Sampah Medis RSUD TC Hillers Dibakar Dekat Pemukiman Tanpa Sosialisasi, Warga Resah dan Minta Pemerintah Menghentikannya
redaksi - Rabu, 11 Desember 2024 22:24MAUMERE (Floresku.com) - Setelah ‘terlantar’ selama lebih dari dua bulan, sampah medis tempat penampungan sampah RSUD TC Hillers, akhirnya dibakar, Rabu (11/12) petang.
“Limbah medis B3 dibakar memakai mesin incinerator yang diduga belum memiliki uji emisi sehingga menimbulkan asap hitam. Sebagian warga yang tinggal bersebelahan rumah sakit TC Hillres Maumere merasa resah karena pihak rumah sakit tidak melakukan sosialisasi sebelum aksi pembakaran tersebut. Warga meminta pemerintah segera hentikan proses pembakaran sampah B3 yang terjadi saat ini,” tulis seorang warga kepada media ini, melalui WhatsApp.
Dari video singkat yang terlampir pada pesan WA tersebut, terdengar suara sesorang mendesah, kabut asap, kabut asap, kabut asap.
Mengutip tulisan, Ketut Iwan Darmawan yang ditayangkan portal Dinas Lingkungan Hidup Buleleng, Bali, diketahui bahwa rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan di sekitar rumah sakit agar tidak mengalami pencercemaran.
Rumah sakit seyogyanya mampu mengelola limbahnya baik dalam bentuk padat, cair, pasta maupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme patogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif.
Limbah tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3) yang dapat memengaruhi kesehatan manusia, memperburuk kelestarian lingkungan hidup apabila tidak dikelola dengan baik.
Salah satu cara pengelolaan limbah B3 rumah sakit (limbah medis padat) yaitu dengan membakar pada insinerator. Insinerator merupakan alat pemusnah sampah dengan cara pembakaran pada suhu tinggi (8000 – 1.0000C). Secara sistematis pengolahan tersebut baik bagi lingkungan, tetapi dalam penerapannya memerlukan pemenuhan persyaratan baik secara administrasi (perizinan) dan teknik sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar (sosial kemasyarakatan).
Kebijakan untuk mengolah limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan pemerintah dimana peraturan yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi seperti berikut :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Sarana insinerator sebagai sarana pengelolaan limbah B3 dari kegiatan rumah sakit, melakukan pengelolaan dan pemantauan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari operasional insinerator yang tertuang dalam dokumen lingkungan kegiatan rumah sakit.
- Unika Santu Paulus Ruteng Agendakan Konferensi Internasional 4th ICEHHA Akhir Pekan Ini
- BRI Siapkan Uang Tunai Rp24,6 Triliun untuk Penuhi Kebutuhan Nataru
Kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit merupakan kegiatan yang wajib dilengkapi dengan dokumen lingkungan berupa UKL-UPL yang telah memenuhi kesesuaian tata ruang, dan dilengkapi dengan persetujuan teknis yang meliputi pemenuhan baku mutu limbah cair, baku mutu emisi, analisis dampak lalu lintas dan rincian teknis pengelolaan limbah B3. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit wajib melakukan penyimpanan Limbah B3 dan dapat melakukan pengolahan limbah B3 dengan menggunakan insinerator.
Sehingga jika dilihat dari persyaratan administrasi maupun teknis, maka fasilitas insinerator pada rumah sakit harus memenuhi, yaitu:
1. Kesesuaian tata ruang/lokasi
Secara umum bahwa setiap usaha/kegiatan memanfaatkan ruang sesuai ketentuan yang tercantum dalam rencana tata ruang wilayah atau rencana detil tata ruang. Untuk kegiatan insinerator selain memenuhi ketentuan tersebut, juga wajib memenuhi kesesuaian lokasi, yaitu:
a. daerah bebas banjir
b. memiliki jarak aman, paling dekat
- 150 meter dari jalan utama;
- 300 meter dari daerah pemukiman, perdagangan, hotel, restoran, fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan dan fasilitas sosial;
- 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, danau, dan mata air
- 300 meter dari kawasan lindung
2. Dokumen lingkungan
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kegiatan insinerator merupakan kegiatan penunjang atas kegiatan utama , yaitu kegiatan rumah sakit, sehingga dokumen lingkungannya merupakan dokumen lingkungan kegiatan rumah sakit yakni UKL-UPL yang didalamnya wajib memuat kegiatan insinerator. Kewenangan penerbitan persetujuan lingkungan kegiatan rumah sakit merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
3. Rincian teknis penyimpanan limbah B3
Penghasil limbah B3 wajib melakukan penyimpanan limbah B3 seperti yang disebutkan pada PP 22 Tahun 2021 pasal 285 ayat (1). Oleh karenanya rumah sakit harus menyediakan fasiltas penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan. Penyimpanan limbah B3 berupa rincian teknis yang memuat identitas limbah B3, dokumen tempat penyimpanan dan dokumen pengemasan limbah B3. Rincian teknis penyimpanan limbah B3 tersebut akan menjadi bagian dalam dokumen UKL-UPL.
4. Persetujuan teknis pengolahan limbah B3
Pengolahan limbah B3 rumah sakit yang dilakukan melalui proses termal (insinerator) wajib memiliki Persetujuan Teknis Pengolahan Limbah B3 yang kewenangan penerbitannya merupakan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Persyaratan permohonan Persetujuan Teknis Pengolahan Limbah B3 meliputi persyaratan administrasi, teknis, dan SDM yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan limbah B3.
Persyaratan tersebut secara detil disebutkan dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 pasal 347 ayat (2) dan PermenLHK Nomor 6 Tahun 2021 pasal 126 sampai dengan pasal 134.
Sedangkan untuk baku mutu emisi insinerator mengacu pada Baku Mutu Emisi Pengolahan Limbah B3 dengan Cara Termal Melalui Insinerator pada Permen LHK Nomor 6 Tahun 2021 Lampiran XIV.
Dan ketika pembangunan pengolahan limbah B3 (insinerator) telah selesai, maka akan dilakukan verifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai dasar untuk penerbitan Surat Kelayakan Operasional (SLO) pengelohan limbah B3 (insinerator)
Untuk aspek operasional insinerator, jika mengutip hasil penelitian yang dilakukan I.G.A.B Adiputra, dkk (2019) dengan judul “Kajian Penggunaan Insinerator Untuk Mengelola Limbah Medis Padat di Denpasar”, dengan lokasi penelitian di Rumah Sakit Wangaya, Denpasar, diperoleh bahwa :
- Nilai investasi insinerator Rp 6,7 milyar
- Umur ekonomi alat 15 tahun
- Kapasitas pembakaran untuk sampah tercampur maksimal 45 kg/jam.
- Biaya operasional insinerator Rp 541 juta per tahun (biaya solar, listrik, gaji operator, biaya pemeliharaan)
- Penggunaan insinerator telah memenuhi persyaratan efisiensi >99,95% dan emisi gas buang telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan.
Kesimpulannya bahwa pengolahan limbah B3 padat rumah sakit yang dilakukan melalui proses termal (insinerator) adalah contoh salah satu solusi untuk pengolahan limbah medis yang ramah lingkungan karena emisi gas buang dapat memenuhi baku mutu dan biaya pengolahan yang lebih murah. (Silvia/PY). ***