang adil, kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan protes, dan kebebasan pers. Di AS, kebebasan sipil dijamin oleh 

Gagasan civil liberty (kebebasan sipil) juga diadopsi oleh para bapa bangsa Indonesia ketika memprolamirkan kemerdekaan dan menyusun UUD 1945. 

Di Indonesia kebebasa sipil dijamin oleh UU D1945 Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Hak untuk hidup; Pasal 28D ayat 1, 3, 4 tentang Hak di hadapan hukum, memerintah dan kewarganegaraan;  Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) Hak Kebebasan beragama; Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 28E ayat (3) Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; Pasal 28F Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; Pasal 28G ayat (1) Hak atas rasa aman dan bebas dari ancaman; Pasal 28G ayat (2) dan 28I ayat (1) Hak Bebas dari penyiksaan; Pasal 28G ayat (2) Hak memperoleh suaka politik; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk tidak diperbudak; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; dan Pasal 28I ayat (2) Hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif.

Di sisi lain, KBBI menyebutkan istilah ‘kebebasan’ mengandung empat pengertian berikut. 

Pertama, lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.

Kedua,  lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya). Ketiga,  tidak dikenakan sanksi,  hukuman, dan sebagainya; dan keempat,  tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya

Jadi, ‘bebas, kebebasan’ mengacu pada keadaan, dan  kemampuan individual dan suatu kelompok sosial atau bangsa untuk bertindak atau berpikir seperti yang diinginkan tanpa dihalangi oleh kekuatan luar.

Peberdaan makna dan ‘rasa berbahasa’ antara kata ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ terasa makin nyata ketika kedua kata tersebut dialihkan ke bahasa Inggris. Kata ‘kemerdekaan’ diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan kata ‘independence’, sedangkan ‘kebebasan’ diterjemahkan menjadi ‘freedom’ atau ‘liberty’.

Independence (kemerdekaan) dimaknai sebagai suatu kondisi bangsa, negara, atau negara bagian, di mana penduduk dan penduduk, atau sebagian darinya, menjalankan pemerintahan sendiri, dan biasanya berdaulat, atas wilayahnya. Kebalikan dari kemerdekaan adalah status wilayah yang bergantung. Peringatan hari kemerdekaan suatu negara atau bangsa merayakan saat suatu negara terbebas dari segala bentuk penjajahan asing; bebas membangun negara atau bangsa tanpa ada campur tangan dari bangsa lain.

Sementara itu istilah ‘freedom’ (kebebasan) berasal dari bahasa Inggris abad pertengahan fredom, fredoom, dari bahasa Inggris Kuno frēodōm ("kebebasan, keadaan kehendak bebas, piagam, emansipasi, pelepasan"), dari Proto-West Germanic *frijadōm ("kebebasan"). Setara dengan free + -dom. Serumpun dengan kata bahasa Frisia Utara Fridoem ("kebebasan"), kata bahasa Belanda vrijdom ("kebebasan"), kata Bahasa Jerman Rendah frīdom ("kebebasan"), Jerman Tengah Tinggi vrītuom ("kebebasan"), kata bahasa Norwegia fridom ("kebebasan").

Sementara itu scara etimologis ‘liberty’ (kebebasan) berasal dari Bahasa Inggris abad pertengahan ‘liberte’, dari Bahasa Prancis tua liberté, yang berakar dari Bahasa Latin libertas (“kebebasan”), dengan kata dasar ‘liber’ (bebas; buku -sumber ilmu pengetahuan yang melepaskan seseoran dari belenggu kebodohan).

Liberty (kebebasan) didefinisikan oleh kamus Oxford sebagai "Keadaan bebas dalam masyarakat dari pembatasan yang menindas yang dipaksakan oleh otoritas pada cara hidup, perilaku, atau pandangan politik seseorang.", sedangkan fredoom (kekebasan) didefinisikan sebagai "Kekuasaan atau hak untuk bertindak, berbicara , atau berpikir seperti yang diinginkan.

John Stuart Mill dan ‘Kebebasa’

Pada 1859, filsuf Inggris, John Stuart Mill (1806-1873) menerbitkan sebuah esai berjudul ‘On Liberty’ (Tentang Kebebasan).  

Melalui esai tersebut Mill menyatakan keyakinannya bahwa "pertarungan antara Kebebasan dan Otoritas adalah fitur yang paling mencolok dalam perlanan sejarah umat manusia." 

Baginya, kemerdekaan di zaman kuno adalah "kontes ... antara subjek, atau beberapa kelas subjek, dan pemerintah." Mill mendefinisikan kemerdekaan atau kebebasan sosial sebagai perlindungan dari "tirani penguasa politik".

John Stuart Mill membuka esainya dengan membahas sejarah "perjuangan antara otoritas dan kebebasan".

Menurut dia tirani pemerintah,  perlu dikendalikan oleh kebebasan warga negara. Dia membagi kontrol otoritas ini menjadi dua mekanisme: hak-hak yang diperlukan milik warga negara, dan "pembentukan pemeriksaan konstitusional yang dengannya persetujuan masyarakat, atau badan semacam itu, yang dianggap mewakili kepentingannya.

Karena masyarakat—pada tahap awal—mengalami kondisi yang bergejolak seperti itu (yaitu populasi kecil dan perang terus-menerus), ia dipaksa untuk menerima pemerintahan "oleh seorang tuan. " Namun, seiring kemajuan umat manusia, menjadi mungkin bagi orang-orang untuk memerintah diri mereka sendiri.

Mill mengakui bahwa bentuk baru masyarakat ini tampaknya kebal terhadap tirani karena "tidak ada ketakutan akan tirani atas diri sendiri." 

Terlepas dari harapan tinggi akan Pencerahan, Mill berpendapat bahwa cita-cita demokrasi tidak semudah yang diharapkan. 

Pertama, bahkan dalam demokrasi, penguasa tidak selalu orang yang sama dengan yang diperintah.

Kedua, ada risiko "tirani mayoritas" di mana banyak yang menindas segelintir orang, yang menurut cita-cita demokrasi, memiliki hak yang sama untuk mengejar tujuan sah mereka.

Dalam pandangan Mill, tirani mayoritas lebih buruk daripada tirani pemerintah karena tidak terbatas pada fungsi politik. Di mana seseorang dapat dilindungi dari seorang tiran, jauh lebih sulit untuk dilindungi "terhadap tirani pendapat dan perasaan yang berlaku." 

Mill juga dengan tegas menolak gagasan bahwa pemerintah yang sah terbatas pada fungsi memberikan perlindungan terhadap kekerasan dan penipuan. 

Sebaliknya, dia berpendapat bahwa ada berbagai cara di mana pemerintah dapat dan harus mengintervensi kehidupan warga negara—terkadang sebagai pemaksa dan di lain waktu sebagai pendukung atau fasilitator—untuk mempromosikan kebaikan bersama

Sebagai kesimpulan dari analisisnyai, Mill mengusulkan standar tunggal yang membatasi kebebasan seseorang: “Bahwa satu-satunya tujuan kekuasaan dapat dilakukan secara sah atas setiap anggota masyarakat yang beradab, bertentangan dengan keinginannya, adalah untuk mencegah kerugian terhadap orang lain. Kebaikannya sendiri, baik fisik maupun moral, bukanlah jaminan yang memadai.... Atas dirinya sendiri, atas tubuh dan pikirannya, individu berdaulat.”

John Locke dan ‘Kebebasan’

Salah satu filsuf yang menaruh perhatian khusus pada konsep ‘kebebasan’ adalah John Locke (1632-1704).

Pandangan John Locke tentang sifat kebebasan bertindak dan kebebasan berkehendak telah memainkan peran yang berpengaruh dalam filsafat tindakan dan psikologi moral.

Ketika berbicara perihal ‘kebebasan’ John Locke menawarkan catatan khusus tentang tindakan dan kesabaran, keinginan dan kemauan, tindakan dan kesabaran yang sukarela (sebagai lawan dari yang tidak disengaja), dan tentang kebebasan (sebagai lawan dari kebutuhan).

Posisi Locke atas kebebasan membuatnya mengabaikan pertanyaan tradisional mengenai kehendak bebas sebagai  sesuatu yang absurd,. Namun, posisinya itu juga menimbulkan pertanyaan baru, seperti:  apakah kita (atau dapat) bebas dalam hal keinginan;  dan apakah kita bebas untuk menginginkan apa yang kita inginkan?

Locke juga membahas pertanyaan (yang banyak disalahpahami) tentang apa yang menentukan ‘kehendak’. Perihal ini dia pernah memberikan satu jawaban  tetapi kemudian berubah pikiran setelah mempertimbangkan beberapa kritik konstruktif yang diajukan oleh temannya, William Molyneux. 

Atas saran Myneux, Locke memperkenalkan doktrin baru (mengenai kemampuan untuk menangguhkan pemenuhan keinginan seseorang) yang telah menimbulkan banyak kekhawatiran di antara para penafsirnya, karena dianggap dapat mengancam ketidakkoherensian. 

Kekuatitan ini sering dikaitkan dengan gagasan penentuan nasib sendiri dan pengejaran kebahagiaan. Pasalnya, kebebasan dipahami sebagai konsep yang lebih umum yang dapat diterapkan pada berbagai kegiatan, mulai dari kebebasan ekonomi hingga kebebasan pribadi.

Perubahan pandangan tersebut membuat banyak filsuf  mengaitkan Locke dengan ‘kompatibilisme’ yaitu pandangan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakan dua gagasan yang tidak saling bertentangan. Kompatibilisme meyakini bahwa ‘kehendak bebas’ dan ‘keterbatasan’ hadir pada waktu yang bersamaan, bukan merupakan sebuah ketidakkonsistenan logika. 

Jadi, kompatibilisme adalah tesis bahwa kehendak bebas sesuai dengan keterbatasan kausal. Sebaliknya, ‘inkompatibilisme’ adalah tesis bahwa kehendak bebas tidak sesuai dengan keterbatasan kausal.

Seorang kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan menentukan apakah seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas  tanpa membawa isu metafisika. Begitu pula konsep kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis.

Kompatibilis mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain.

Lalu, apakah Locke seorang  kompatibilis atau malah dia seorang  inkompatibilis?

Melihat bahwa Locke berpikir tentang kebebasan bertindak sesuai dengan kehendak yang ditentukan oleh kegelisahan, kita akan segera menyebut Locke adalah seorang yang kompatibel. 

Namun, menilik pandangannya yang berbunyi bahwa ‘adalah tidak sah untuk menyimpulkan kesesuaian dengan determinisme kausal dari kesesuaian dengan penentuan kehendak oleh kegelisahan’, kita malah curiga dia adalah seorang yang inkompatibilis.

Namun, bukti-bukti dengan kuat menunjukkan bahwa Locke adalah seseorang yang meme-luk erat kompatibilisme. Dia akan menjawab tegas, apabila pertanyaan itu diajukan langsung kepadanya. 

Sebab kebebasan bertindak, menurut Locke, adalah masalah mampu melakukan apa yang diinginkan dan mampu menahan apa yang ingin ditahan. 

Meskipun kita kadang-kadang bertindak karena keharusan (keterpaksaan atau pengekangan), fakta belaka (jika itu adalah fakta) bahwa tindakan kita ditentukan oleh hukum alam, dan oleh peristiwa sebelumnya yang tidak mengancam kebebasan kita.

Terkait ini Locke pernah membuat ilustrasi demikian:  “Jika pintu kamar saya tidak dikunci, saya bebas sehubungan dengan tindakan meninggalkan kamar, karena saya memiliki kemampuan untuk tinggal atau pergi sesuka saya.  Hanya ketika pintu dikunci, atau ketika saya diborgol atau dipasung, atau ketika jalan saya diblokir, atau sesuatu yang lain menghilangkan kemampuan saya untuk tinggal atau pergi, saya tidak bebas sehubungan dengan tindakan pergi.” 

Melalui ilustrasi tersebut, Locke ingin menegaskan bahwa) determinisme atau ‘pembatasan’ (dari luar dengan sendirinya bukanlah ancaman bagi kebebasan bertindak kita. Dengan kata lain, ancaman atau determinasi utama untuk kebebasa adalah ketakmampuan internal untuk mengekspresi diri dan meraih tujuan dari kehendaknya dengan cara yang layak.

Kemerdekaan dan kebebasan di jagad media sosial kita

Perbedaan antara kemerdekaan dan kebebasan penting karena konsep-konsepini mempengaruhi cara pandang dan bersikap serta berperilaku masyarakat modern, tak terkecuali warga yang gemar bermedia sosial (netizen).

Sebagaimana disebutkan di atas ‘kemerdekaan’ menekankan pentingnya hak individu (kelompok sosial, bangsa) dan batasan kekuasaan pemerintah, sedangkan ‘kebebasan’ lebih terfokus pada kemampuan individu (kelompok sosial, bangsa) untuk mengejar kepentingannya sendiri.

Namun, dalam praktiknya, terutama di dunia maya (media sosial) hal ini dipahami secara tumpang tindih, campur aduk. 

Akibatnya, di jagad media sosial kita sangat sering muncul berbagai unggahan  ‘status’ dan ‘komentar’ yang simpang siur, terutama mengenai ‘kebebasan’.

Sambil mengacu pada UUD 1945, setiap ‘orang’ merasa bahwa dirinya berhak sekaligus mampu bersikap (berkomentar) apa saja,  atas dasar prinsip kemerdekaan dan kebebasan (berpendapat). 

Kesimpangsiuran yang lahir karena ketiadaan (ketakmampuan) untuk membedakan konsep ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ membuat jagad dunia media sosial gaduh, ribut tak karu-karuan.

Keadaan menjadi makin ‘brutal’ ketika seorang Rocky Gerung, seorang yang mengaku ‘cerdas’ dan gemar mendungukan orang lain, ternyata juga suka ‘bermimpi dan mengigau’ bahwa elit politik dan sebagian besar publik Indonesia mendeterminasi atau mengekang kebebasan dirinya dan ‘rakyat’, yang tak laik adalah pengagum dirinya sendiri. 

Oleh karena itu, dia sangat gemar menyerukan ‘perlawanan’, kepada pemerintah dan publik, bahkan dengan kata-kata makian dan bernada menghasut.

Rocky Gerung sepertinya sedang bermimpi bahwa dirinya berada dalam sebuah ruang terkunci rapat, dan  sedang diborgol, sehingga dia tidak bisa pergi ke mana dia menginginkan. 

Oleh karena itu dia pun ‘berteriak’ dan memaki-maki ‘pemerintah’ dan ‘rakyat pendukung pemerintah’ yang ‘dibayangkannya’ sebagai pihak yang telah mengunci pintu kamarnya, bahkan juga telah memborgol tangan serta memasung kakinya.

Padahal, itu adalah sebuah khayalan atau ilusi belaka. Sebab, faktanya, dia sedang tidak berada di ruang terkunci, tetapi berada ruang terbuka nan luas yang bernama Indonesia.

Dia sendiri pun tidak sedang diborgol atau berdipasung, melainkan bebas mengangkang, atau mengayungkan kakinya ke mana ‘kepala’nya memerintahkan dia pergi dan berkata-kata di studio televisi atau forum lainnya.

Namun, sayangnya, begitu banyak host kanal televisi dan Yotube kita sepertinya sudah begitu terpukau dengan ‘kecerdasan Rocky Gerung’.  Mereka sepertinya juga  tak mau lagi berpikir kritis, sebaliknya  menelan semua apa yang diucapkan Rocky Gerung sebagai kebenaran absolut.

Ironisnya, ‘ Rocky Gerung’ dan para pengagumnya, selalu menjadikan ‘demokrasi’ dan ‘kebebasan berpendapat’ sebagai landasan bagi ucapan dan sikap ‘perlawanan’.

Padahal, nyata-nyata demokrasi memberi kedaulatan pada seluruh (sebagian besar) rakyat, bukan pada seseorang atau pada suatu kalangan.

Begitu pula, kemerdekaan adalah hak, dan kebebasan adalah kemampuan, yang melekat pada seluruh warga, bukan hanya pada diri individu dan sekelompok warga. 

Kemerdekaan dan kebebasan dihayati demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan individual atau sekelompok orang.

Repotnya pula, ‘teriakan akal-akalan’ itu secara terus-menerus ditayangkan oleh kanal teleivisi dan youtube, lalu diunggah kembali dan dibagikan kembali melalui media sosial (facebook, twitter, whatsapp, tiktok, instagram dan lain-lain) oleh ‘netizen, gerombolan yang mengklaim tak ikut memilih Jokowi-Ma’ruf Amin, kepala pemerintahan saat ini)  sehingga tampak seperti ‘teriakan akal sehat’.

Kita tentu saja tidak rela, Indonesia terus diobok-obok oleh seseorang Rocky Gerung dan gerombolan netizen yang menafikkan hak dan kemampuan bangsa untuk menghidupi dan mengembangkan  ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ secara layak demi kebaikan bersama. 

Oleh karena itu, kita mesti terus mengobarkan api semangat kemerdekaan dan kebebasan. Mari kita menghayati dan mengembangkan rahmat kemerdekaan dan kebebasan secara layak! ***

*Maxi Ali, Pemimpin Redaksi Floresku.com. ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS