Menyaksikan Laga 'Etu' Paguyuban Nagekeo-Batam, Walikota Batam: 'Mengerikan, Tapi Inilah Tradisi'
redaksi - Rabu, 06 September 2023 08:15BATAM (Floresku.com) - Nusa Tenggara Timur, khususnya Nagekeo kaya akan adat dan budaya. Salah satu kekayaan budaya itu adalah ritual tinju tradisional, Etu. Ritual tinju ini sudah menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 2016.
Pada Sabtu (2/9), bertepatan dengan perayaan HUT Paguyuban Nagekeo-Batam di Lapangan Tunas Regensi , Sagulung, beberapa laga Etu ikut dipentaskan.
Ketua Paguyuban Nagekeo Batam, Hilarius Ndona, kepada floresku.com, mengaku bahwa pementasan Etu kali ini adalah yang pertama di kota Batam.
Menurutnya, Etu adalah warisan budaya yang mesti diperkenalkan kepada warga Batam, dimana ada lebih dari dua ribu kepala keluarga berasal dari Nagekeo.
'Ini kali pertama kita adakan Etu di Batam. Ada lebih dari dua ribu kepala keluarga warga Batam berasal dari Nagekeo. Jadi hal ini penting untuk memperkenalkan tradisi warisan leluhur Nagekeo kepada anak cucu kita', ungkap Hilarius.
Walikota/Kepala BP Batam mengapresiasi
Pada kesempatan yang sama, Walikota sekaligus Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, juga mengapresiasi inisiasi panitia penyelenggara HUT Paguyuban Nagekeo yang telah memperkenalkan ritual tinju adat Etu di Kota Batam.
Kepada floresku.com, Rudi yang malam itu mengenakan pakaian adat Nagekeo, mengaku sangat antusias dan bangga bisa menyaksikan secara langsung atraksi tinju tradisional tersebut.
“Malam ini adalah kesempatan berharga bagi saya karena bisa menyaksikan langsung tinju tradisional Etu. Memang sedikit mengerikan menonton adu pukul. Tapi itulah tradisi. Anda semua adalah warga Batam yang berasal dari Nagekeo, jadi tidak ada salahnya kegiatan seperti ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan dan tradisi warisan leluhur," ugkap Rudi yang juga suami dari Wakil Gubernur Kepri, Hj. Marlin Agustina.
Selain Wagub Kepri, turut hadir pada acara tersebut Sekda Batam, Camat Sagulung, beberapa anggota DPRD Batam, dan ketua PK NTT.
Soal Pentas Etu di Batam
Etu merupakan ritual tinju tradisional asal Nagekeo yang diperankan khusus oleh kaum pria untuk saling menguji ketangkasan.
Salah satu ritual Etu yang cukup populer adalah Etu di Tutu Bhada, sebuah kampung adat di Aesesa Selatan, Nagekeo. Konon, dahulu di kampung ini ada padang sebagai tempat penggembalaan kerbau.
Umumnya setiap ritual adat punya tujuan masing-masing. Etu sendiri merupakan ritual tinju tradisional yang tidak hanya menguji ketangkasan antar lelaki yang berlaga tetapi lebih dari itu merupakan simbol rasa syukur atas hasil panen dan permohonan kesuburan tanah.
Kemudian darah dari luka akibat pukulan diyakini sebagai arti dari kesuburan itu sendiri.
Menurut Sil Rendu, pemuda asal Kampung Tutu Bhada, yang kini sudah menjadi warga Batam, secara umum, Etu mesti dilakukan di kampung adat.
Akan tetapi, dengan meminta restu kepada leluhur, Etu boleh di pentaskan di mana saja mereka berdomisili, termasuk di Batam, dengan maksud baik dan mematuhi tahapan ritual yang sudah berlaku turun-temurun.
“Memang seharusnya Etu ini dilakukan di kampung adat, namun karena kami sudah jadi warga Batam kami rasa perlu untuk memperkenalkan ritual tinju adat ini di sini supaya kami tidak lupa dengan tradisi dan budaya peninggalan leluhur kami. Semua kami lakukan tentu setelah memohon restu dari para leluhur", ungkap Sil.
Doa dalam bahasa adat
Secara eksklusif kepada floresku.com Sil juga memberikan catatan pribadinya berisi doa dalam bahasa adat, memohon restu kepada leluhur.
Doa yang dilantunkan sebelum pertandingan Etu dimulai berbunyi sebagai berikut:
"Leza rimo miu ine ame ebu kajo sa Nagekeo…. Kami ana ebu dia tanah rantau, kami toda pata, kami mo tau susu buku nama adat miu da nepe na'a pu'u kami ma anak-anak.
Leza dia tanggal 2 bulan 9 tahun 2023, kami tau go etu adat. Kami pai kasi, kami oa saoba, rimo miu ine ame ebu kajo sa Nagekeo, miu hadir kili bhali kami, miu sipo sagho kami ana ebu.
Kami riwu ne bhila ipu mesi, woso ne bhila kojo lowo, dia tanah Batam, miu kema sma ne ine ame ebu kajo Tanah Melayu, miu pere miu jaga ne ata da tau giwa gore, Ebulobo, Watudoa, Sangabenga, miu kaka ligo kami supaya kami susu buku nama adat ne mona salah-salah.
Kami pai maaf kami nama adat ne tolo podhi laga. Ana ebu da ngai ngongo zede benge, kami da sedu nebu lu bhoka dewa poa, kami mo tau dehi lo menga ngaza miu ebu da meza papa dara.
Kami pai kasih, kami oa soba ne miu ti'i go ae lura dheko Ketua Nagekeo, Aris Ndona, mo tefa nizo ngao, nago ana ebu da gena kepo, leza imu ma'e bai newa, kobe imu ma'e bai bhose, leza telu kobe telu, teka imu sibe neka, ra imu siba tu'u.
Ine ame ebu kajo sa Nagekeo, miu sipo sagho ne Bapak Aris Ndona, miu ti'i one wiwi, wiwi mo isi, miu ti'i one lema, mo lema imu mali, mo imu mona tuga one bo'a, mosa jeka nama ola, mi imu wero Nagekeo mo ata tau beo, thudu imu, tudgu im ne mona buru, zoka imu ne mona boka, Nagekeo riwu negaha be'o. "
Etu berbeda dengan pertarungan tinju konvensional
Sil kemudian menjelaskan maksud pementasan Etu dalam menyemarakan HUT Paguyuban Nagekeo Batam.
Menurut dia, Etu sangat berbeda dengan tinju konvensional, para petinju Etu menggunakan sarung tangan dari anyaman ijuk atau bahan lainnya yang disebut 'kepo' pada satu tangannya.
Tangan dengan 'kepo' digunakan untuk memukul sedangkan tangan lainya untuk menangkis. Selain itu, ada wasit yang bertugas menjaga pertarungan dalam arena.
'Etu memang tidak seperti tinju pada umumnya. Pemuda yang ikut berlaga tidak menggunakan sarung tinju tapi 'kepo'.
Satu tangan pakai 'kepo' untuk pukul, tangan lain untuk tangkis serangan lawan. Etu ini terlihat seperti tarung bebas, tapi dalam arena pertarungan ada tiga orang wasit yang disebut 'seka' dan dua orang pembantu disebut 'sike', jelas Sil.
Selain sebagai ekspresi rasa syukur atas hasil panen dengan darah sebagai lambang kesuburan, pementasan Etu di Batam juga bermaksud mengajak generasi muda untuk terus mempererat tali persaudaraan, memupuk rasa kekeluargaa dengan siapa saja, khususnya dengan sesama orang Nagekeo yang sudah tinggal dan menetap di Kota Batam.
“Tinju adat Etu ini adalah bagian dari ekspresi rasa syukur masyarakat adat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur atas hasil panen yang berlimpah. Jika setelah pertandingan Etu ada yang terluka dan berdarah itu melambangkan kesuburan tanah", ujarnya.
"Dalam Etu tidak ada dendam. Semua akan selesai dalam arena pertarungan, setelah itu kita adalah saudara yang tetap memegang teguh tradisi lelulur", imbuh Sil.
Pada Sabtu (2/9) ada lebih dari sepuluh laga tinju adat Etu dipertontonkan kepada ribuan warga yang hadir memadati lapangan dan alun-alun Tunas Regensi, Sagulung, Batam. (Rofin Sela Wolo). ***