Memotret Nagekeo: Geografi, Topografi dan Iklimnya
Redaksi - Senin, 20 Mei 2024 18:53Pengantar:
RABU, 22 Mei 2024 ini Kabupaten Nagekeo, genap berusia 18 tahun. Lalu, pada November 2024 mendatang, warga Kaupaten Nagekeo akan ikut ambil bagian dalam perhelatan nasional, Pilkada Serentak, guna memilik Bupati dan Wakil Bupati yang akan memimpin dari Desember 2024 hingga Desember 2029 mendatang.
Artikel-artikel tersebut diramu dengan sudut pandang ‘tidak biasa’, mengandalkan pendapat masyarakat ‘akar rumput’, yaitu kelompok terbesar masyarakat yang tak berpeluang bersuara forum-fomrum formal.
Ketika ‘memotret’ ‘tanah air’ mereka Nagekeo, mereka biasa bicara ngalur ngidur saat sedang kongkow-kongkow bersama anggota keluarga atau tetangga. Sementara mereka yang punya handphone cerdas, sesekali ‘ikut berkomentar’ melalui media sosial. Ibarat asap, komentar mereka pun segera lenyap, tak pernah direspon pihak yang berwenang.
***
Geografi Nagekeo
E-Boook Nagekeo dalam Angka 2024 (halaman 3) menyatakan, secara geografis Kabupaten Nagekeo terletak pada koordinat 121°6'20" - 121°32'0" Bujur Timur dan 8°26'15'- 8°64'40" Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Nagekeo secara keseluruhan adalah 1.416,96 km2.
Disebutkan bahwa, wilayah geografi Kabupaten Nagekeo adalah sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sawu, sebela timur dengan Kabupaten Ende dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Ngada.
Warga ‘akar rumput’ Nagekeo sebetulnya memiliki cara sendiri dalam menggambarkan profil geografi tanah tumpah darahnya.
Setiap suku memiliki batas-batas wilayah sendiri. Mereka selalu menggambarkan profil wilayah dalam bahasa simbolis yang faunatis.
Wilayah Kampung di bagian timur atau utara disebut sebagai Udu/Ulu (Kepala). Sering juga dirangkai dengan Mena (arah asal marahari terbit) sehingga menjadi Mena Ulu/Mena Udu. Walau ini agak tidak lazim.
Yang lazim dipakai adalah Udu/Ulu dirangkai dengan kata ‘Reta/Zeta’ (di atas arah utara) sehingga menjadi ‘Reta Udu/Zeta Ulu).
Wilayah kampung di sebelah selatan atau barat disebut Eko (Ekor). Seringkali Eko dikaiatkan dengan arah Selatan (Dau/Lau) sehinggan Menjadi ‘Dau Eko/Lau Eko).
Atau pun, tidak lazim, Eko dirangkai dengan arah Barat (Rade/Zale) sehingga menjadi (Rade Eko/Zale Eko). Sedangkan wilayah bagian tengah kampung disebut ‘Kisa’ (Tengah): Kisa Bo'a.
Selain itu, kaum ‘akar rumput’ Nagekeo menyebut wilayah daratan tempat mereka berpijak sebagai sebuah daratan diapiti oleh dua lautan. Yang di utara disebut Mesi Fai (Laut Perempuan) dan di sebelah selatan Mesi Laki (Laut Lakl-laki (Bdk. Sareng Orinbao 1969).
Kedi/Keli -Wodo/Wolo, Mada/Mala, Ombo-Dowo/Obo-Lowo dan Ma’u
Situs id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nagekeo menyebutkan bahwa topografi Kabupaten Nagekeo sebagian besar berbukit, bergunung dan berlembah serta memiliki lereng-lereng yang curam yang umumnya terletak di daerah pantai.
Bahkan, secara rinci e-book itu menerangkan bahwa topografi dengan ketinggian 0–25 m dpl meliputi luas 29.863 ha atau sekitar 17,24 persen dari total luas wilayah Kabupaten Nagekeo. Ini meliputi daerah pesisir pantai utara (sebagian besar) dan daerah pesisir pantai selatan serta daerah pesisir pantai pulau-pulau kecil lainnya.
elanjutnya adalah topografi dengan ketinggian 25–100 m dpl yang luasnya mencapai 20.843 ha atau sekitar 12,03 persen dari total luas wilayah Kabupaten Nagekeo.
Lalu ada kondisi topografi dengan ketinggian 100–500 m dpl seluas 48.171 ha atau sekitar 27,81 persen dari total luas wilayah Kabupaten Nagekeo, merupakan wilayah lereng atau kaki gunung dan perbukitan, daerah peralihan dari dataran rendah ke dataran tinggi atau pegunungan.
Berikut ada topografi dengan ketinggian 500–1000 m dpl, seluas 70.216 ha atau sekitar 40,54 persen dari total luas wilayah Kabupaten Nagekeo, yang merupakan daerah pegunungan.
Terakhir adalah topografi dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl, seluas 4.098 ha atau sekitar 2,37 persen dari total luas wilayah Kabupaten Nagekeo, yang merupakan daerah pegunungan atau dataran tinggi, tersebar di beberapa titik saja.
Kaum akar rumput Nagekeo juga punya cara sendiri dalam memotret topografi wilayahnya.
Mereka memandang dan mengelompokkan kondisi topografis daerahnya atas empat kelompok yaitu wilayah pegunungan dan pebukitan (Kedi/Keli-Wodo/Wolo), wilayah tanah datar (Mada/Mala), wiliayah aliran sungai (Ombo-Dowo/Obo-Lowo) dan wilayah pesisir pantai (Ma’u).
Konsep dan nama topografis itu melahirkan sejumlah nama tempat atau kampung seperti Kedi Toto, Keli Mari, Wodomia, Wolosambi, Madapadhu, Malasera, Dowo Nena, Ma'u Ndai dan lain-lain.
Dera Mere/Leza Meze, Ura Ae/Uza Ae
Menurut id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nagekeo, kondisi suhu udara di wilayah Kabupaten Nagekeo bervariasi antara 20°–34 °C dengan tingkat kelembapan nisbi berkisar antara 64 perseb–84 persen.
Dalam pantatuan Floresku.com, dalam sehari (selama Mei 2024) suhu udara berfluktuasi antara 20 °C (pada pagi dan sore hari) hingga 33 °C (antara pukul 10.00 hingga 14.00 siang), dan turun hingga sekitar 20 °C pada malam hari, menjelang dini hari.
Suhu tersebut menandakan bahwa wilayah Kabupaten Nagekeo beriklim sabana tropis (Aw) dengan dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Dalam bahasa kaum akar rumput Nagekeo, Musim Kemarau disebut Wuda Dera/ Wula Leza atau Wuda Dera Mere/Wula Leza Meze) dan musim penghujan atau Wuda Ura Ae/Wula Uza Ae.
Biasanya musim kemarau di wilayah Nagekeo biasanya berlangsung selama ≥7 bulan yaitu pada periode April–November dengan bulan terkering adalah Agustus.
Sementara itu, musim penghujan di wilayah Nagekeo pada umumnya berlangsung singkat pada periode bulan-bulan basah Desember–Maret dengan bulan terbasah adalah Januari yang curah hujan bulanannya di atas 200 mm per bulan.
Curah hujan tahunan di wilayah Nagekeo berkisar antara 800–1300 mm per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 60–130 hari hujan.
E-Book Nagekeo dalam Angka 2024 (halaman15) mencatat curah hujan di Nagekeo tahun 2022 rata-rata 882 mm, dan jumlah hari hujan hanya 67 hari
Namun, selama satu setengah tahun terakhir (Januari 2023 – Mei 2024), akibat perubahan iklim global, musim kemarau dan musim hujan, menjadi sulit dipredkiksi. Januari-Februai 2023, kemarau.
Lalu Maret hujan, April kemarau lagi hingga Juni. Lalu dari Juli hingga Agustus, sering turun hujan lagi. Kemudian September 2023 hingga Januari 2024 , kemarau. Kemudian selama Februari hingga April sering turun hujan, tetapi memasuki Mei mulai kemarau lagi.
‘Nge’e wula ne mona tetu peka. Leza meze, uza ae mona tetu,’ ujar seorang opa yang mengaku bernamas Yan Suku (67), saat dijumpai di Pasar Danga, 18 Mei lalu.
Keluhan tentang iklim yang tak menentu juga datang dari, Tarsan, seorang petani muda dari Koekobho, Desa Utetoto.
‘Liwa ke cua bhodo. Urha mona dete ko. Nga’o tendo cawa, tebhu wai ko somu’ (Tahun ini gagal panen karena hujan turun tidak menentu. Saya tanam jagung, tapi yang tumbuh malah bawang (karena daun tanaman jagung layu mengglung menjadi seperti daun tanaman bawang),” ujar nya agak meringis, kesal.
Namun, ketika para petani mengeluh karena kemarau, para petambakk garam di Tonggurambang malah bersyukur. Betapa tidak, panas terik matahari membuat proses penambakan garam menjadi mulus.
‘Kalau panas terus bagus juga. Saya bisa leluasa menambak garam. Jumlahnya lebih banyak, kualitas garam pun lebih bagus,” ujar Achmad dari Kampung Tonggurambang.
Beban berat iklim tropis
Keluh kesah Yan Suku dan Tarsan serta banyak petani lainnya di Nagekeo mengingatkan penulis akan Working Paper (Kertas Kerja), hasil riset yang dilakukan NBER Research Associate Jeffrey Sachs (2001).
Menurut riset itu, negara-negara yang berada di wilayah beriklim tropis (sekitar garis katolistiwa) memang memiliki beban kehidupan yang lebih berat dibandikan mereka yang hidup di iklim sedang dan dingin.
Meskipun memiliki sejarah ekonomi, politik, dan sosial yang beragam, hampir semua negara tropis masih terbelakang pada awal abad ke-21. Hanya dua negara zona tropis, Hong Kong dan Singapura, yang termasuk dalam 30 negara yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan tinggi oleh Bank Dunia.
Mengapa? Penduduk yang hidup di daerah tropis, lebih sering diserang wabah penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti malaria, demam berdarah, dan infeksi cacing,. Penyakit-penyakit itu tidak mudah dikendalikan, sehingga mengganggu kesehatan dan produktitas warga.
Kawasan tropis juga rawan bencana kekeringan, atau sebaliknya bencana banjir dan tanah longsor.
Di wilayah tropis pun sering timbul aneka jenis wabah dan virus yang merusakkan tanaman pertanian seperti hama kutu, belalang, dan wereng serta aneka jenis virus.
Terkait virus, Adam Puente dari Kampung Aekana Nangaroro mencak-mencak.
“Kita te nge-nge muri tado ngedo. Muku sambu te nggena virus, isi jadi mite mbeja ke. Kita mo’o ka ko apa wadi? (Kita ini lama-lama mati semua. Soalnya, pisang saja kena virus, isinya jadi hitam semua. Kita mau makan apa lagi).
‘Ngara bhide ke tero, kita kese tado doi. So’o ria mbana deo Kalimanta wie (Kalau begini terus, kita tak bisa pegang uang. Lebih baik pergi merantau lai ke Kalimantan saja,” ujarnya. (map) ***