Meski Cantik Mempesona, Zuka (Duka) Tonggo Masih Sulit Menembus Pasar

redaksi - Rabu, 05 April 2023 14:34
Meski Cantik Mempesona,  Zuka (Duka) Tonggo Masih Sulit Menembus PasarSiti Marwa Pua Geno, Ketua Kelompok Penenun 'Tonggo Permai' (sumber: Ani)

MAUTONGGO (Floresku.com) - “Sa zeza  sa urha zezu, su wuza sa pata rhuka/Sehari seutas benang, sebulan selembar sarung (Tonggo).” 

Begitu slogan 10 wanita penenun yang bergabung dalam “Kelompok Penenun Tonggo Permai’ yang berada di Kampung Mautonggo, Desa Tonggo, Kecamatan Nangaroro.

Slogan itu diutarakan Ketua Kelompok Penenun Tonggo Permai, Siti Marwa Pua Geno (63) kepada Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Nagekeo, Willy Lasa bersama stafnya,  yang bertandang ke Mautonggo, Selasa (4/4).

Para Tokoh Adat Mautonggo (berpeci), Kabid Budaya P dan K Willy Lasa (depan kanan) serta  para pengujung lainnya bersama para wanita penenun Mautonggo (Foto: Kantor Bid. Kebudayaan, P dan K Nagekeo)

Kabid Budaya P dan K, Willy dan stafnya menyambangi kampung tertua di kawasan pesisir Tonggo itu bersama tim dari Yayasan Alumni Seminari Mataloko (Alsemat) Jakarta dalam rangka penulisan buku Tenun dan Budaya Nagekeo.

Etnis Tonggo yang hidup di pantai selatan Nagekeo itu diketahui sangat giat mengembangkan kerajinan  menenun secara turun-temurun. 

Kepala Desa Tonggo, Klaudius Moi menyatakan di wilayah Desa Tonggo terdapat sekitar 60 orang penenun. 

Namun, dari jumlah tersebut terdapat sejumlah  wanita penenun yang bergabung dalam Kelompok Penenun Tonggo Permai di Kampung Mautonggo. 

‘Para penenun yang lain bekerja secara individual,” jelasnya.

Slogan sebagaimana disebutkan di atas mengekpresikan niat dan semangat mereka untuk memproduksi  kain tenun.

“Dalam sebulan, kelompok ini mampu memproduksi 10 lembar kain. Setiap orang menghasilkan satu lembar kain,” jelas Siti Marwa lagi.

 walau masih terkendala bagaimana memasarkannya secara luas, dan meraup pendapatan yang memadai.

Hasil kerajinan menenun itu disebut Zuka Tonggo (menurut dialek Tonggo yang tinggal di pesisir pantai Tonggo atau Duka Tonggo menurut dialek orang Tonggo yang mendiami wilayah pebukitan.

Contoh motif Zuka/Duka Tonggo (Foto: Ani)

Cantik mempesona

Rhuka/Duka Tonggo memang memiliki pesona tersendiri dan indah dipandang mata. 

“Kain Tonggo ini memang cantik-cantik semua. Yang ini sangat cocok untuk dijadikan blouse,” kata Fransiska Uja, salah satu wanita pengunjung sembari memegang kain tenun berwarna hijau daun yang dipajang di pondok di belakang rumah politisi NTT, Anwar Pua Geno. 

Pondok tersebut  berdiri tak jauh dari bibir pantai nan unik karena bertaburan batu-batu indah, bukan pasir sebagaimana di banyak pantai lainnya.

Selain cantik, sekilas Zuka/Duka Tonggo  tampak seperti Ragi Mbay atau Dhowik dari wilayah di sekitar Danga, Mbay. 

Meski demikian, sejatinya Zuka/Duka Tonggo memiliki motif yang sedikit berbeda dengan Ragi Mbay .

Koo Fai - Nua Muri / Puteri dan Putra Mautonggo dalam balutan Zuka Tonggo.

Menurut Siti Marwa, seperti Ragi Mbay,  Zuka atau Duka Tonggo didominasi warna kuning, dengan sedikit warna merah dan dasar berwarna hitam.

“Warna kuning adalah warna emas, barang paling dihargai secara turun-temurun oleh warga masyarakat Tonggo,” ujar wanita ramah yang mewarisi ketrampilan menenun dari ibunya sendiri dan para senior, semenjak masih usia remaja itu.

“Kalau sekarang ada sejumlah rhuka dengan variasi warna seperti  warna hijau dan biru. Itu adalam inovasi yang dilakukan sesuai pesanan para konsumen,” jelasnya.

Dilema: menjaga identitas vs melayani keinginan konsumen

Siti Marwa mengatakan, melalui  jaringan yang dibangun oleh Anwar Pua Geno, Zuka Tonggo sudah mulai dikenal secara nasional, sampai di Pulau Jawa.  

Anggota kelompok  juga sudah mencoba menggunakan teknologi informasi dan internet seperti website,  media sosial yaitu Facebook dan Whatsapp untuk memperkenalkan kain tenun.

Makanya, ada juga beberapa pesanan yang datang dari Pulau Jawa.  Namun, jumlah pesanan tersebut belum cukup banyak.

Penjualan terbesar, jelas Siti Marwa, masih terjadi secara konvesional dengan cara menjajakannya di pasar, atau menunggu para pembeli datang mencari ke sini (Mautonggo, red), terutama pada musim pesta adat, pesta Sambut Baru dan pesta pertungangan serta pernikahan.

Kelompok Penenun Tonggo Permai

Menurut dia, di satu sisi pihaknya memang ingin sekali menjaga identitas tenun Tonggo dengan warna dasar kuning. 

Namun, di sisi lain, pihaknya tak dapat mengingkari kenyataan yaitu kebutuhan hidup yang sangat mendesak.

“Makanya kami lebih sering menenun sesuai dengan pesanan konsumen, karena dengan begitu kami bisa mendapatkan uang lebih cepat dan dengan harga yang lebih. Ya, kami di sini tak punya sawah. Kami menenun dan melayani konsumen demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkapnya.

Tidak mahal

Memang, katanya lagi, ada orang yang mengeluhkan kalau harga Rhuka Tonggo itu mahal. 

“Padahal, sebetulnya Rhuka Tonggo ini tidak mahal. Sebab, harga Zuka Tonggo berkisar antara Rp600 ribu hingga Rp1,5 juta. Apalagi, harga benang sebagai bahan baku, cukup mahal. Untuk selembar rhuka dibutuhkan dua dus benang yang harganya Rp250 ribu per dus. Jadi, bisa dihitung sendiri biaya produksinya, belum ditambah biaya tenaga dan waktu pengerjaan yang cukup lama, sekitar satu bulan,” Siti Marwa menerangkan.

Para wanita penenun kelompok Tonggo Permai  mengeluhkan bahwa kendala paling utama dalam pengembangan kain tenun bukan pada proses produksi, melainkan pada hal pemasaran.

Memang, kelompok ini sudah mencoba melakukan pemasaran melalui website dan media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, tetapi responnya masih sangat kecil.

"Sampai sekarang, penjualan masih secara konvesional, yaitu menjajakan di pasar, atau menunggu para pembeli datang mencari ke sini (Kampung Mautonggo, red),” ujar Siti Marwa lagi.

Makanya, dia melanjutkan, kalau boleh Pemerintah Daerah Kabupaten menyediakan lapak di ibu kota kabupaten agar hasil tenun Tonggo dapat dijajakan di sana. 

“Selain itu, pemerintah kabupaten kalau boleh menyelenggarakan kegiatan pameran kain tenun sesering mungking dengan melibatkan para penenun, termasuk yang dari Tonggo ini,” pungkas Siti Marwa. (MAP). ***

Editor: redaksi
Tags pemasaranMautonggoBagikan

RELATED NEWS