Pulau Pasir, Ikhlaskah Kita Melepaskannya?

redaksi - Minggu, 20 November 2022 07:18
Pulau Pasir, Ikhlaskah Kita Melepaskannya?Dr. Ing Ignatius Iryanto Djou (sumber: Istimewa)

Oleh Dr. Ing Ignatius Iryanto Djou, Sekjen  Archipelago Solidarity Foundation

Sikap Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) kita sudah sangat clear dan tegas soal Pulau Pasir yaitu bahwa Pulau Pasir atau Ashmore Reef adalah milik Australia yang diwarisi dari Inggris.

Klaim masyarakat adat Rote ndao yang menyataan bahwa Pulau Pasir sudah lama menjadi tempat persinggahan nelayan nelayan tradisional Rote justru dijelaskan oleh Kemenlu bahwa hal itu dimungkinkan karena ada MoU antara RI dan Australia pada tahun 1974 yang kemudian disempurnakan dalam perjanjian di tahun 1981 dan 1989. 

Bahkan, sebelumnya dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957, Pulau Pasir tidak pernah diklaim sebagai wilayah Indonesia. 

Deklarasi ini kemudian diundangkan pada tahun 1960 dengan tetap tidak memasukan Pulau Pasir dalam wilayah Indonesia. 

Terakhir di masa Presiden Joko Widodo, dalam PP N0 37 tahun 2008 yang kemudian diubah dalam Keppres no.6 tahun 2017 yang mencantumkan 111 pulau pulau kecil  terluar, tidak termasuk Pulau Pasir di dalamnya. 

Di wilayah Provinsi NTT,  yang termasuk pulau pulau kecil terluar dalam Keppres tersebut adalah: Pulau Alor, Pulau Batek, Pulau Rote, Pulau Ndana, Pulau Sabu, Pulau Dana dan Pulau Mangudu. 

Dalam sejarah juga disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menolak klaim pemerintah Inggris atas pulau tersebut yang kemudian diwriskan ke Australia. 

Walaupun demikian, masyarakat adat tanah Rote Ndao tetap ngotot ingin mengggugat pemerintah Australia ke pengadilan common wealth di Canbera. 

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanone telah menyurati Menko Marves Luhut Panjaitan dan Menteri Perikanan dan Kelautan dengan permintaan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia dalam wilayah pulau pasir tersebut. Hal yang jika dilihat dari isi Kepres tahun 2017 tidak mungkin dilakukan oleh Indonesia. 

Terakhir, Dr. Rahman Sabon yang menjadi Ketua Umum Partai Daulat Keradjaan Nusantara mendesak Presiden Joko Widodo agar memerintahkan TNI untuk segera menduduki Pulau Pasir. 

Dasar yang dipakai menurut Dr. Rahman Sabon adalah adanya akta (bukti) ukur tanah Pulau Pasir oleh HIndia Belanda dalam Acte van Eigendom seluas 15.600 Ha pada bulan Juli 1927. 

Acte tersebut disebut dimiliki oleh masyarakat adat tanah Rote Ndao. 

Pertanyaan kritisnya, mengapa Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mengklaim pulau tersebut ketika diakui oleh Inggris?

Selain bukti bukti yang valid dalam dokumen dokumen RI Sendiri yang tidak pernah memasukkan Pulau Pasir ke dalam wilayah NKRI (mengapa selama ini tidak pernah diprotes juga?).

Klaim atas dasar sejarah dalam praktek hukum internasional sekarang ini sangat sulit untuk dijadikan dasar. 

Sebab, sangat sulit ditentukan, sampai tahun berapa kita harus mundur dalam garis sejarah? 

Apakah wilayah wilayah kerajaan tua dulu dapat dijadikan dasar klaim wilayah untuk kondisi dunia saat ini ?

Apakah Indonesia bisa mengklaim eks wilayah Madjapahit ? Atau dapakah China mengklaim eks wilayah Djengis Khan? Italia mengklaim eks wilayah imperium Romanum? Yunani mengklaim eks wilayah Aleksander Agung?

Jangan juga dilupakan bahwa klaim China atas Laut China Selatan juga didasarkan pada aspek sejarah yang mirip, bahwa Pulau Natuna adalah rute tradisional nelayan nelayan China masa lalu.

 Argumen itu secara tegas di tolak oleh kita yang mengacu pada Uniclos. 

Karena itu, mendesak Ri menduduki Pulau Pasir secara militer jelas tidak bijak. Apalagi jika Presiden sebagai Panglima Tertinggi yang kemudian memerintahkan hal tersebut. Ia akan jadi bahan tertawaan, karena ia seakan terpaksa melanggar isi Keprresnya sendiri. 

Dengan berat hati, saya mengusulkan untuk merelakan saja Pulau Pasir tersebut menjadi wlayah Australia. 

Namun, bisa diusahakan agar wilayah atau sebagian wilayahnya masih boleh disinggahi oleh nelayan-nelayan tradisional kita. 

Dapat diperjuangkan pula agar peluang tenaga kerja dari NTT diberikan peluang secara khusus untuk bekerja di Pulau Pasir jika dieksplorasi oleh Australia.

 Mungkin tuntutan seperti ini bisa lebih mudah dinegosiasikan dan diperjuangkan.

Hal yang kedua, dari pengalaman ini, provinsi-provinsi kepulauan di wilayah wilayah terluar agar lebih jeli mendata pulau pulau disekitarnya.

Mereka perlu melakukan cross check ke Keppres tentang pulau-pulau kesil terluar agar jika ada pulau yang belum masuk , dapat segera dimasukan dan Keppress tersebut bisa segera diubah.

Hal lain, aktivitas yang menunjukkan legalitas kepemilikan kita atas pulau-pulau tersebut juga sebaiknya dilakukan secara periodik. 

Agar klaim legalitas dokumen negara juga diperkuat dengan bukti adanya aktivitas legal di atas pulau tersebut. 

Pulau-pulau kecil masuk dalam wilayah yang paling rentan terhadap bahaya perubahan iklim dan sudah menjadi concern global untuk menyelamatkan pulau-pulau tersebut.

Peluang ini sebaiknya dimanfaatkan agar ada kegiatan di pulau-pulau tersebut. 

Kekalahan kita dalam kasus Sipadan dan Ligitan salah satunya alasannya adalah kita tidak punya catatan kegiatan apapun di sana. Sementara Malaysia memiliki bukti kegiatan seperti perawatan hutan mangrove

Pengalaman ini sebaiknya tidak dilupakan agar tidak diulang lagi. ***

 

 

 

 

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS