Sapi, Tanah dan Modal: Menimbang Gubernur Viktor Laiskodat

redaksi - Senin, 13 Desember 2021 13:47
 Sapi, Tanah dan Modal: Menimbang Gubernur Viktor LaiskodatGubernur NTT Viktor Laikodat (kiri) dan peternak sapi NTT (kanan). (sumber: Istimewa)

Oleh: Abraham Runga Mali

DALAM beberapa pekan terakhir, media dan publik Nusa Tenggara Timur asyik membahas ‘perdebatan’ antara Gubernur Viktor Laiskodat dengan Umbu Marambu Hau, seorang pemimpin ulayat dan agama lokal, Marapu di Desa Kabaru, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur

Sepenggal video mendadak viral memperlihatkan peristiwa perdebatan tersebut yang diikuti komentar, opini dan polemik yang berkepanjangan hingga saat ini. 

Menarik bahwa di sejumlah media sosial, keseleo lidah gubernur yang mengatakan monyet kepada warganya seakan menjadi fokus perhatian. Publik seakan lupa melihat kemauan baik seorang gubernur yang datang dan mememui warganya yang tengah murka memperjuangkan lahannya.

Maka mudah untuk berimajinasi bahwa tak terelakkan bila  Gubernur marah dan mengeluarkan kata monyet kepada warga yang diajak berbicara, tapi seakan tak menghormati pemimpinnya dengan 'suka memotong ' saat seorang gubernur berbicara.

Kita suka berbicara tentang VBL yang buruk dalam komunikasi sambil seakan lupa  mengingatkan sikap warga kita yang tak bisa.menghormati pemimpinnya yang berkorban datang dan mau berbicara tentang persoalan warga. 

Apapun, lupakan sejenak penilaian soal komunikasi VBL yang buruk dan kelancangan warga sambil tetap mengacungi jempol baik kepada Umbu Maramba yang gigih mempertahankan tanah ulayat, dan juga  kesediaan gubernur untuk mendatangi warga dan berani membicarakan tema krusial yang dialami warga dengan amarah yang menggelora.

Seperti diketahui, persoalan berkutat pada lahan seluas 500 ha yang hendak dijadikan lokasi peternakan sapi wagyu. Umbu Marambu gigih mengatakan lahan itu milik ulayat yang dipimpinnya.

Tentu saja Gubernur Viktor Laiskodat memiliki catatan sendiri. Konon tahun 1952, tanah itu diserahkan Kepala Swapraja Mangili Umu Nai Pajaru kepada Kementerian Pertanian yang akan dimanfaatkan sebagai lokasi karantina sementara dan selanjutnya dibawa ke Pelabuhan Waingapu.

Di atas lokasi tersebut, dibangun karantina terpusat, kemudian  sapi dari seluruh Sumba dikarantina di Waingapu. Maklun sudah sejak lama Pulau Sumba menjadi lumbung ternak sapi untuk Jakarta.

Dari berbagai catatan, ketika Umbu Mehang Kunda  menjadi bupati Sumba Timur, 2000-2008, ia menegaskan bahwa tanah peternakan itu adalah milik negara. Tentu saja sebagai pejabat, Umbu Mehang Kunda berada pada posisi negara, dan berbagai narasi harus dibuktikan kebenaran di pengadilan.  

Bercermin pada Loro Lindu
Pertarungan dan keributan  tanah antara ulayat dan pemerintah lumrah terjadi di negeri ini, tentu saja termasuk di Propinsi NTT. Soal pertarungan seperti ini, mari merujuk pada kasus fenomenal yang terjadi di Lore Lindu yang menjadi penelitian doctoral Claudia D’ Andrea.

Dalam bukunya, Kopi, adat, dan modal: teritorialisasi dan identitas adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, Claudia menceritakan dengan sangat detil perjuangan masyarakat adat Katu di Taman Naional tersebut hingga mendapatkan kembali haknya. 
Di tanah ulayat itu, ada kopi masyarakar yang menjadi sandaran hidup mereka. Di tempat yang sama, pemerintah menjadikannya sebagai Taman Nasional.

Dengan bantuan LSM dan lembaga advokasi hukum.lainnya, setelah puluhan tahun, masyarakat mendapatkan kembali hak kepemilikan atas tanah itu.

Seperti di Lore Lindu, di Rindi, Sumba, persoalan juga sama,  terjadi konflik diametral antara pemerintah dan ulayat, yang berbeda bahwa tanah belum dioptimalkan dan narasi sejarahnya pun bisa saja tidak sama. Terhadap status tanah seperti ini, pengecekan dokumen dan sejarah tanah hanya bisa dilakukan di pengadilan.

Penulis memiliki pengalaman pribadi soal relasi ulayat dan Pemda dalam urusan tanah.  Sekitar  lima tahun yang silam, dengan luas sekitar 4 Ha, pemerintah Kabupaten Nagekeo membutuhkan lahan di Desa Tonggo untuk membangun sebuah SMK Perikanan. 

Masyarakat sudah menyerahkan lahan tersebut. Namun, dalam proses selanjutnya, dengan alasan kelayakan, sekolah tidak dibangun di tempat itu, tapi dipindahkan ke desa tetangga.

Kendati lahannya tidak dibangun, tanah yang berlokasi di kampung Mauembo, Desa Tonggo sudah dicatatkan sebagai aset Pemda. Tentu saja karena tanah ditelantarkan, masyarakat menuntut mengembalikan aset itu. 

Beberapa kali masyarakat melakukan demonstrasi. Saya sendiri pernah menemui Bupati Nagekeo yang saat itu dijabat oleh Elias Jo untuk meminta memgembalikan tanah kepada  warga.

Saya ingat dalam sebuah pertemuan, Bupati memberikan solusi kalau tanah itu akan dihibahkan kembali kepada warga. Namun.  sampai sekarang, hal itu belum pernah terlaksana. 

Dugaan saya, Bupati ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan melakukan itu. Elias Jo tidak bisa serta merta mengembalikan tanah itu tanpa pijakan legal—mungkin melalui putusan pengadilan-- yang bisa menjadi dasar agar sebagai pimpnan daerah, Elias Jo bisa mengembalikan lahan itu dengan jaminan ia tidak dipersalahkan menghilangkan aset daerah.

Di NTT, kasus seperti di Tonggo atau Rindi mungkin banyak. Saya memberi lagi sebuah contoh lain di Kabupaten Nagekeo di bagian utara, tepatnya di wilayah Ana Koli yang berada di ulayat Toto Tana Rea, sekarang masuk Kecamatan Wolowae.

Peristiwanya terjadi pada zaman Nagekeo masih bergabung dengan Kabupaten Ngada, pada saat Mateus John Bei menjadi bupati saat itu.
Konon, saat itu, pemerintah Propinsi NTT akan mengembabangkan kelapa hibrida di atas tanah ratusan hektar. Suku Dodo, sebagai Ine Tana Ame Watu (tuan/pemilik/pengatur tanah ukayat) menyerahkan tanah itu.

Namun dalam perjalanan, proyek itu gagal dilaksanakan dan lagi-lagi tanah ratusan hektar itu sudah tercatat sebagai aset Pemda  Provinsi NTT.

Tanah ditelantar sekian lama hingga akhirnya masyarakat 'tanpa pengaturan Suku Dodo' dan juga tanpa arahan pemerintah, menggarap Kembali sebagian lahan itu.

Pertanyaan yang mengemuka, punya siapa lahan itu? Punya ulayat atau punya Pemda?

Secara sederhana, ulayat tidak bebas dan leluasa mengklaim lahan itu sebagai milik mereka lagi, karena mereka sudah menyerahkan dengan prinsip kultural 'ti'i mona wiki, pati mona dai (tidak boleh ambil kalau sudah menyerahkan).

Namun, pada saat yang sama Pemda mestinya tidak bisa tanpa beban mengatakan itu lahan mereka, karena mereka tidak memanfaatkan lahan itu sesuai peruntukan ketika tanah itu diserahkan masyarakat adat. 

Memaksakan diri dengan mengklaim itu sebagai aset Pemda maka tidak bisa dhindari kalau Pemda mendapat cap melakukan pencaplokan.
Ada beberapa pilihan solusi yang ideal menghadapi kasus-kasus seperti itu. Misalnya menempuh jalan 'Lore Lindu', yakni melewati jalur hukum yang panjang dan melelahkan dengan advoksi yang serius dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  dan  aktvis advokasi hukum laiunya. 

Jalan ini adalah pilihan, kendati tidak ada jaminan bahwa masyarakat di bawah pimpinan Umbu Meramba Hau di Rindi pasti akan memenangkan kasus tersebut dan mendapatkan kembali hak atas tanahnya.  

Tersedia pilihan lain yang ditawarkan oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dalam kasus seperti yang terjadi di Sumba Timur.
Gubernur Laiskodat menawarkan agar tanah itu garap bersama dan dikerjasamakan antara Pemda dan Ulayat. 

Kerja sama mengelola lahan itu bisa hanya dilakukan berdua Pemda dan ulayat,  atau dengan tambahan pihak ketiga yang membawa modal.

Dalam.pilihan ini, persoalan  krusial yang mesti didiskusikan adalah pembagian keuntungan yang adil antara para pihak. Kalau tidak memakai cara ini,  tanah itu akan menjadi lahan terlantar dan menjadi 'modal mati' dalam bahasa sisilog Herndo de Soto. 

Sekali lagi. pilihan terbuka di depan pemilik ulayat, pertama: 'ribut di pengadilan' sambil menelantarkan tanah dengan catatan belum tentu menang seperti masyarakat Katu di Lore Lindu.

Atau kemungkin kedua, pemerintah secara paksa mengerjakan itu tanpa peduli penilian moral karena yakin atas catatan legal yangi dimilikinya, atau ketiga, mengerjakan lahan itu secara bersama-sama untuk perbaikan ekonomi masyarakat. 

Bukankah motif utama pemerintah dalam pembangunan petertenakan sapi adalah memperbaiki nasib warganya? Apalagi bila warga terlibat dalam unit bisnis bersama Pemda dan pemodal.  Untuk hal ini, apresiasi yang tinggi patut diberikan bagi Gubernur Viktor Laiskodat. ***

RELATED NEWS