Sebagai Apa dan Atas Dasar Apa? (Sebatas Catatan Lepas Geotermal ala Kotak-katik Pasar Senggol)

redaksi - Jumat, 28 Maret 2025 18:47
Sebagai Apa dan Atas Dasar Apa? (Sebatas Catatan Lepas Geotermal ala Kotak-katik Pasar Senggol)Panter Kons Beo, SVD (sumber: Dokpri)

 

"Kekasih terbaik adalah dia yang peduli lingkungan. Bila menemukan sosok seperti ini, percayalah ia punya cinta tanpa batas."
(Sang Bijak)

P. Kons Beo, SVD

Memang bukan barang baru. Ini semua tentang alur logika sosial. Semuanya berkenaan dengan kedudukan dan kapasitas sebagai apa, yang terungkap pada sikap, pandangan, seruan, ajaran atau pun prinsip-prinsip yang diyakini.

Ketika seorang figur publik, tokoh masyarakat, tokoh pemerintah, tokoh militer, atau tokoh agama bersuara, pasti ia mendasarkan kata-katanya pada 'kedudukannya sebagai apa.' Dan ia pasti punya kewajibab moril untuk bersuara yang seharusnya.

Di luar jabatan, posisi dan kedudukan, seseorang pun dapat bersuara atas dasar keahlian, ketrampilan atau pun pengalaman nyata yang telah dilewati dan 'mendaging.'

Ini semua sebenarnya bermuara pada 'wibawa atau otoritas bicara dan bersikap sebagai apa dan atas kuasa apa...

Amat dituntut bahwa 'seseorang harus bicara benar, atas dasar nilai, dan atas dasar pemahaman yang holistik dan integral. Dan semuanya demi nilai kehidupan dan demi kebaikan bersama. Dan di atas semuanya seseorang yang berbicara dan berpandangan 'mesti menjadi saksi atau teladan dari apa yang disuarakannya.'

Tokoh agama, pembicara atau pengajar agama tentu dituntut untuk mengakarkan hidup dan tampilan dirinya pada kewibawaan spiritual - moral dan nilai. Pengadilan, atau katakan saja sebagai penilaian sosial itu sekian sensitif. 

Artinya sekiranya para tokoh agama atau tokoh publik itu terpantau dan dinilai melenceng jauh-dekat dari lintasan kewibawaan itu? Bukankah rasa tak sejuk  segera terlahir dari publik sebagai satu reaksi frontal?

Mari berbelok sedikit ke arah lain....

Sayang ya, sekiranya di muara pengajaran agama mengendaplah sampah-sampah busuk: caci maki, ujaran kebencian, geram dan amarah, yang lahir dari pengetahuan yang tipis dan pemahaman yang dangkal akan isi dan nilai keagamaan. 

Tetapi juga, sebaliknya, patut ditangisi sekiranya seorang tokoh publik atau tokoh agama tak bersuara tentang apa yang seharusnya ia sikapi dan suarakan.

Mari kembali lagi ke rel bicara kita.

Perlukah seorang uskup harus menjadi seorang geolog untuk bersuara tentang geotermal? Rumit yang gampang juga untuk menjelaskan. 

Sudah bertahun-tahun ikuti formasi jadi imam, lalu harus belajar lagi untuk menjadi seorang geolog, vulkanolog, ahli pertanian, ahli ini dan ahli itu? 

Wah, tak perlu lah. Nanti kapan lagi dijalankan 'kuasa mengajar dan bersuara tentang etika hidup bersama dan nilai-nilai?'

Gagasan 'uskup bukan geolog' tentu punya arah bahwa sepantasnya para uskup  itu 'diam' untuk segala sesuatu yang bukan menjadi 'isi kerajaan filsafat dan teologi.' 

Biarlah para klerus cukup 'sibu ribu' sebatas 'altar, mimbar, ukup, lilin, pakaian liturgi, alkitab, meditasi, pimpin upacara sakramen. Intinya cukuplah berbicara soal-soal surgawi, api penyucian dan  nerakanya lusifer. 

Tak usalah repot-repot bersuara dan bersikap yang menjalar ke apapun yang 'bukan bidang.' Wah, gawat. Yang macam begini,  keliru, Bro!

Ini bicara soal dampak bagi hajat hidup orang banyak. Gampangnya untuk bilang: ada energi listrik berdaya tinggi yang di hasilkan.

 Listrik itu kebutuhan  vital bagi publik. Kita bakal tak lagi comel-comel merugi gara-gara 'PLN' (Penyebab Listrik Ngambek) mati hidup-mati hidup. Iya, itu betul. Siapa yang sanggup negasikan itu semua?

Kini, 'siapapun yang bicara tentang geotermal sepantasnya stop bicara kalau bukan seorang geolog.'  

Terus, jika ditanya lanjut ke 'kisah-kisah belakang:' Itu semua mereka-mereka yang gesit proaktif, yang kasih ijin, yang gampang relakan tanah (ulayat)nya itu semua apakah paham benar tentang hal ikhwal isi kerajaan geotermal? Kalau tak ingin disebut sebagai geolog?

Memang, alur pikir yang paling gampang adalah Mari yakinlah kepada para pakar geologi, ketimbang melihat dampak suram yang kini pelan-pelan jadi kenyataan. 

Mungkin kah kita sekian terkesima akan kepakaran para ahli, yang bisa juga jadi PHP (Pemberi Harapan Palsu) dari pada mempertimbangkan betapa misalnya hasil panen menurun, debit air terancam, kawasan sekitar yang jadi tak segar? 

Tampaknya kekuatan para 'pengusaha geotermal' lebih bertenaga untuk mempengaruhi pihak pemberi isin dan merela yang relakan tanah mereka.

Suara profetik para pemimpin agama (uskup) sudah menjadi inti dari rasa cinta akan alam dan lingkungan. Agar tetap dipertahankan harmoni kehidupan alam dan makluk hidup. 
Pun tentu dalam arti keadilan sosial. 

Janganlah hanya demi yang di sana, demi kelompok tertentu yang sekian bersinar cahaya dalam kepentingan ekonomik, maka yang 'di sini,' yang di Sokoria - Ndona, Ende, misalnya, hidup dalam ancaman dan tak nyaman. Di hari-hari ini dan untuk satu masa depan lingkungan yang suram.

Mari kita tutup dengan sepotong rintih dari "Langit Terluka"

"Jala api, lidahnya terjulur menyengat wajah bumi. Awan terbakar, langit berlubang menganga, menyeringai bagaikan terluka.

Pohon-pohon terkapar letih tanpa daya. Mata air terengah-engah, dahaga.
Burung-burung hanya basa-basi berkicau.
Lapisan jagat terkelupas.
Semua karena ulah kita. Warisan untuk anak cucu nanti.... "

Dan Kotak-Katik pasar senggol untuk sementara terhenti di sini dulu.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro - Roma.

RELATED NEWS