Pengamat dan Praktisi Pendidikan Menilai Kebijakan Masuk Sekolah Pagi Sekali Berdampak Buruk Bagi Siswa
redaksi - Jumat, 03 Maret 2023 17:11JAKARTA (Floresku.com) - Kebijakan Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) menerapkan jam masuk sekolah pukul 05.30 WITA menjadi sorotan banyak pihak.
Pengamat Perkembangan Anak dan Remaja, dan Pendidikan dari Fakultas Psikologi UGM, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., menilai kebijakan yang diterapkan tersebut kurang bijaksana dan kurang komperehensif.
“Dalam kajian perkembangan dan pendidikan sampai saat ini belum ada studi yang menjustifikasi jika sekolah dimulai lebih pagi dan menambah lama jam sekolah memiliki signifikansi terhadap etos belajar, kedisiplinan, dan prestasi siswa. Dengan begitu kebijakan ini kurang bijaksana,” paparnya, seperti dikutip InfoPublik.id, dari rilis Humas UGM, Kamis (2/3).
Novi mengatakan kebijakan tersebut akan menimbulkan dampak buruk jika tetap dijalankan dan tidak segera dilakukan mitigasi. Kebijakan sekolah masuk lebih pagi bisa berdampak negatif pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa.
Dari sisi fisik, masuk sekolah lebih pagi akan memengaruhi kualitas tidur sehingga berpengaruh pada kondisi fisik anak. Sementara itu, penambahan jam sekolah akan mengakibatkan kelelahan kronis pada anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terserang penyakit. Hal teresebut pada akhirnya akan memengaruhi fokus belajar anak.
“Masuk lebih pagi, terburu-buru, dikahwatirkan anak-anak jadi tidak sempat sarapan atau sarapan namun kurang berkualitas sehingga memengaruhi konsentrasi belajar di sekolah,” imbuhnya.
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi juga akan berpengaruh pada emosi anak karena harus bangun lebih pagi yang tentunya bukan menjadi hal yang mudah. Demikian halnya dengan orang tua, yang bisa tersulut emosinya ketika menjumpai anak-anak belum siap.
“Akan banyak berpotensi memunculkan problem emosi, yang seharusnya berangkat dengan emosi positif penuh harapan dan motivasi. Namun justru diawali dengan emosi negatif. Belum lagi kalau terlambat anak akan menerima hukuman, disini anak-anak juga bisa timbul emosi dan begitu juga gurunya emosi karena capek,” urainya.
Menurut dia, ada lingkaran persoalan emosi negatif yang dimunculkan dalam kondisi ini.
“Apabila hal tersebut berlangsung dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan mengajar guru,” ucapnya.
Kebijakan tersebut juga memengaruhi aspek kognitif pada anak. Novi menjelaskan bahwa otak manusia akan berfungsi secara optimal jika kondisi seluruh tubuh berada dalam keadaan fit dan bahagia. Jika hal itu tidak terjadi maka otak tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga berkontribusi pada penurunan kualitas numerasi, literasi, serta pengambilan keputusan.
Karena masuk sekolah lebih pagi, dikatakan Novi anak-anak menjadi kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga. Demikian pula dari sisi kemanan, kebijakan ini masih kurang tepat. “Kalau masuk lebih pagi kan masih gelap. Ini perlu dipikirkan kemanannya, terutama daerah-daerah pinggiran yang jalanannya masih sepi kan bahaya,” tuturnya.
Lebih lanjut Novi mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi untuk mendorong kedisiplinan siswa pada realitanya tidak tercapai. Dari pantauan yang dilakukan oleh Kompas.id ada sekitar 96,16 persen siswa yang terlambat di SMA N 1 kota Kupang pada Rabu (1/3).
“Kebijakan tersebut juga kurang empatik dan komperehensif karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial siswa dan guru. Dari investigasi beberapa media tercatat tidak semua anak punya kendaraan sendiri sehingga harus menyewa lebih mahal ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa pergi bekerja karena harus mengantar anaknya dahulu. Kebijakan ini jadi kurang terlihat memanusiakan,”jelasnya.
Novi kembali menegaskan bahwa kebijakan yang ditetapkan pemprov NTT kurang tepat sebagai upaya untuk mendorong kedisplinan, etos belajar, produktivitas, dan prestasi pada siswa. Menurutnya, memajukan jam masuk sekolah bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Cara yang dirasa efektif untuk membentuk kultur belajar di sekolah adalah yang memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas.
“Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,”jelasnya.
Rasa keingin tahunan pada siswa ini dikatakan Novi perlu dibangun melalui dialog. Sebab siswa masih berada dalam tahapan usia remaja yang sedang berkembang menemukan identitas diri. Dengan sering melakukan dialog dengan guru diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri akan pentingnya disiplin maupun belajar. Sayangnya, sekolah di Indonesia saat ini masih minim dalam membangun dialog dan rasa ingin tahun pada siswa.
Novi menyebutkan upaya membangun kreativitas dan memfasilitasi pengembangan imajinasi pada siswa juga perlu diupayakan. “Problem anak sekarang ini 79% itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran ditambah justu akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar sehingga bagaimana menciptakan kultur baru yang memperhatikan kodrat-kodrat manusia perlu dipikirkan,” katanya.
10 kepala sekolah bersikap gegabah
Kebijakan masuk sekolah pukul 05.30 WITA di NTT menjadi sorotan publik secara luas tidak terlepas dari 10 kepala sekolah yang bersikap gegabah.
“Kebijakan itu menjadi sorotan publik karena 10 kepala sekolah mengatakan siap untuk melaksanakannya, ketika gagasan tersebut ditawarkan oleh Gubernur NTT,” ujar seorang praktisi pendidikan di Kupang kepada media ini.
Menurut dia, pernyataan siap untuk melakukan kebijakan masuk sekolah sangat pagi itu mencerminkan kepribadian dan sikap mental pendidik yang tidak matang.
“Mereka sangat ingat diri. Mereka bersikap ABS (asal bapak senang, red). Mereka menyatakan kesiapan secara gegabah. Seharusnya, mereka menanggapi tawaran Pak Gubernur dengan sikap kritis dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek kehidupan keluarga dan kepentingan para siswa dan orang tua,” tandasnya.
Mereka seharusnya paham, katanya lagi, bahwa sekolah dan siswa unggul tidak ditentukan oleh masuk kelas pagi-pagi sekali.
“Ada banyak faktor yang menentukan apakah sebuah sekolah menjadi sekolah unggul. Begitu pula ada banyak faktor yang membuat para siswa berkembang optimal dalam berbagai aspek kepribadian, khusunya aspek intelektual dan emosional,” ungkapnya lagi.
Hal senada diungkapkan Adrian Rusmin seorang praktisi pendidikan yang berdomisili di Jakarta.
Menurut dia, keunggulan belajar selalu terkait dengan kenyamanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya dengan ketidaknyamanan, ketakutan, dan ketergesaan untuk melakukan akivitas belajar.
“Oleh karena itu komunitas sekolah harus mengatasi kecemasan, kemarahan, dan segala bentuk ketaknyamanan supaya para siswa siap dan termotivasi untuk belaja. Sekolah juga harus menyediakan ruang atau tempat belajar yang nyaman, guru yang ramah, bahan ajar dan model pembelajaran yang menyenangkan supaya proses belajar berjalan secara menyenangkan,” ujarnya.
'Pokoknya, kalau mau para siswa berprestasi maka masyarakat, terutama orang tua dan guru di sekolah harus menciptakan suasana yang tenang dan nyaman secara fisik dan emosional sehigga siap dan mampu terlibat secara efektif dalam proses pembelajaran," tandas. (Silvia). ***