Menelisik Jejak Sejarah Manggarai: Pernah Ditakluk Bima dan Belanda?

Redaksi - Jumat, 19 Mei 2023 22:51
Menelisik Jejak Sejarah Manggarai: Pernah Ditakluk Bima dan Belanda?sejarah manggarai, flores (sumber: 2021/02/1613311519187.jpeg)

FERDINANDUS  Moses, dalam bukunya, ‘Mengenal Manggarai di Nusa Tenggara Timur’ (2018:4) menyatakan, sejak abad ke-11 Manggarai menjadi wilayah perebutan antara Kesultanan Bima di Sumbawa dan Kesultanan Gowa (Goa) di Sulawesi untuk memperoleh penguasaan perdagangan.

Sebelumnya, Dami N. Toda (1999)  menyatakan pada abad 16, Kerajaan Goa-Tallo dari Sulawesi Selatan bersaing erat dengan pedagang Cina,  Gujarat dan Portugis untuk berbungan dengan Manggarai dan Flores secara umum, karena wilayah ini adalah penghasil cendana dan gaharu

Sementara itu, Pater Jilis A.J. Verheijen SVD, dalam bukunya, ‘Manggarai dan Wujud Tertinggi’ (1991) menyebutkan, informasi mengenai Flores,  terutama sejarah tentang suku Manggarai menjadi lebih jelas melalui informasi yang diberikan Coolhaas W.Ph. 

Ditaklukan Bima?

Coolhaas (1942:162-164) menunjukkan adanya keterangan tentang Manggarai dalam Encyclopaedi van Nederlandsch-Indie Jilid 1 halaman 307, yang mencatat adanya suatu perjanjian  antara de Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dengan Bima pada 1660. 

Dalam perjanjian tersebut Manggarai dianggap bagian dari Kerajaan Bima. Maka sejak 1661, Manggarai lebih sering disebut sebagai daerah yang ditaklukan Bima.

Istilah ‘takluk’ tersebut sebetulnya bermakna tak lain daripada membayar upeti dan menaati monopoli Bima dalam hal perdangangan. Namun, ‘penaklukan’ Bima atas Manggarai diragukan. Sebab, waktu itu Bima sendiri berada di bawah penaklukan Goa. 

Lagi pula, selama abad-17, tak ada perlindungan sama sekali dari Bima  atau Goa atas penduduk Manggarai. Yang terjadi, justru sebaliknya, para bajak laut dari Bima, Bugis dan Goa merajalela menangkap orang Manggarai yang lembut hati untuk dijadikan budak.

Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Goa-Tallo terlibat pertempuran dengan Kompeni Belanda (VOC) dan akhirnya kalah. 

Melalui pengesahan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667, VOC mulai berkuasa atas wilayah Goa-Tallo, termasuk Kesultanan Bima.

Jadi, besar kemungkinan, orang Bima memasuki Manggarai (juga wilayah Flores bagian tengah) bukan karena Manggarai takluk kepada Goa dan Bima, melainkan karena orang Bima harus mengumpulkan sebanyak mungkin barang komoditi agar bisa memenuhi permintaan VOC. 

Ketika VOC benar-benar menaklukkan Bima,  orang Bima justru memilih Manggarai (Flores pada umumnya) sebagai daerah pengungsian, tempat  ‘menyembunyikan diri’ dari ancaman VOC.

Informasi mengenai hubungan Bima dan Manggarai mendapat tanggapan yang berbeda dari Freijes (1860), Stapel (1914:100), dan Van Bekum (1946:65-69).  

Freijes memberikan penekanan bahwa orang Bima hadir di Manggarai dalam rangka perdagangan budak. Stapel menjelaskan adanya pengaruh dan kekuasaan luar. 

Sebagai misal, pada 1727 seorang putra Sultan bima menyunting putri Raja Makassar. Pada ksempatan itu, Manggari dijadika sebagai hadiah pernikahan. 

Puteri Raja Makasar, Daeng Tamina, kemudian mendirikan kerajaan Islam di Reo. Namun, hal ini tak disetujui Sultan Musa Lani Ailma dari Bima. Oleh karena itu pada 1732, Sultan Alima bersekutu dengan Dalu Bajo mengusir orang Makasar dari Reo.

Sementara itu, van Bekum mengutamakan latar belakang mistis serta pertentangan dan persaingan dalam merebut kekuasaan dan pimpinan tertinggi di atasa kelompok-kelompok yang asli di Manggarai sendiri (Hans Daeng, 1995:16-17). 

Menurut dia, menguatnya hegemoni Dalu Todo rupanya tidak disukai oleh Dalu Cibal yang menganggap Dalu Todo bukanlah Manggarai asli melainkan keturunanMinangkabau. 

Persaingan di antara keduanya kemudian menghasilkan beberapa peperangan terbuka yang dimenangkan oleh Dalu Todo yang didukung oleh Bima. 

Namun, sebenarnya Bima tidak mempunyai kepentingan terhadap perselisihan yang terjadi diantara kedua dalu tersebut selain mengamankan monopoli perdagangan di Manggarai.

Penguasaan Goa dan Bima semakin diragukan jika melihat sikap kesultanan Goa atas Manggarai. Pada 17 April 1787, Sultan Abdul Hamid.  Hamid  menulis surat yang menyatakan bahwa orang Bugis, Makasar, dan Gowa dilarang tinggal di dekat orang Manggara “karena orang Manggarai suka mengosumsi daging babi, hal yang dapat merusak agama (Islam) dan budaya mereka. (Coolhaas, 1942: 328-360).

Bantahan Dami N. Toda

Perihal hubungan Manggarai dengan pihak luar, khususnya dengan Bima,  dibahas secara cukup lengkap oleh Dami N.Toda, dalam bukunya,  Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999). 

Melalui penelusuran peta kuno, sastrawan dan peminat sejarah kelahiran Pongkor, 20 September 1942 itu menemukan bahwa pada abad 16, Pulau Flores sudah berhubungan dengan Kerajaan Goa-Tallo dari Sulawesi Selatan.

Menurut dia, kala itu Flores merupakan wilayah penghasil cendana dan gaharu. Para pelaut Goa-Tallo, dengan kapal pinisi, bersaing dengan para saudagar Cina, Gujarat dan Portugismelakukan perdagangan di wilayah ini.

Toda kemudian menyoroti soal klaim VOC/Belanda-Bima terhadap wilayah Manggarai. Belanda mengatakan pihaknya telah menguasai Bima  dan juga Manggarai sejak tahun 1661.

Menurut Toda, klaim Belanda terhadap wilayah Manggarai didasarkan kepada perjanjian Belanda-Bima pada 1660. Oleh karena Bima mengklaim bahwa Manggarai adalah wilayah jajahannya, maka dengan demikian otomatis wilayah Manggarai menjadi wilayah yang dilindungi Belanda. 

Sejatinya, klaim Bima atas Manggarai didasarkan pada kisah Tanah Perhambaan. 

Menurut catatan yang ada di Kerajaan Bima (berjudul Ceritera Manggarai - 1762), Manggarai merupakan wilayah yang dikuasai oleh Dewa Sang Bima dan keturunannya. 

Namun, Toda menemukan bahwa klaim tersebut adalah klaim sepihak yang tidak paham tentang seluk-beluk Flores,  sehingga batas-batasnya tidak sesuai dengan fakta yang ada. 

Toda juga membuktikan bahwa sampai dengan 1667, Bima dan Manggarai mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai jajahan kerajaan Goa-Tallo. 

Dokumen-dokumen kerajaan Bima lainnya juga menunjukkan inkonsistensi. Toda menyimpulkan bahwa dokumen-dokumen tersebut dibuat untuk kepentingan politik Bima di depan Belanda.

Klaim Bima atas Manggarai juga didasarkan pada asal-usul nama Manggarai. 

Menurut orang Bima nama ‘Manggarai’ berasal dari kata bahasa Bima ‘manga’ yang artinya manusia dan raj yang artinya raja. Jadi, ‘manggarai’ atrinya ‘manusia milik raja’. 

Ada juga yang  menyatakan bahwa Manggarai berasal dari manga yang artinya sauh dan rai yang artinya lari/lepas. 

Konon tentara Bima pernah berlabuh di wilayah Manggari. Namun,  sauh kapalnya diputuskan  oleh penduduk lokal dan mereka berteriak-teriak ‘manga raimanga rai’

Namun Toda berhasil mematahkan klaim tersebut dengan mengutip kisah di Pulau Rinca. 

Kisah tersebut menggambarkan seorang Belanda mencatat kunjungan Raja Tallo bernama Mangarangi yang berkunjung ke wilayah Flores barat pada 1626. 

Saat itu penguasa Rinca menerima Mangarangi sebagai raja dan penguasa Rinca sebagai wakilnya. Sejak itulah wilayah ini disebut Manggarai.

Bukti lain yang memperkuat bahwa Manggarai bukan kekuasaan Belanda-Bima adalah kunjungan orang Barat ke Manggarai baru terjadi pada  tahun1880. 

Fredericus Albertus Colfs adalah orang Barat pertama yang menjelajahi wilayah Manggarai untuk meneliti perihal kupu-kupu. 

Colfs membuat peta pedalaman Manggarai. Jadi meski seandainya Manggarai telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda,   pada kenyataannya Belanda tidak pernah tahu menahu tentang wilayah tersebut. Belanda terkesan tak pernah mengurusi wilayah ini sampai dengan kedatangan Colfs pada  tahun1880.

Toda juga memeriksa dokumen-dokumen pasca-1900 yang berhubungan dengan Manggarai. 

Berbeda dengan sumber-sumber sebelum  1900 yang kebanyakan adalah dokumen Kerajaan Bima, dokumen setelah 1900 adalah dokumen-dokumen yang ditulis orang Belanda di lokasi (di Manggarai atau dari kunjungan ke Manggarai). 

Meski orang Belanda ini berhasil merangkai sumber-sumber asli dari informan lokal, meski masih menggunakan latar belakang dokumen Bima.

Tiga dokumen utama  Belanda yang dikaji oleh Toda adalah Laporan Zollinger, Laporan Freijss dan Dokumen Braam Morris. Pada 1847 pemerintah Belanda di Sulawesi mengirim Zollinger untuk membuat penelitian di Flores. 

Zollinger mengumpulkan informasi tentang sejarah, geografi, etnologi, religi dan kepercayaan lokal, demografi, kemasyarakatan, pemerintahan dan ekonomi. 

Menurut Toda (1999:180),  Zollinger mempertanyakan klaim kerajaan Bima atas Maggarai karena tidak menemukan jejak Bima dalam penelitiannya. 

J.J Freijss melakukan perjalanan ke Manggarai dalam rangka menjajaki perdagangan ke wilayah ini pada tahun (1854). Freijss menggunakan surat dari Raja Bima untuk kunjungannya. 

Namun surat tersebut ditolak oleh Adak Todo, karena Adak Todo tidak merasa bahwa Manggarai adalah bawahan Bima. 

Meskipun begitu,  Adak Todo tetap berkenan memberikan ijin bagi Freijss dan anak buahnya untuk melakukan penelitian dan tinggal di salah satu lokasi di dekat pantai (Toda, 1999: 185). 

Dalam laporannya pada 1860, Freijss menyebutkan bahwa Flores memiliki potensi tambang mineral (emas, timah dan besi). Namun setelah diteliti oleh Wichmann, seorang ahli geologi yang didatangkan oleh Belanda, ternyata laporan Freijss tidak benar. 

Laporan Freijss salah karena dia menggunakan penterjemah dari Bima yang tidak paham bahasa Manggarai. Akibatnya Wae Pesi yang artinya ‘sungai untuk mencari udang’ diterjemahkan sebagai ‘sungai yang mengandung besi’. 

Sementara itu, dokumen Braam Morris tentang nama-nama kampung dan nama-nama tempat ternyata 99 persen salah! Braam Morris membuat dokumen administrasi kepemerintahan di wilayah Manggarai dalam rangka menyiapkan intervensi Belanda di wilayah Manggarai (Toda, 1999: 194).

Selain mengkaji dokumen, Toda juga melakukan penelitian langsung di lapangan dengan mewawancarai para informan. Melalui para informan ini, dilengkapi dengan hasil penelitian John Hakim Song (1986), Toda menggambarkan asal mula kerajaan Manggarai. 

Toda menyampaikan bahwa selain penduduk lokal, Manggarai berturut-turut bercampur dengan pendatang dari Sumba, Turki, Goa-Tallo, Melayu dan Minang. Baru pada tahun 1640, terjadi pembaharuan ketataneragaan mengikuti model yang dibawa oleh Goa-Tallo (Toda, 1999: 247).

Kehadiran Kerajaan Bima di wilayah ini adalah karena diundang salah satu kerajaan Todo yang berkonflik dengan kerajaan Cibal. Namun Bima tidak pernah berani menghancurkan Cibal karena Cibal masih berada dalam perlindungan Goa-Tallo.

Sejak isu kandungan mineral yang bisa ditambang dan keinginan Belanda untuk menguasai wilayah-wilayah yang belum dikenal maka Belanda mulai serius memperhatikan wilayah Manggarai. 

Mula-mula Belanda melakukan banyak penelitian lapangan. Kemudian mengirimkan tentara untuk penaklukan pada tahun1890 dan penaklukan dengan lebih sistematis dilakukan pada tahun 1907. 

Namun administrasi Belanda baru benar-benar hadir di Manggarai pada tanggal 20 Desember 1929, saat Belanda mengikat perjanian resmi dengan Kraeng Bagung Raja Manggarai. Saat ini terjadi, klaim Bima atas Manggarai sudah tergerus habis.

Berdasarkan penelitiannya itu, Toda menyimpulkan bahwa Manggarai tidak pernah berada di bawah kekuasaan Belanda dan kerajaan Bima. 

Bahkan, Manggarai baru benar-benar  ‘dijajah’ Belanda sejak 1929,  hanya 16 tahun sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945. (MAP, dari berbagai sumber)***

Editor: redaksi

RELATED NEWS