Pasar Wuring: Kepastian Hukum atau Hak Rakyat yang Terampas?
redaksi - Selasa, 14 Oktober 2025 23:12
Oleh: Pater Vande Raring, SVD
TULISAN ini berangkat dari sanggahan Yosef Nong, SH, MH — seorang pegawai Satpol PP Kabupaten Sikka — yang menegaskan perlunya kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Agung soal penutupan Pasar Wuring.
Dalam pandangannya, keputusan pemerintah menutup pasar itu adalah bentuk ketaatan terhadap hukum dan cermin budaya demokrasi.
Namun, dalam semangat penegakan hukum itu, Yosef Nong seakan menafikan satu hal mendasar: kehidupan rakyat kecil yang bertahun-tahun menggantungkan hidup dari pasar tersebut.
Pertanyaan pun muncul: apakah kepatuhan terhadap hukum formal harus mengorbankan hak rakyat untuk hidup dan bekerja?
Hukum dan moralitas sosial
Dalam sejarah pemikiran hukum, ada dua tradisi besar yang saling berhadapan: positivisme hukum dan hukum alam (natural law). Positivisme hukum — seperti dipahami dari pemikiran Bentham, Austin, Kelsen, dan Hart — melihat hukum hanya sebagai seperangkat aturan yang sah karena dibuat oleh lembaga berwenang. Hukum dipatuhi bukan karena adil, tetapi karena ditetapkan.
Namun, tradisi hukum alam menegaskan bahwa keabsahan hukum tak bisa dilepaskan dari moralitas. Cicero, Agustinus, dan Thomas Aquinas pernah menulis, lex iniusta non est lex — hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Dalam konteks ini, menegakkan aturan tanpa mempertimbangkan keadilan substantif sama dengan menegakkan kekuasaan tanpa nurani.
Fakta di lapangan menunjukkan, hukum yang dijalankan secara kaku justru bisa menimbulkan ketidakadilan sosial.
Terlalu sering, “pasal” digunakan bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk menekan mereka. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara hukum dan moralitas publik.
Negara hukum yang demokratis
Yosef Nong menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Benar. Tapi, negara hukum yang demokratis, bukan otoriter.
Dalam negara demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, sementara pemerintah hanyalah pelaksana mandat rakyat.
Ketika kebijakan dibuat tanpa dialog, tanpa mendengar suara rakyat, di situ terjadi pembalikan makna: alat negara berubah menjadi penguasa, bukan pelayan.
Rencana penutupan Pasar Wuring — tanpa proses komunikasi yang terbuka dan partisipatif — mencerminkan kecenderungan seperti itu.
Jejak historis dan dasar hukum
Sejak era Bupati Roby Idong (2018–2023), Pasar Wuring beroperasi tanpa masalah berarti. Pedagang membayar pajak, menjaga kebersihan, dan menjadi bagian vital dari ekonomi pesisir Maumere.
Tetapi setelah Penjabat Bupati Adrianus Firminus Parera menjabat (September 2023–2024), muncul surat penghentian aktivitas pasar (Nomor: B.Ekon.511/104/XI/2023, tanggal 16 November 2023).
Pemda beralasan bahwa Pasar Wuring tidak memenuhi syarat izin berusaha, melanggar tata ruang, dan tak memiliki AMDAL. Padahal, CV Bengkuni Jaya — pengelola pasar — mengaku sudah mengurus izin melalui sistem online dan rutin membayar retribusi serta pajak ke kas daerah.
Fakta ini menimbulkan ironi: jika pasar benar-benar ilegal, mengapa pemerintah selama ini menerima pajaknya? Inkonsistensi ini membuat publik bertanya-tanya, apakah penutupan pasar murni soal hukum atau justru ada kepentingan politik dan ekonomi di baliknya.
Kepatuhan hukum versus keadilan substantif
Dalam tulisannya, Yosef Nong menegaskan bahwa pelaksanaan putusan Mahkamah Agung adalah kewajiban hukum. Benar. Tetapi, perlu diingat: perkara Pasar Wuring bukan pidana, melainkan administratif.
Hukum administrasi bertujuan mengatur dan menjaga ketertiban, bukan menghukum. Sanksinya pun bersifat reparatoir — memulihkan keadaan, bukan menindas pelaku.
Prinsip hukum administrasi menuntut asas kepastian hukum, keterbukaan, dan kemanfaatan publik. Maka, Pemda Sikka wajib menjawab:
- Apakah sudah dilakukan sosialisasi dan dialog sebelum penutupan?
- Apakah pedagang diberi solusi relokasi atau kompensasi?
- Mengapa hanya Pasar Wuring yang disorot, sementara pelanggaran serupa di tempat lain seakan dibiarkan?
Jika jawaban atas pertanyaan ini nihil, maka langkah Pemda kehilangan dasar moral, sekalipun tampak sah secara hukum.
Fragmentasi birokrasi dan lemahnya koordinasi
Kasus Pasar Wuring juga memperlihatkan lemahnya koordinasi antarinstansi. Seharusnya, ketika ditemukan pelanggaran izin, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menjadi pihak pertama yang bertindak.
Dinas teknis lainnya seperti Disperindag atau Dinas Perhubungan wajib terlibat dalam verifikasi dan penindakan administratif.
Namun, yang muncul justru surat langsung dari Penjabat Bupati — tanpa tahapan administratif yang jelas. Melalui tulisan Yosef Nong yang menyertakan identitas sebagai Kepala Satpol PP, Satpol PP tampil paling depan untuk melaksanakan amar putusan MA.
- Bayar Main Padel Pakai QRIS BRImo, Raih Cashback Rp100 Ribu Langsung!
- Pertarungan Smartphone Tipis: iPhone Air vs Samsung Galaxy S25 Edge, Siapa Lebih Unggul?
- Bacaan Liturgis, Selasa, 14 Oktober 2025: Berikanlah Sedekah dan Semuanya Menjadi Bersih
Tanpa menyinggung peran dinas dan lembaga terkait, Yosef Nong seakan meberi sinyal bahwa Satpol PP seolah ‘bertindak sendiri atas nama Pemda Sikka’, padahal mereka wajib berkoordinasi dengan instansi-instasi yang bertanggung jawab dengan urusan pemberi izin pendirian dan pengelolaan pasar.
Di mata publik, fenomena ini menunjukkan fragmentasi pemerintahan, di mana tiap instansi berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi dan kobalorasi.
Fragmentasi seperti ini adalah racun birokrasi: melahirkan tumpang tindih wewenang, perebutan anggaran, dan kebijakan yang membingungkan rakyat.
Hukum harus berpihak pada manusia
Penolakan kasasi CV Bengkuni Jaya oleh Mahkamah Agung (No. 209 K/TUN/2025) memang memberi dasar hukum bagi Pemda Sikka untuk menutup pasar.
Tapi ingat, hukum tidak berdiri di ruang hampa. Pemerintah tetap memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan transisi yang adil bagi para pedagang.
Dialog tranparan tentang relokasi yang manusiawi, pemberian kompensasi, atau penyediaan lokasi baru adalah langkah minimal yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya taat pada hukum, tapi juga peduli pada rakyat.
Tanpa itu, penegakan hukum hanya menjadi formalitas kering tanpa keadilan sosial.
Konsekuensi ekonomi penutupan pasar pun besar. Pasar Wuring bukan sekadar tempat jual beli, tapi nadi ekonomi masyarakat pesisir.
Ribuan orang hidup dari sana — nelayan, pedagang, buruh, pengangkut ikan, hingga anak-anak yang sekolah dari hasil dagangan orangtuanya. Menutup pasar tanpa solusi sama dengan mencabut napas kehidupan warga.
Belajar dari praktik baik
Banyak negara sudah menemukan cara bijak menggabungkan penegakan hukum dan perlindungan sosial. Di Singapura, relokasi pasar dilakukan melalui konsultasi publik dan kompensasi. Di Korea Selatan dan Jepang, pedagang diberi fasilitas baru sebelum pasar lama ditutup.
Bahkan di beberapa daerah Indonesia, seperti Surabaya dan Bandung, pemerintah menata ulang pasar dengan melibatkan komunitas pedagang. Pendekatan semacam ini bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga kepercayaan publik.
Ujian moral dan politik Pemda Sikka
Kasus Pasar Wuring kini menjadi ujian moral dan politik bagi Pemda Sikka: apakah mampu menyeimbangkan kepastian hukum dan keadilan sosial? Ataukah hanya bersembunyi di balik pasal-pasal hukum tanpa empati terhadap rakyat kecil?
Pemerintahan yang baik bukan hanya taat pada hukum, tapi juga mampu menjadikan hukum sebagai sarana kesejahteraan, bukan alat kekuasaan. Bila rakyat kehilangan kepercayaan, hukum pun kehilangan wibawanya.
Kepatuhan hukum yang tidak dibarengi keadilan substantif hanyalah legalitas kosong. Pemerintah bisa saja benar secara administratif, tapi gagal secara moral.
Penutup
Pasar Wuring bukan sekadar sengketa izin atau persoalan tata ruang. Ia adalah simbol benturan antara formalisme hukum dan realitas rakyat kecil.
Pemerintah memang wajib menegakkan aturan, tetapi tidak boleh menutup mata terhadap martabat manusia.
Jika Pemda Sikka ingin membangun legitimasi dan kepercayaan publik, kepastian hukum harus berjalan beriringan dengan keadilan sosial.
Menutup pasar tanpa dialog, tanpa solusi, dan tanpa empati bukanlah penegakan hukum — itu penindasan atas hak hidup rakyat dalam balutan legalitas.
Pasar Wuring adalah cermin: apakah hukum di negeri ini masih menjadi pelindung bagi yang lemah, atau justru alat kekuasaan yang membungkam suara rakyat?
Selama pemerintah belum mampu menjawab pertanyaan itu dengan tindakan yang adil dan manusiawi, maka di mata rakyat, hukum masih tampak seperti tembok tinggi yang memisahkan penguasa dari yang dikuasai — bukan jembatan yang menghubungkan mereka dalam semangat keadilan sejati. *
*Pater Vande Raring adalah Pastor dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten Sikka. Saat ini bekerja di Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Serikat Sabda Allah (SVD). ***