Presiden, Foto, Keputusan dan Puasa Kita
redaksi - Jumat, 14 Maret 2025 22:30
Oleh Pater Kons Beo, SVD
“Aku tidak ingin foto ku ada di kantor-kantor. Karena aku bukan Tuhan, bukan pula ikon, tetapi aku adalah pelayan bangsa. Sebaliknya, taruhlah foto-foto anak-anakmu sehingga kamu akan melihatnya setiap kali hendak mengambil keputusan.”
Itulah kata-kata tegas dari Bassirou Diomaye Faye. Tepat pada 2 April 2024, ia dilantik sebagai Presiden Senegal. Presiden Faye lahir pada 25 Maret 1980.
Ia seorang muslim yang taat. Punya cita-cita besar ‘perangi korupsi dan mereformasi ekonomi.’ Begitulah tekadnya dalam pidato pelantikan.
Dengan latar pendidikan di bidang hukum dengan gelar Master, dan Sekolah Administrasi Nasional, segenap Senegal punya harapan besar. Senegal, negeri berpenduduk sekitar 18,790,004 itu, punya harapan besar.
Semuanya demi kemajuan bangsa. Mari balik pada Faye, Foto dan Kantor. Presiden mana yang tak ingin rakyatnya ‘maju-maju dan sejahtera.’ Rakyat yang tetap tertahan pada situasi ‘yang itu-itu saja.’
Presiden Faye, yakinlah, tak sedang gulirkan kata-kata kosong. Sekedar bicara lepas tempias tak berarah. Demi kemajuan bangsa, dari tingkat Nasional sampai tingkal regional hingga lokal, semuanya tergantung dari ‘dayanya sebuah keputusan.’
Mari menafsir Faye selanjutnya. Leadership di tingkat manapun sepantasnya miliki kewibawaan dalam berkeputusan! Dan itu mesti lahir dari satu proses penuh atentif.
Semuanya demi terlahirnya sebuah keputusan yang ‘pro kehidupan, pro kemanusiaan, pro kebaikan bersama, pro kelestarian alam dan lingkungan, pro suasana kehidupan bersama yang harmoni.’
Yang diminta seorang Presiden Faye, tak perlu fotonya yang dipajang di kantor. Daya perenungannya dalam. ‘Ia bukan Tuhan.’ Ia tak ingin terjebak dalam ikonoklasme murahan.
Segenap perangkat di kantor-kantor mesti berdedikasi all out demi pelayanan publik masyarakat. Bersama Sang Presiden, semuanya baktikan diri dan karya demi Bangsa dan Negara.
Sekiranya Faye ingin bilang, “Kita semua bekerja sama demi kemajuan Negeri.”
Presiden Faye tak mau ‘wajahnya terpandang.’ Ia tak mau aparatur bekerja hanya di bawah ‘pengawasan wajah Presiden.’ Bisa jadi Sang Presiden ingin kikis aura ‘presiden-sentris.’
Di situ aparatur dipaksa takut serius karena Presiden. Dan karenanya semua mesti ada di jalur demi Presiden dan harus terpusat pada Presiden. Tidak kah ini yang bisa tebalkan gelora ‘Asal Bapa Senang?’ Sementara itu, rakyat – bangsa dan Tanah Air hanya bisa diintip dengan sepotong dan sebelah mata!
Kiranya Faye tak ingin pula bakal terlahir sekian banyak pencinta, pembela, penyembah atau pun, kasarnya, penjilat dirinya sebagai Presiden ketimbang semesti lahirlah lebih banyak pejuang dan orang-orang yang tetap miliki hati nurani demi rakyat, bangsa dan negeri Senegal tercinta. Mari lanjut!
Saat kata-kata Faye terarah bahwa ‘sepantasnya dipanjangkanlah foto anak-anakmu di kantor,’ Sang Presiden nampaknya menuntun segenap aparatur dalam perenungan kontemplatif demi mengabdi bangsa.
Agar, bagai anak-anak, para abdi bangsa dan negara ini bertaruh hidup dan kerja penuh sukacita. Demi masa depan negeri yang masih miliki cita-cita lebih besar.
‘Anak-anak adalah kisah dan cita hidup masa depan yang mesti dipintal dan ditenun penuh tanggungjawab sedari awal di hari ini dan saat kini.’
Siapa pun anak bangsa dan putra-putri negeri tentu tak ingin tiba akhirnya nanti pada suasana dan keadaan mencekam, dan menakutkan. Yang terlukis sebagai suasana penuh ‘ratapan dan kertak gigi.’
Faye hanya ingin katakan, sekiranya foto anak-anak sendiri yang dipanjang itu adalah tanda Kasih. Bahwa hidup dan pengabdian di kantor mesti jadi ungkapan nyata Kasih yang tulus, sehat, benar dan sewajarnya serta seharusnya bagi anak-anak serta keluarga!
Dan, mari beralih ke Puasa kita. Sekiranya, seperti Faye, Yesus Tuhan kita memohon setiap kita untuk tidak menaruh apapun gambarNya, Salib dan semua atribut sakral lainnya.
Sejenak disingkirkan semuanya dari ruang-ruang hadir kita dan bahkan dari dalam hati kita. Sebaliknya ditaruhlah foto-foto ‘kaum yang lapar, haus, orang asing, yang telanjang, yang sakit, dan kaum tahanan’ (cf Matius 25: 31 – 46).
Sekiranya Yesus meminta kita untuk tempatkan foto-foto korban kekerasan, kaum penjelajah tanpa arah akibat perang dan pertikaian.
Sekiranya dipanjangkanlah foto-foto kaum penuh dukalara dan air mata karena diabaikan, karena ketakpedulian, karena ditinggalkan untuk sebuah kembali yang tak mungkin.
Di Masa Puasa ini, akan kah aku bilang pada semesta ‘aku tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab atas semua kegetiran ini?’
Atau kah sebisanya ‘aku bertarung bagai Simon orang Kirene itu, atau biarlah cuma sebatas menyapu wajah penuh derita bagai si Veronika yang berbuat sebisanya?’
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***