Puasa Satu Putaran (sekadar satu perenungan)

redaksi - Kamis, 15 Februari 2024 13:09
Puasa Satu Putaran (sekadar satu perenungan) (sumber: null)

 

"Mari hembuskan nafas Kasih ke langit. Agar mendung segera berlalu.  Tidak kah sama-sama kita rindukan hangatnya sinar mentari dan teduhnya cahaya rembulan emas?"
(Sang Bijak)

P. Kons Beo, SVD

Di hari-hari retret agung Gereja ini terhamparlah permadani lembut menuju takhta Belaskasih Ilahi. Momentum kerka lahir batin dalam Puasa 40 hari ini mendesak kita, Umat Allah, untuk bertarung. Ini bukan soal durasi waktu yang terbilang 40 hari itu. Tapi ini berpautan akan tersedianya kesempatan untuk bertobat yang mesti direguk teguk.

Pintar cari muka dengan Tuhan mesti disiasati penuh sadar. Begitu pun tunjuk muka dengan sesama mesti digencari. Sebab? Telah ada sikap beriman yang kabur tak jelas. Tuhan telah jadi 'mainan demi kepentingan.' Kini saatnya, ingin pulang pada Tuhan sepantasnya jadi keharusan. Puasa mesti jadi jalan batin nan sunyi  untuk menjangkau kuasa pengampunan ilahi. Namun?

Dari takhta belaskasih dan pengampunan tersuaralah alarm spiritual: Laksanakanlah puasa nan senyap. Jangan fermak air muka penuh buram banyak akal-akalannya. Hanya supaya publik tahu bahwa puasa lagi dijalankan! Puasa pencitraan itu sungguh diharamkan!

Sebab puasa yang benar itu adalah jalan tobat hati nan religius. Bukan untuk pamer-pamer. Bukanlah aksi bergelora penuh gelegar beraura kampanye. Sebab puasa, sama seperti doa dan sedekah, terasa geli menjijikkan sekiranya dipolitisasi.

Sungguh! Puasa yang 'sehat' itu antitesis dari gimik supaya ketahuan publik bahwa, itu tadi, sedang berpuasa. Tuhan tak suka...

Makanya, biar carikan saja minyak rambut. Sesudah basuh muka, segera bikin wajah segar ceriah bersinar. Puasa itu butuh juga 'tipuan suci' yang bikin publik terkecoh. Biarlah hanya Tuhan segala kesunyian dan mahatahu lah yang memaklumi semuanya.

Puasa itu juga adalah jalan kita pulang kembali pada sesama.  Hari-hari ini kita telah menjarak dari sesama. Kita telah jadi linglung bahkan kesurupan antara harapan dan kecemasan nasib.

Senyum dan tawa kita royalkan pada yang 'mengandung harapan.' Namun, terhadap yang dianggap mengandung 'tantangan dan halangan,' kita sungguh kesulitan untuk sanggup membendung dan hilangkan curiga, sikap penuh sinis,  amarah dan bahkan sikap penuh benci. Sungguh! Semakin terciptalah jarak pandang yang jauh dan melebar.

Retak-retak relasi jadi nyata dalam hidup kebertetanggaan. Di jumpa sua itu aura wajah 'hanyalah sekedar saja. Sebab di situ banyaklah sandiwaranya pula.' Kita sudah kehilangan kepolosan dan sikap penuh spontan. Terhadap sesama kita hanya punya banyak trik. Menjebaknya demi 'mau-maunya kita sendiri.

Ini belum lagi soal perang kata tak beretika penuh sengit di sosial media. Kritik yang wajar telah berubah jadi penghinaan bertendensi ad hominem . Sebab, kita sudah terlalu ketagihan untuk merasa diri serba OK dan memperkecil jangkauan pikiran dan daya merasa sesama yang lain.

Kita telah remehkan hak dan kebebasan orang lain. Sebab kita telah terbelenggu dalam keyakinan diri sendiri sebagai standar segala kebenaran terhadap semua yang lain. Kitalah penguasa kebenaran itu.

Saatnya kita mesti 'dihumuskan' kembali. Bahwa kita sungguh dibentuk dari debu tanah. Kita benar-benar fana dan rapuh. Yang hidup sungguh 'hanya atas KasihNya. Hanya atas kehendakNya.'

Humus itu mesti jadi inspirasi agar 'humility' (kerendahan hati) jadi dasar ungkapan diri dan jadi kemudi cara berada kita. Sebab tanpa itu kita segera jadi 'garam yang ludahi laut, pun bagai kacang lupa kulitnya.'

Humus menuntun kita kembali ke keteduhan persaudaraan debu tanah. Merekatkan kembali 'kekitaan' dalam ikatan benang kasih sayang. 'Biarkanlanlah berlalu semua yang sudah-sudah. Mentari dan rembulan tetaplah bersinar untuk menyambut kita 'kita kembali pulang untuk saling menjumpai.'

Momentum penuh hening, khusuk dan sakral ini 'hanya berlangsung' satu putaran. Berdurasi 40 hari. Di satu putaran hari-hari puasa ini, gerak purifikasi diri mesti dilewati. Sebab pancaindra kita telah cemar. Pikiran, perkataan, kehendak hati itu sudah banyak serongnya. Kita hanya meraba-raba sesama dalam gelapnya pikiran dan tafsiran punya kita sendiri.

Puasa satu putaran ini mesti jadi kisah agung kayros. Momentum kita jumpai dan alami kembali daya rahmat Tuhan yang membebaskan. Pun kita ingin kembali hadir dalam hati sesama. Begitu pun sesama mesti punya spasi dalam hati kita.  Sebab kita tak ingin 'damai ini pergi' dan semuanya mesti berlalu begitu saja. Tidak!

Sungguh! Di hari-hari puasa dalam satu putaran Tahun Liturgi kita bertekad hati demi benah diri dalam doa, karya amal dan bakti sosial. Sekiranya puasa kita adalah juga saat kontemplasi demi 'telajangi diri' agar 'benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin,' kita juga mesti berkontemplasi 'dengan mata terbuka.' Agar jelas  menatap, mengalami dan berbuat sesuatu demi sesama dan dunia yang terluka.....

Verbo Dei Amorem Spiranti

Editor: MAR

RELATED NEWS