Mantovanny Tapung: P5 pada MBKM, Ikhtiar Cegah Penyebaran Radikalisme di Sekolah
redaksi - Senin, 16 Mei 2022 09:37RUTENNG (Floresku.com) - "Menautkan secara eksplisit Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pada Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka (MBKM) adalah upaya cerdas pemerintah untuk mencegah penyebaran paham radikalisme di sekolah-sekolah di Indonesia"
Demikian diutarakan dosen Unika St. Paulus Ruteng pada sesi seminar yang diselenggarakan Prodi PGSD, pada Sabtu, 14 Mei 2022 dengan tajuk: “Membangun Pembelajaran yang Kontekstual dan Inspiratif Pasca Pandemi Covid-19”.
Seminar ini yang diadakan dalam rangka merayakan hari Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional ini, dihadiri oleh 250 peserta, dari kalangan mahasiswa, dosen, para guru dan pensiunan guru di Manggarai Raya. Hadir juga pemateri lain dalam seminar ini, yakni Drs. Eliterius Senen, M.Pd.
- Satreskrim Polres Manggarai Tangkap Napi DPO yang Kabur dari Rumah Tahanan Kelas II B Ruteng
- SENDAL SERIBU, Minggu Paskah V, 15 Mei 2022: Saling Mengashi!
- Mengerikan, Rusia Gunakan Mortir Terbesar di Dunia untuk Gempur Pabrik Baja Azovstal
Dalam makalah berjudul: “Meladeni Tantangan Pasca Pandemi dan Revolusi 4.0 dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka," Mantovanny menegaskan, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau P5menjadi bagian kegiatan ko-kurikuler di sekolah.
P5 juga menjadi kegiatan pembelajaran tersendiri, tidak gabung dengan kegiatan intrakurikuler (penguasan akademik) dan ekstrakurikuler (pengembangan minat dan bakat).
Kebijakan ini, kata Mantovanny, diambil pemerintah dalam struktur kurikulum baru, agar selain literasi dan numerasi, karakter peserta didik juga harus mendapat porsi lebih banyak dan seimbang.
"Pada kurikulum sebelumnya, isu penguatan karakter Pancasila disematkan atau ‘nebeng’ pada kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Namun dalam MBKM, isu mengenai pentingnya penguatan profil pelajar Pancasila menjadi bagian tersendiri dalam kurikulum dan ekosistem pembelajaran di sekolah," cetusnya.
Lebih lanjut, Doktor lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (2018) itu menyampaikan beberapa rasional kebijakan kurikulum baru ini.
Pertama, kebijakan strategis kurikulum ini diambil demi mengatasi masalah ‘kehilangan pengetahuan akademik’ (Learning loss) dan ‘kesenjangan pembelajaran’ (learning gap) sebagai dampak pandemi Covid-19. Rata-rata terjadi 0,44 sampai dengan 0,47 persen terjadi learning loss dan learning gap atau kehilangan 5 sampai 6 bulan pembelajaran per tahun akibat pembelajaran jarak jaruh (daring atau blended learning).
Pada siswa miskin, 0,8 sampai dengan 1,3 persen atau setara dengan kehilangan masa pembelajaran 8 sampai dengan 12 bulan karena tidak mampu membeli perangkat digital dan pulsa, atau berada di tempat yang jauh dari jangkauan sinyal internet.
Ketiadaan pengetahuan dan situasi kemiskinan, justru bisa memicu muncul pikiran fundamentalistik dan sikap serta tindakan radikalistik.
Kedua, mempersiapkan siswa demi menghadapi lompatan cepat perkembangan peradaban teknologi informasi, tuntutan revolusi 4.0, pembelajaran abad 21, dan masyarakat 5.0.
Ketiga, mempersiapkan siswa untuk memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri.
Keempat, mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi krisis global dalam bidang ekonomi, lingkungan, moralitas, dll.
Kelima, mempersiapkan siswa untuk mengatasi krisis identitas personal dan entitas sosial budaya yang disebabkan oleh masifnya penyebaran paham liberalisme, konsumerisme, pragmatisme, hedonisme, dll).
Keenam, mencegah paham yang berusaha mengerogoti nasionalisme bangsa, seperti munculnya ideologi trans-nasionalisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sparatisme.
Lebih jauh, penerima Penghargaan LEPRID (Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia) dalam bidang Literasi itu menegaskan, pemikiran fundamentalistik dan perilaku radikalistik di kalangan anak-anak sekolah cukup menggejala di Indonesia.
Bahkan, ada anak-anak SD yang anti keberagaman dan enggan bergaul dengan sesama di sekolah karena merasa ada perbedaan di antara mereka. Pemikiran fundamentalistik dan perilaku radikalistik muncul juga dengan adanya fenomena perundungan fisik-verbal dan tawuran di antara anak sekolahan.
Tidak hanya itu, pemikiran dan perilaku juga menyebar, tidak saja di dunia nyata tetapi juga meluas di ruang maya (media social).
Bahkan, terdapat beberapa kejadian di daerah yang menggambarkan menggejalanya tindakan radikalistik, seperti pemukulan terhadap guru oleh siswa dan orang tuanya, atau tindakan kekerasan siswa kepada orang tuanya sendiri, hanya karena orang tua tidak bisa membeli handphone baginya.
Kondisi ini sangat mengelisahkan dan mencemaskan, karenanya perlu ada upaya bersama yang sistematis dan terstruktur serta berkelanjutan; salah satunya melalui program pendidikan
"Nah, untuk mencegah fenomena ini dan juga menjaga peradaban negara bangsa, pemerintah telah berupaya memunculkan bagian Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam skema MBKM. Terdapat 6 elemen dalam P5 ini, yakni Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, dan Berperilaku Kreatif. Masing-masing elemen ini memiliki turunannya, dan dikembangkan pada Satuan Pendidikan dengan prinsip kontekstual, eksploratif, holistic dan berpusat pada siswa," cetusnya.
"Sementara itu, terdapat 8 tema penting yang ditawarkan masing-masing level usia belajar, seperti Gaya Hidup Berkelanjutan (SD-SMA/K), Kearifan Lokal (SD-SMA/K), Bhineka Tunggal Ika (SD-SMA/K), Bangunlah Jiwa dan Raganya (SMP-SMA/K), Suara Demokrasi (SD-SMA/K), Berekayasa dan Berteknologi untuk Membangun NKRI (SD-SMA/K), Kewirausahaan (SD-SMA), dan Kebekerjaan (SMK)," tambahnya. (Jivansi)